Di toilet,
kebebasan seperti tumbuh, berkembang, dan mekar. Di sana segala yang “jujur”
dan murni bisa tampil tanpa malu-malu. Kita bisa membayangkan, dari toilet, imajinasi
dan ide berjejalan minta diperhatikan. Maka ketika ada coretan di dinding
toilet, itulah sesungguhnya kebenaran dari apa yang manusia rasakan. Ia
mewakili kebebasan pikiran dan mewakili apa yang tengah terjadi, merekam
kondisi mental dan psikologis si penulisnya.
Coretan di
dinding adalah pertanda zaman yang bergerak, menjadi resep membaca kondisi
negara, bangsa, psikologi, dan mental masyarakat. Terlebih sebuah dinding toilet
di sebuah universitas, tempat manusia
terpelajar dipelihara. Eka Kurniawan menangkap sinyal ini dan merangkumnya
dalam buku terbarunya Corat-coret di
Dinding Toilet (GPU, 2014). Buku ini adalah antologi kritik, ironisme,
paradoks, dan satir bermuatan politis-ideologis.
Nafas kritik
bercampur sinisme kepada penguasa tercium sejak cerpen pembuka. Cerpen berjudul
Peter Pan, berkisah tentang aktifis
mahasiswa yang menjual bukunya, menjual segalanya, demi mengurusi perjuangan
menggulingkan sang diktatur. Meski akhirnya berhasil dilengserkan, kejahatannya
tetap saja tak tersentuh. Cerpen bernada sinis, menyengat ingatan pembaca
perihal kekuasaan Orde Baru. Akhir-akhir ini kita memang kerap menjumpai wajah
mantan presiden tengah tersenyum sambil menyapa, menawarkan memori nostalgia
bermuatan politis. ”Senyum yang terkutuk itu bahkan masih tercetak di uang
kertas”. Ekspresi tokoh mahasiswa kepada presiden memang seringkali terkesan
sarkastik, meski sebenarnya berisi kejujuran. Cerpen ini merekam kegelisahan
dan kejengkelan para aktifis pasca-kejatuhan sang diktatur, yang masih saja
“tersenyum”, bahkan hingga hari ini.
Eka bagai
melanjutkan wasiat Bung Besar untuk tidak sekalipun melupakan sejarah. Sejarah
dijadikan ramuan cerita untuk mengingat, mengejek, dan menghibur pembaca.
Sejarah Indonesia berisi peperangan dan konflik. Cerpen Hikayat Orang Gila mengantarkan imajinasi penuh haru tentang
perang, yang bagaimanapun selalu mengorbankan orang tak berdosa, sekalipun itu
orang gila. Tragedi di Timor Timur adalah satu contoh. Deskripsi kesemrawutan
perang berkelindan dengan perjuangan seorang gila bersama rasa laparnya yang
kian tak terobati. Pada akhir cerita, “tanpa makan berhari-hari dan kemudian
demam, Si Orang Gila akhirnya mati di situ. Terkapar tak berdaya”. Pembaca
bakal termenung haru, mengimajinasikan kematian Si Gila akibat lapar tak
terkira.
Melalui
penggarapan sejarah, Eka menyajikan kisah beraroma nasionalisme, diselingi
humor tragis-politis. Cerpen Bunga
Kiriman dari Siapa mengingatkan pembaca pada roman pergerakan ala Mas Marco
Kartodikromo. Cerpen ini berkisah tentang Kontrolir Henri, seorang Belanda yang
secara tak terduga jatuh cinta pada gadis bumiputera penjual bunga. Percakapan
demi percakapan memberi garis demarkasi yang jauh antara kolonial dan
bumiputera. Melalui perspektif ala Mas Marco inilah, Eka melawan lewat sejumlah
fakta tragis-ironis. Henri hendak menemui orang tua si gadis untuk melamar, namun
kedua orang tua si gadis justru tengah berada di Digoel. “Kau sendiri yang
kirim mereka ke sana,” tegas si gadis. Pukulan sempurna: merobohkan kesombongan
kolonial tanpa angkat senjata. Eka menyajikan kisah berlatar sejarah demi
menyadarkan betapa ulah penjajah adalah penyebab atas kesengsaraan bangsanya.
Humor Politis dan Perlawanan
Pada akhirnya
humor satir berbau politis mencapai puncaknya pada Corat-coret di Toilet. Gubahan cerita pendek dengan serangkaian
satir, humor cerdas, hingga ungkapan politis-ideologis seolah mewakili pilihan
sikap si pengarang. Penggarapan tema reformasi 1998 jadi isu sensitif.
Pergulatan pelbagai pikiran mahasiswa tampil di dinding toilet,
mengejawantahkan ironisme demokrasi. Dinding toilet jadi buku harian milik
bersama, semua berhak menulis dan berkata jujur. Maman S. Mahayana menganggap
cerpen ini cerdas “mengangkat hal kecil yang remeh-temeh menjadi problem
kemanusiaan.” Bernada pesimis-sarkastik Eka menulis:”Aku tak percaya
bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet”. Coretan di
dinding menjelaskan ketidakpercayaan mahasiswa kepada para anggota dewan. Nah!
Keseluruhan
cerita dalam buku ini memiliki satu nyawa: perlawanan. Perlawanan itu menyasar
tema-tema kediktaturan, tradisi, penjajahan, kesewenang-wenangan, dan
kekerasan, yang mengacu pada satu pusat: kemanusiaan. Cerpen yang
keseluruhannya ditulis pada periode 1999-2000 ini tak sekadar kisah, namun semacam
jejak sejarah. Jejak semangat reformasi, sekaligus gairah mempertanyakan ulang
keberhasilan reformasi, mengalir deras dalam beberapa cerpen Eka. Cerpen yang
lahir di saat penulis masih berusia 20-an, usia ketika idealisme dan jiwa
perlawanan mencapai titik didihnya. Apalagi beberapa cerpen mengambil penokohan
mahasiswa, ikon penting gerakan reformasi. Tokoh mahasiswa memang kerap identik
dengan aktifitas pergerakan, reformasi, dan intelektualisme.
Lebih dari itu, kumpulan cerpen ini mengingatkan pembaca di
negeri ini, tentang sejarah yang tidak boleh disepelekan. Juga tentang penguasa
yang mesti terus diingatkan, meski lewat sekadar “corat-coret di dinding
toilet”. []
Bagus, mas.
BalasHapusTerima kasih atas kejujuran dari toiletnya. hehe