Kisah buku tidak hanya
lahir dari para pembaca buku, kolektor, akademisi, hingga penulis. Kisah menarik
perihal buku justru hadir dari para penjaja buku. Buku-buku incaran pembeli
jadi obrolan seru karena menjanjikan keuntungan berlimpah. Uang adalah alasan
menggiurkan bagi para penjaja buku. Penjaja buku asyik membicarakan laba dari
buku yang berhasil mereka jual. Obrolan buku berkutat seputar judul-judul buku
paling diminati pembeli. Kebahagiaan muncul saat buku berpindah ke tangan
pembeli dengan keuntungan berlipat. Buku adalah sumber rezeki.
Obrolan dan kisah para
penjaja buku tentu absen dari toko buku modern kelas besar, di mana buku terpajang
di rak-rak disertai bandrol harga. Tidak ada tawar menawar di toko buku kelas
besar. Calon pembeli cukup menuju mesin pencari buku, daftar buku sekaligus harga
sudah tercantum komplit. Pekerja di toko buku pun siap sedia mencari dan
mengambilkan buku jika calon pembeli enggan bergulat dengan deretan buku. Gumaman
dan solilokui justru kerap muncul dari benak calon pembeli ketika buku yang
dicari tidak ada, atau kalau pun ada, buku dibandrol dengan harga cukup tinggi.
Calon pembeli kadang terbakar gemas sendirian.
Kontradiksi
Mata air buku tak
mengalir dari toko buku modern semata. Para pemburu buku menyiasati stok kosong
dan harga tinggi di toko buku besar melalui penjelajahan ke lapak buku bekas
dan loakan. Lapak buku bekas jadi incaran karena harganya miring, masih kerap
menyimpan “harta karun”. Buku lawas yang sudah tidak dicetak ulang, dan
kebetulan sedang beruntung, bisa ditemukan di lapak-lapak buku bekas ini.
Buku-buku “terlarang” di zamannya jadi primadona para penjaja buku. Harga
selangit adalah jaminan bagi buku “terlarang”. Harga buku berbanding lurus
dengan kesejarahan, kelawasan, dan keaslian. Pemburu buku maklum dengan siasat
para penjaja buku memasang harga tinggi untuk buku-buku antik nan lawas. Sebaliknya,
pemburu buku pemula justru akan terkejut mendengar harga fantastis dari sebuah
buku tipis.
Pemburu buku kerap kecewa
saat menjumpai penjaja buku miskin wacana. Deretan dan tumpukan buku-buku tak
jarang tampil sebagai dagangan serupa sandal, sepatu, baju, dan barang
kelontong. Adegan membicarakan buku-buku incaran terbendung oleh minimnya
pengetahuan penjaja buku terhadap buku-buku yang dijualnya. Tak jarang, penjual
buku justru mirip orang asing di antara buku-buku. Asal tahu judul buku paling diminati
dan harganya, penjaja buku merasa cukup untuk menjaring rejeki. Pertemuan
pemburu dan penjaja buku akhirnya sebatas ada atau tidaknya buku, selebihnya
bisu. Penjaja buku kerap miskin pengetahuan tentang para pengarang buku,
sastrawan, hingga pemikir-pemikir di mana buku karya mereka kerap bertebaran
dari satu lapak ke lapak lainnya.
Adegan memburu buku,
sebenarnya, memungkinkan adanya obrolan cerdas dan intelek. Penjaja buku adalah
penyambung jalur intelektualisme. Mereka adalah insan karib buku-buku: berbaur
aroma buku; bersentuhan debu di antara tumpukan buku; memegang dan melepas buku
ke pembeli, setiap hari. Adegan berbuku adalah episode bersahaja. Penjaja buku
adalah saksi perkembangan dan perubahan zaman era buku. Buku dari hari ke hari
mampir ke lapak-lapak mereka, buku berdiam di antara tumpukan debu dan aroma
sumpek. Penjaja buku menyentuh, membau, merasakan aroma zaman dari buku-buku.
Terlalu menyedihkan bila hari ini, penjaja buku kian jauh dari tebaran makna kata
dan pemikiran para tokoh-tokoh adiluhung.
Para tokoh intelektual
negeri ini tentu saja pernah mengalami adegan bersua dan bernegosiasi dengan
para penjaja buku. Intelektualisme sepatutnya juga perlu diinsyafi oleh para
penjaja buku. Hasrat berintelektualisme kelak sanggup memberi kesadaran untuk
memandang buku sebagai benda berpetuah.
Misi menyelamatkan pemikiran para
tokoh-tokoh besar yang mengendap di deretan buku lawas tak melulu bermisi
ekonomistik. Penjaja buku juga perlu membaca buku di sela-sela rutinitas
menjual buku. Dengan demikian pertemuan pembeli dan penjual buku akan diimbuhi
dengan sederet informasi, penguakan nilai-nilai kesejarahan buku, hingga
dialektika perihal buku. Intelektualisme penjaja buku tentunya menambah
kepuasan para pemburu buku. Suatu saat para penjaja buku intelektual mesti
diberi podium untuk berceramah dalam seminar ataupun kuliah umum. Penjaja buku mesti
ikut bersaksi menjaga etos beraksara, berliterasi, dan berbuku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar