Untuk
ke sekian kalinya, beberapa hari silam, saya berkunjung ke rumah Sigit Susanto
di Boja, Kendal. Tidak setiap hari saya bisa menemuinya. Ia menetap di Swiss,
dan hampir setiap tahun menyempatkan pulang demi sebuah hajatan sastra tahunan
yang ia gagas bersama rekan-rekannya. Kepulangannya pun tak sebatas melepas
kerinduan. Parade Obrolan Sastra tahun ini memasuki sesi ke VII. Beberapa tokoh
sastra kenamaan pernah menghabiskan malam dalam acara ini, sebut saja Saut
Situmorang, D. Zamawi Imron, Agus Noor, Ahmad Tohari, Martin Aleida, F.
Rahardi, I Wayan Sunarta, dan Remy Sylado. Setiap tahun acara selalu menarik,
namun yang lebih menarik bagi saya justru sosok Sigit Susanto, tokoh di balik
agenda bermanfaat ini.
Saya
berkesempatan menghabiskan malam bersamanya, mengobrolkan pengalamannya
bertualang, sekaligus mengobrolkan tokoh-tokoh sastra yang ia gemari. Saya
lebih menyebut Sigit sebagai avonturir sastra. Sejak hijrah ke Swiss, ia sudah
bertualang di hampir 36 negara. Pengembaraannya bukan sebatas uforia turisme.
Sigit memprioritaskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menurutnya memiliki
memori sejarah, atau berkaitan dengan para tokoh sastra dunia. Alasannya: di
Eropa, bukan hal baru membicarakan sastra dalam buku panduan wisata. Selain
itu, Sigit menyadari gairah membaca sastra di Indonesia mulai bergeliat, dengan
demikian perlu adanya perkenalan lebih jauh perihal sastra dan satrawan dari
negeri yang ia kunjungi. Catatan perjalanan tersebut tertuang dalam tiga jilid
buku yang ia sudah terbitkan: Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia.
Pengetahuan
dan kecintaannya pada karya sastra dunia, serta para nobelis sastra, membuat tujuan
tempat yang ia kunjungi selalu berdasarkan pertimbangan kaitan dengan sastrawan
tertentu. Sigit begitu sumringah ketika mengunjungi tempat yang dulunya sempat
disinggahi para sastrawan dunia. Alhasil, di rumahnya berderet buku karangan nobelis,
yang mayoritas berbahasa asing, dan pernah ia kunjungi tanah kelahirannya. Apa
saja buku nobelis sastra yang ada di sana, tak perlu saya sebutkan. Tapi saya
kira lumayan lengkap. Perpustakaan ini gratis bagi siapa pun yang ingin pinjam.
Tentang
pengarang asal Irlandia itu, Sigit mengaku sudah menamatkan seri Ulysses jilid 1-3 bersama Reading Group
Yayasan James Joyce di Zurich sebanyak dua kali, dan bahkan, hendak mengulang
membaca kembali untuk ketiga kalinya. Ketekunan membaca Ulysses selama 6 tahun lebih, meski menurut saya justru sangat
lambat, membuatnya begitu menguasai detail dan makna novel ini. Sigit
menganggap karya Joyce begitu detail dan sangat ensiklopedis. Sigit juga
kesengsem pada Frans Kafka. Dari kecintaannya, ia tuntas menerjemahkan Proses karya Frans Kafka, yang meski
sudah dibeli penerbit besar di Indonesia, belum juga terbit. Terhadap nasib terjemahannya
itu, Sigit tampak sedikit murung.
Buku dan “Pembalasan Dendam”
Saya
hampir menghabiskan sebungkus kretek ketika Sigit mulai bercerita tentang
buku-buku murah yang ia beli di negeri asing. Di negara mana pun yang ia tuju,
buku selalu jadi incaran menggiurkan. Membeli buku murah kerap mengingatkannya
pada masa ketika ia harus menjual sepasang sepatu demi membiayai hidup saat
mahasiswa. Namun, hasil berjualan sepatu itu terpaksa berkurang saat ia menjumpai
buku Agatha Cristie di loakan. Buku lebih menggiurkan ketimbang sepiring nasi.
Ia pun membelinya tanpa menyesal.
Hasil
dari avonturnya ke pelbagai negara, Sigit memboyong buku-buku kelas nobel ke
desanya. Sebuah rumah tak istimewa disulap menjadi rumah buku, bernama Pondok
Maos Guyub. Sigit menerangkan, hasratnya mengumpulkan buku dan membuat
perpustakaan adalah sebuah obsesi “balas dendam” sebagai anak desa. Sigit
mengenang masa di mana ia nekat membuka perpustakaan di bekas warung jualan
bubur ibunya. Buku didapat dari sumbangan warga desa. Pun pada akhirnya
perpustakaan itu tutup karena keterbatasan dana dan tidak ada buku baru. Obsesi
mendirikan perpustakaan kemudian terwujud pasca menetap di Swiss dan justru
semakin berkembang.
Meski
mayoritas perpustakaannya berisi buku berbahasa asing, sedikit pun Sigit tak
risau. Ia yakin, kehadiran buku-buku bakal menularkan hasrat berliterasi,
membaca ataupun menulis. Buku kerap memberi sihir intelektualisme. Bersama
beberapa rekan, Sigit sudah menggagas Reading Group. Novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hermingway dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari,
di antaranya. Jarak bahasa tak menyurutkan gairah menghidupi literasi di
desanya.
Tahun
ini, salah satu cita-citanya kembali terwujud. Setelah Pondok Maos Guyub, forum
tahunan Parade Obrolan Sastra, Perpustakaan Rumah Pohon kini berdiri. Sebuah
angan-angan yang lahir setelah menyaksikan betapa di negara yang ia kunjungi,
banyak berdiri rumah pohon bagi anak-anak untuk menghabiskan waktu sambil
membaca. Saya berkesempatan merasakan kedamaian di perpustakaan pohon miliknya.
Saya tidak tahu obsesi apalagi yang hendak Sigit ciptakan demi memekarkan
hasrat berliterasi di desanya.
Terasa
begitu cepat obrolan itu berlalu. Subuh sudah di depan mata. Perbincangan malam
itu belum menampakan tanda-tanda kebosanan. Di antara obrolan yang menyusup ke
pelbagai wilayah dan tokoh dunia itu, saya justru bersolilokui di dalam hati.
Kehidupan kesusastraan hari ini memang sangat memerlukan orang semacam Sigit
Susanto. Di antara arus kapitalistik dan teknologiisme
yang menggerus minat berliterasi; kesulitan mengakses buku-buku berkualitas;
serta dominasi pusat dalam kesusastraan, gerakan literasi di desa dan di
rumah-rumah adalah sebuah angin segar demi menggeliatkan etos berliterasi. Etos
menggerakkan literasi tak perlu mengandalkan uluran birokrat dan pejabat, yang
kita semua tahu, melulu berpamrih politis. Spirit yang terkumpul dari
kunjungannya ke sudut negara, spirit non-kapitalistik yang kini berbuah di
sebuah desa yang sejuk, sesejuk aroma literasi yang menguar dari perpustakaan
milik Sigit Susanto.
Pagi
pun semakin mendekati terang, saya pamit untuk tidur meski Sigit masih bernafsu
untuk berbagi cerita. Di dalam tidur, tiba-tiba saja saya memimpikan kampung
halaman saya…[]
5 Mei 2014, Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar