23 Februari 2014.
Penemuan makam Tan Malaka di Selopanggung,
Kediri disambut dengan beberapa penyikapan. Sejarawan Asvi Marwan Adam
menghendaki pemerintah segera memindah makam tersebut ke Taman Kalibata.
Alasannya, Tan Malaka sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional di era
Presiden Sukarno. Sebaliknya, warga Selopanggung justru menghendaki makam tidak
diboyong ke Kalibata. Tapi, direlokasi di daerah sekitar Selopanggung. Tujuannya,
akan dijadikan objek wisata. Semacam tempat peziarahan.
Mengingat peran dan jasa Tan di
panggung pergerakan sejarah kemerdekaan, sepantasnya para sejarawan mengusulkan
pemindahan tersebut. Sejarawan tentu mafhum tentang kerja intelektual dan
pergerakan Tan Malaka dalam menentang kolonial Belanda. Momentum ini bisa
dijadikan ajang untuk menempatkan posisi Tan Malaka di catatan sejarah
Indonesia, yang sempat dihapus rezim Orde Baru.
Warga Selopanggung menangkap
penemuan makam ini sebagai momentum untuk membuka objek wisata baru. Penemuan
makam diharapkan sanggup mengundang rupiah. Makam tokoh nasional bakal merangsang
orang-orang untuk datang berziarah. Peziarahan itu kelak dilengkapi dengan
kenang-kenangan berupa foto dan pernak-pernik cinderamata. Dan, warga di
sekitar makam bisa mengantongi rupiah dari penjualan pernak-pernik tersebut. Tidak
perlu jauh-jauh. Makam Sukarno di Blitar berhasil mengangkat perekonomian warga
sekitar. Antusias publik mengunjungi makam Sukarno tak pernah surut, pertanda
kebanggaan masyarakat terhadap Sukarno masih besar.
Perlakuan rezim Orde Baru dalam
mencatat Sukarno tentu saja berbeda dengan Tan Malaka. Perlakuan terhadap Sukarno
tak separah Tan Malaka. Orde Baru masih mencatat namanya dalam buku sejarah.
Perlakuan buruk diterima Tan Malaka di era Orde Baru, ia dihapus dari catatan
sejarah Indonesia. Hampir 32 tahun lamanya masyarakat Indonesia dipaksa tidak
mengenal Tan Malaka. Publik mengenal luas pemikiran Tan Malaka pasca-Orde Baru
tumbang. Bukunya mendapat rangking nomor wahid dalam jajaran buku kiri yang
sempat dilarang. Apakah warga Selopanggung sudah membaca karangan-karangan Tan
Malaka?
Nah. Pada akhirnya niat warga untuk
mengobjek-wisatakan Tan Malaka adalah sebuah ironisme, untuk tidak menyebutnya
sebagai kekaprahan. Perlakuan bermisi penghormatan justru keliru. Kita bisa
mengingat Tan Malaka lewat setumpuk kitab warisan pemikirannya. Salah satu
seruannya: mengingatkan masyarakat agar terlepas dari pengkultusan dan berpikir
mistik, yang menurut Tan, penyebab dari ketertinggalan pola pikir bangsa
Indonesia. Bangsa ini terbelakang akibat pola pikir mistik.
Maksud mendirikan makam bakal
memunculkan agenda peziarahan, ritual pendoaan berkecenderungan pada
pengkultusan. Pada akhirnya, makam akan menjelma tempat keramat, ritus merawat
kemistikan manusia. Justru, semua itulah kemungkinan-kemungkinan yang hendak
ditolak oleh Tan Malaka. Sejumlah kitabnya mengajarkan manusia untuk terus
berdialektika, berpikir secara kritis dan ilmiah, serta menolak pola pikir
mistik.
Niatan warga Selopanggung untuk
membangun makam berbau aroma mistik dan ekonomistik tentu bakal bertolak-belakang
dari gagasan-dialektika Tan Malaka. Mengawetkan ingatan lewat pembuatan makam
atau pematungan, justru tak berbeda dengan kelakuan orang-orang kuno, seperti
membangun candi, petilasan, dan makam untuk dikeramatkan. Publik, pada
akhirnya, akan meragukan niatan warga Selopanggung tersebut: apakah pemuliaan,
atau pemutarbalikan warisan pemikiran?
Dialektika yang mengacu pada
proses berpikir tanpa henti harus menjadi arus utama penyikapan penemuan makam
Tan Malaka. Simak pesan prestisius Tan dalam pengantar kitab Madilog:“Mereka yang sudah mendapat
minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan
keras buat memahaminya”. Misi buku demi menajamkan mata pisau otak manusia. Maka
penemuan makam Tan Malaka harus berorientasi pada dialektika, berani membicarakan
atau pun mengkritisinya. Kemauan untuk terus berpikir inilah kemauan Tan Malaka
sebenarnya. Lain dari pada itu, kita justru sedang berseberangan dengan
pemikiran beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar