Rabu, 14 Mei 2014

Di Bawah Kibaran Bendera Ormas



Bulan Februari 2014, sedikitnya, telah terjadi dua kali pemberangusan kebebasan intelektual. Pertama, terkait dibubarkannya diskusi buku Tan Malaka, yang menghadirkan indonesianis dari Belanda: Harry Poeze, oleh sekelompok ormas intoleran di Surabaya. Diskusi buku tersebut untuk menindaklanjuti penemuan makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Sekelompok ormas menuduh diskusi sebagai upaya menghidupkan kembali paham komunisme, karena Tan Malaka dikenal pula sebagai tokoh komunisme internasional di masa pergerakan kemerdekaan. Diskusi pun urung digelar, menyisakan kekecewaan. Keriuhan gelombang protes oleh publik gempar di dunia maya, tapi tak di media nasional.
 
Kedua, pemindahan patung Manusia Akar di titik nol kilometer Yogyakarta karena dianggap mengandung unsur pornografi. Patung yang sedianya ditujukan untuk hiburan wisatawan di Yogyakarta kini tergeletak ambruk dan sia-sia, tak lagi menghiasi pusat kota. Pemindahan patung bermula dari teror sekelompok ormas yang keberatan dengan keberadaan patung tersebut. Patung pun tersingkir, dan sekali lagi, pertanda bahwa kebebasan berkreasi tak lagi dihargai di negara ini.

Kedua kasus tersebut pada akhirnya menunjukan sebuah gejala: tunduknya negara oleh teror ormas. Pada kasus pembubaran paksa diskusi Tan Malaka, setidaknya, ada sejumlah anakronisme pemahaman masyarakat tentang sejarah. Ketakutan (phobia) berlebih terhadap komunisme pada dasarnya adalah warisan indoktrinasi Orde Baru. Kita bisa mengenang komunisme phobia di zaman Orde Baru lewat serangkaian propaganda film G30S, dan tuduhan-tuduhan komunis pada siapa pun yang bersikap kritis pada pemerintah. Indoktrinasi mengakar selama puluhan tahun, tentu saja sulit dihapuskan. Tuduhan-tuduhan gampang sekali dicap kepada siapa pun yang hendak membicarakan, mempelajari—sebagai bagian dari kegiatan akademik—atau untuk sekadar membincang sejarah tokoh-tokoh komunisme.  

Saya berkeyakinan, hanya masyarakat berpemikiran rendah yang menolak dialog dan diskusi. Pembubaran diskusi buku adalah sebentuk kekeliruan cara berpikir, pertanda masyarakat belum mau berpikir kritis dan moderat. Tan Malaka seorang komunis, memang. Tapi, sejenak, kita perlu menilik perannya bagi pembentukan nasion Indonesia. Bentuk negara Republik bagi Indonesia, tak lain, adalah sumbangan besar Tan Malaka. Buku Naar de Republick adalah kitab hasil pemikirannya, yang juga dibaca Sukarno, Hatta, juga Syahrir. Kiranya, tak perlulah saya menyebutkan peran Tan Malaka bagi Indonesia di sini. Bacalah buku karya Harry Poeze. Tan Malaka pernah hilang dari sejarah Indonesia, kini mendapat titik terang. Penemuan makamnya diharapkan jadi pembuka kebenaran sejarah Indonesia. Pembubaran diskusi buku tentu tidak berbeda dengan pelanggengan pola pikir Orde Baru: komunisme phobia, bebal, dan tidak memberi ruang kebebasan berpikir.

Perihal kebebasan jadi isu sensitif dalam kasus protes patung Manusia Akar di titik nol Yogyakarta. Keberadaan patung dengan tuduhan pornografi, bagi saya yang kebetulan pernah melihat dari jarak dekat patung tersebut, tentu sulit dinalar. Baiklah, anggap saja patung itu porno. Lantas, bagaimana dengan keberadaan relief di candi-candi di Indonesia, yang mayoritas menampilkan aurat. Apakah juga termasuk pornografi? Saya kira pembahasan ini sudah teramat kuno. Yogyakarta adalah kota dengan wajah kesenian dan kebudayaan yang agung. Patung sebagai hasil karya seni adalah representasi masyarakat Yogyakarta dengan keunggulan kesenian, yang di daerah lain, mungkin, belum tentu memiliki. “Pembuangan” patung dikarenakan teror dari pihak ormas tertentu, adalah bentuk nyata perampasan kebebasan berkesenian. 

Peran Negara

Kesamaan dua kasus tersebut mengacu pada arogansi ormas dan absennya peran negara dalam menjamin rasa aman bagi warga negara. Seandainya, panitera diskusi buku sudah melakukan semua prosedur keamanan, kenapa polisi mandul dalam menjaga keamanan acara tersebut? Polisi takut pada ormas? Kasus pemindahan patung di Yogyakarta jadi bukti bahwa masyarakat sipil dan polisi sudah dikuasai serentetan kepentingan ormas dan kelompok kontra-demokrasi.  

Tidak adanya ketegasan negara, dalam hal ini polisi, untuk memberi jaminan rasa aman adalah satu kecacatan dalam sistem demokrasi. Keputusan menganut demokrasi sebagai sebuah sistem negara tentu harus dimaknai secara cerdas, kritis, dan moderat. Apa artinya demokrasi bila perspektif agama tertentu digunakan sebagai tolak ukur keberadaan karya seni? Apa pula artinya demokrasi bila kehendak untuk berpikir—mempelajari, memahami, dan membicarakan sesuatu—mesti dikalahkan oleh sikap phobia dari sekelompok masyarakat? Masih percayakah kita pada aparatus negara, para calon anggota legislatif, dan para calon pemimpin bangsa, bila pembredelan berpikir dan berkesenian dianggap sebagai kabar biasa dan tak perlu diributkan? 

Saya acap tenggelam dalam emosi ketika memikirkan betapa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi tanpa toleransi, tanpa kebebasan. Penuh kekerasan, kepalsuan, dan kerakusan. Saya berdoa, semoga para calon pemimpin negara ini lekas tersadar dari uforia kekuasaan. Demokrasi di negara kita memang sedang terjepit di ambang kematian. Negara sedang dikepung ormas-ormas penebar teror dan ancaman. Bendera ormas itu pun berkibar tinggi-tinggi, melebihi kibaran Merah Putih yang lesu dan termangu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar