Bulan Februari 2014, sedikitnya,
telah terjadi dua kali pemberangusan kebebasan intelektual. Pertama, terkait
dibubarkannya diskusi buku Tan Malaka, yang menghadirkan indonesianis dari
Belanda: Harry Poeze, oleh sekelompok ormas intoleran di Surabaya. Diskusi buku
tersebut untuk menindaklanjuti penemuan makam Tan Malaka di Selopanggung,
Kediri. Sekelompok ormas menuduh diskusi sebagai upaya menghidupkan kembali
paham komunisme, karena Tan Malaka dikenal pula sebagai tokoh komunisme
internasional di masa pergerakan kemerdekaan. Diskusi pun urung digelar,
menyisakan kekecewaan. Keriuhan gelombang protes oleh publik gempar di dunia
maya, tapi tak di media nasional.
Kedua, pemindahan patung Manusia
Akar di titik nol kilometer Yogyakarta karena dianggap mengandung unsur pornografi.
Patung yang sedianya ditujukan untuk hiburan wisatawan di Yogyakarta kini
tergeletak ambruk dan sia-sia, tak lagi menghiasi pusat kota. Pemindahan patung
bermula dari teror sekelompok ormas yang keberatan dengan keberadaan patung
tersebut. Patung pun tersingkir, dan sekali lagi, pertanda bahwa kebebasan
berkreasi tak lagi dihargai di negara ini.
Kedua kasus tersebut pada
akhirnya menunjukan sebuah gejala: tunduknya negara oleh teror ormas. Pada
kasus pembubaran paksa diskusi Tan Malaka, setidaknya, ada sejumlah anakronisme
pemahaman masyarakat tentang sejarah. Ketakutan (phobia) berlebih terhadap komunisme pada dasarnya adalah warisan
indoktrinasi Orde Baru. Kita bisa mengenang komunisme phobia di zaman Orde Baru lewat serangkaian propaganda film G30S,
dan tuduhan-tuduhan komunis pada siapa pun yang bersikap kritis pada
pemerintah. Indoktrinasi mengakar selama puluhan tahun, tentu saja sulit
dihapuskan. Tuduhan-tuduhan gampang sekali dicap kepada siapa pun yang hendak
membicarakan, mempelajari—sebagai bagian dari kegiatan akademik—atau untuk
sekadar membincang sejarah tokoh-tokoh komunisme.
Saya berkeyakinan, hanya
masyarakat berpemikiran rendah yang menolak dialog dan diskusi. Pembubaran
diskusi buku adalah sebentuk kekeliruan cara berpikir, pertanda masyarakat
belum mau berpikir kritis dan moderat. Tan Malaka seorang komunis, memang.
Tapi, sejenak, kita perlu menilik perannya bagi pembentukan nasion Indonesia.
Bentuk negara Republik bagi Indonesia, tak lain, adalah sumbangan besar Tan
Malaka. Buku Naar de Republick adalah
kitab hasil pemikirannya, yang juga dibaca Sukarno, Hatta, juga Syahrir.
Kiranya, tak perlulah saya menyebutkan peran Tan Malaka bagi Indonesia di sini.
Bacalah buku karya Harry Poeze. Tan Malaka pernah hilang dari sejarah
Indonesia, kini mendapat titik terang. Penemuan makamnya diharapkan jadi
pembuka kebenaran sejarah Indonesia. Pembubaran diskusi buku tentu tidak
berbeda dengan pelanggengan pola pikir Orde Baru: komunisme phobia, bebal, dan tidak memberi ruang
kebebasan berpikir.
Perihal kebebasan jadi isu sensitif
dalam kasus protes patung Manusia Akar di titik nol Yogyakarta. Keberadaan
patung dengan tuduhan pornografi, bagi saya yang kebetulan pernah melihat dari
jarak dekat patung tersebut, tentu sulit dinalar. Baiklah, anggap saja patung
itu porno. Lantas, bagaimana dengan keberadaan relief di candi-candi di
Indonesia, yang mayoritas menampilkan aurat. Apakah juga termasuk pornografi?
Saya kira pembahasan ini sudah teramat kuno. Yogyakarta adalah kota dengan
wajah kesenian dan kebudayaan yang agung. Patung sebagai hasil karya seni
adalah representasi masyarakat Yogyakarta dengan keunggulan kesenian, yang di
daerah lain, mungkin, belum tentu memiliki. “Pembuangan” patung dikarenakan
teror dari pihak ormas tertentu, adalah bentuk nyata perampasan kebebasan
berkesenian.
Peran
Negara
Kesamaan dua kasus tersebut
mengacu pada arogansi ormas dan absennya peran negara dalam menjamin rasa aman
bagi warga negara. Seandainya, panitera diskusi buku sudah melakukan semua
prosedur keamanan, kenapa polisi mandul dalam menjaga keamanan acara tersebut? Polisi
takut pada ormas? Kasus pemindahan patung di Yogyakarta jadi bukti bahwa
masyarakat sipil dan polisi sudah dikuasai serentetan kepentingan ormas dan
kelompok kontra-demokrasi.
Tidak adanya ketegasan negara,
dalam hal ini polisi, untuk memberi jaminan rasa aman adalah satu kecacatan
dalam sistem demokrasi. Keputusan menganut demokrasi sebagai sebuah sistem
negara tentu harus dimaknai secara cerdas, kritis, dan moderat. Apa artinya
demokrasi bila perspektif agama tertentu digunakan sebagai tolak ukur
keberadaan karya seni? Apa pula artinya demokrasi bila kehendak untuk
berpikir—mempelajari, memahami, dan membicarakan sesuatu—mesti dikalahkan oleh
sikap phobia dari sekelompok
masyarakat? Masih percayakah kita pada aparatus negara, para calon anggota
legislatif, dan para calon pemimpin bangsa, bila pembredelan berpikir dan
berkesenian dianggap sebagai kabar biasa dan tak perlu diributkan?
Saya acap tenggelam dalam emosi
ketika memikirkan betapa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi tanpa
toleransi, tanpa kebebasan. Penuh kekerasan, kepalsuan, dan kerakusan. Saya
berdoa, semoga para calon pemimpin negara ini lekas tersadar dari uforia
kekuasaan. Demokrasi di negara kita memang sedang terjepit di ambang kematian.
Negara sedang dikepung ormas-ormas penebar teror dan ancaman. Bendera ormas itu
pun berkibar tinggi-tinggi, melebihi kibaran Merah Putih yang lesu dan
termangu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar