Rabu, 14 Mei 2014

Dari Avonturir (Sastra) Dunia untuk Desa



Untuk ke sekian kalinya, beberapa hari silam, saya berkunjung ke rumah Sigit Susanto di Boja, Kendal. Tidak setiap hari saya bisa menemuinya. Ia menetap di Swiss, dan hampir setiap tahun menyempatkan pulang demi sebuah hajatan sastra tahunan yang ia gagas bersama rekan-rekannya. Kepulangannya pun tak sebatas melepas kerinduan. Parade Obrolan Sastra tahun ini memasuki sesi ke VII. Beberapa tokoh sastra kenamaan pernah menghabiskan malam dalam acara ini, sebut saja Saut Situmorang, D. Zamawi Imron, Agus Noor, Ahmad Tohari, Martin Aleida, F. Rahardi, I Wayan Sunarta, dan Remy Sylado. Setiap tahun acara selalu menarik, namun yang lebih menarik bagi saya justru sosok Sigit Susanto, tokoh di balik agenda bermanfaat ini. 

Saya berkesempatan menghabiskan malam  bersamanya, mengobrolkan pengalamannya bertualang, sekaligus mengobrolkan tokoh-tokoh sastra yang ia gemari. Saya lebih menyebut Sigit sebagai avonturir sastra. Sejak hijrah ke Swiss, ia sudah bertualang di hampir 36 negara. Pengembaraannya bukan sebatas uforia turisme. Sigit memprioritaskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menurutnya memiliki memori sejarah, atau berkaitan dengan para tokoh sastra dunia. Alasannya: di Eropa, bukan hal baru membicarakan sastra dalam buku panduan wisata. Selain itu, Sigit menyadari gairah membaca sastra di Indonesia mulai bergeliat, dengan demikian perlu adanya perkenalan lebih jauh perihal sastra dan satrawan dari negeri yang ia kunjungi. Catatan perjalanan tersebut tertuang dalam tiga jilid buku yang ia sudah terbitkan: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. 
 
Pengetahuan dan kecintaannya pada karya sastra dunia, serta para nobelis sastra, membuat tujuan tempat yang ia kunjungi selalu berdasarkan pertimbangan kaitan dengan sastrawan tertentu. Sigit begitu sumringah ketika mengunjungi tempat yang dulunya sempat disinggahi para sastrawan dunia. Alhasil, di rumahnya berderet buku karangan nobelis, yang mayoritas berbahasa asing, dan pernah ia kunjungi tanah kelahirannya. Apa saja buku nobelis sastra yang ada di sana, tak perlu saya sebutkan. Tapi saya kira lumayan lengkap. Perpustakaan ini gratis bagi siapa pun yang ingin pinjam. 

Tentang pengarang asal Irlandia itu, Sigit mengaku sudah menamatkan seri Ulysses jilid 1-3 bersama Reading Group Yayasan James Joyce di Zurich sebanyak dua kali, dan bahkan, hendak mengulang membaca kembali untuk ketiga kalinya. Ketekunan membaca Ulysses selama 6 tahun lebih, meski menurut saya justru sangat lambat, membuatnya begitu menguasai detail dan makna novel ini. Sigit menganggap karya Joyce begitu detail dan sangat ensiklopedis. Sigit juga kesengsem pada Frans Kafka. Dari kecintaannya, ia tuntas menerjemahkan Proses karya Frans Kafka, yang meski sudah dibeli penerbit besar di Indonesia, belum juga terbit. Terhadap nasib terjemahannya itu, Sigit tampak sedikit murung.  

Buku dan “Pembalasan Dendam”
Saya hampir menghabiskan sebungkus kretek ketika Sigit mulai bercerita tentang buku-buku murah yang ia beli di negeri asing. Di negara mana pun yang ia tuju, buku selalu jadi incaran menggiurkan. Membeli buku murah kerap mengingatkannya pada masa ketika ia harus menjual sepasang sepatu demi membiayai hidup saat mahasiswa. Namun, hasil berjualan sepatu itu terpaksa berkurang saat ia menjumpai buku Agatha Cristie di loakan. Buku lebih menggiurkan ketimbang sepiring nasi. Ia pun membelinya tanpa menyesal.

Hasil dari avonturnya ke pelbagai negara, Sigit memboyong buku-buku kelas nobel ke desanya. Sebuah rumah tak istimewa disulap menjadi rumah buku, bernama Pondok Maos Guyub. Sigit menerangkan, hasratnya mengumpulkan buku dan membuat perpustakaan adalah sebuah obsesi “balas dendam” sebagai anak desa. Sigit mengenang masa di mana ia nekat membuka perpustakaan di bekas warung jualan bubur ibunya. Buku didapat dari sumbangan warga desa. Pun pada akhirnya perpustakaan itu tutup karena keterbatasan dana dan tidak ada buku baru. Obsesi mendirikan perpustakaan kemudian terwujud pasca menetap di Swiss dan justru semakin berkembang.

Meski mayoritas perpustakaannya berisi buku berbahasa asing, sedikit pun Sigit tak risau. Ia yakin, kehadiran buku-buku bakal menularkan hasrat berliterasi, membaca ataupun menulis. Buku kerap memberi sihir intelektualisme. Bersama beberapa rekan, Sigit sudah menggagas Reading Group. Novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hermingway dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, di antaranya. Jarak bahasa tak menyurutkan gairah menghidupi literasi di desanya.  

Tahun ini, salah satu cita-citanya kembali terwujud. Setelah Pondok Maos Guyub, forum tahunan Parade Obrolan Sastra, Perpustakaan Rumah Pohon kini berdiri. Sebuah angan-angan yang lahir setelah menyaksikan betapa di negara yang ia kunjungi, banyak berdiri rumah pohon bagi anak-anak untuk menghabiskan waktu sambil membaca. Saya berkesempatan merasakan kedamaian di perpustakaan pohon miliknya. Saya tidak tahu obsesi apalagi yang hendak Sigit ciptakan demi memekarkan hasrat berliterasi di desanya. 

Terasa begitu cepat obrolan itu berlalu. Subuh sudah di depan mata. Perbincangan malam itu belum menampakan tanda-tanda kebosanan. Di antara obrolan yang menyusup ke pelbagai wilayah dan tokoh dunia itu, saya justru bersolilokui di dalam hati. Kehidupan kesusastraan hari ini memang sangat memerlukan orang semacam Sigit Susanto. Di antara arus kapitalistik dan teknologiisme yang menggerus minat berliterasi; kesulitan mengakses buku-buku berkualitas; serta dominasi pusat dalam kesusastraan, gerakan literasi di desa dan di rumah-rumah adalah sebuah angin segar demi menggeliatkan etos berliterasi. Etos menggerakkan literasi tak perlu mengandalkan uluran birokrat dan pejabat, yang kita semua tahu, melulu berpamrih politis. Spirit yang terkumpul dari kunjungannya ke sudut negara, spirit non-kapitalistik yang kini berbuah di sebuah desa yang sejuk, sesejuk aroma literasi yang menguar dari perpustakaan milik Sigit Susanto. 

Pagi pun semakin mendekati terang, saya pamit untuk tidur meski Sigit masih bernafsu untuk berbagi cerita. Di dalam tidur, tiba-tiba saja saya memimpikan kampung halaman saya…[]
5 Mei 2014, Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar