Novel memang “sihir”
mujarab. Manusia sanggup menyelami pelbagai rupa manusia lewat suguhan tema,
karakter, dan “ideologi” dari tokoh dalam novel. Novel memungkinkan adanya
pemakluman, penyadaran, hingga toleransi atas konflik dan gesekan yang terjadi
dalam realitas hidup bermasyarakat dan bernegara. Laku membaca novel
mengajarkan manusia atas kesabaran, penghayatan, hingga pergulatan pemikiran.
Novel tak sekadar kisah yang berhasil di khatamkan. Selebihnya, novel kerap
membekas, memengaruhi, dan menyadarkan.
Kehebatan novel memang
tak sebatas tebal halaman. Novel menjadi penuh makna saat menyampaikan ajakan
bahkan ajaran tentang petilan-petilan kemanusiaan. Pembaca dirayu untuk terjun
dalam imajinasi tak berkesimpulan. Novel menyampaikan meski kerap tak
ditafsirkan seragam. Boleh jadi, novel adalah ajaran, meski tak wajib
diamalkan. Novel bukan kitab suci yang mesti diagungkan. Novel boleh
dipegang-dibaca siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Bahkan, di atas kakus,
novel adalah bacaan bersahaja.
Di Indonesia, sejarah
pernah mencatat kebrutalan Pemerintah dalam memberangus kemerdekaan novel. Novel
pernah jadi semacam “manusia” berbahaya. Novel dengan kisah beraroma
kontra-revolusioner, atau pun yang dituduh demikian, pernah terancam
keberadaannya di era Presiden Soekarno. Wajar saja, pemimpin besar revolusi itu
adalah sosok berhaluan revolusioner. Sebaliknya, di era Presiden Soeharto, buku
beraliran revolusioner, atau pun yang dituduh bernafas komunis, ditentang
habis-habisan keberadaannya. Novel jadi korban politik dan kekuasaan. Era di
mana ideologi bisa memberangus kemerdekaan novel hingga nasib si pengarang
novel. Sejarah memang tak pernah berwajah mulus. Novel adalah cermin pergolakan
dan perubahan zaman.
Novel dan Perubahan Diri
Meski imajinatif, novel
menjanjikan pengalaman batin. Fragmen persoalan kehidupan ditampilkannya secara
gamblang serta sarat sisipan gagasan dari si pengarang. Perkenalan dengan novel
adalah tahap mengenali permasalahan kemanusiaan. Lebih jauh lagi, novel sanggup
membawa perubahan tak sebatas jargon. Kenangan bersentuhan dengan novel adalah
awal di mana pukau dunia sastra menjadi pilihan berkreatif meski belum menjadi
profesi. Novel tipis bertajuk Tangis
Rembulan di Hutan Berkabut (H20 Publishing, 2007) karya S Prasetyo Utomo
adalah momentum dan keberuntungan bagiku. Seperti pintu masuk bagiku menapaki
lembaran kesusastraan dan kepenulisan. Membaca novel ini adalah pengalaman
sepele namun berdampak besar dalam kehidupanku berikutnya. Kali pertama membeli
sekaligus mengkhatamkan novel secara tuntas. Perkenalanku dengan novel memang
belum selawas teman-teman yang lain.
Aku tumbuh, dan
mengalami masa kanak-kanak hingga remaja di desa yang jauh dari aroma literasi,
yang, harus diakui, menumbuhkan jati diri miskin referensi. Aku, juga
teman-teman masa kecil, hidup di lingkungan masyarakat miskin fasilitas dan
kesadaran berliterasi. Perpustakaan desa baru sebatas harapan. Di sekolah,
perpustakaan tak ubahnya ruang pengap penuh jaring laba-laba. Buku tertumpuk
lusuh jarang tersentuh manusia. Tidak ada novel di sana. Rak kecil nan usang
itu dihuni beberapa tumpuk buku paket. Buku yang kaku dan dingin. Tegak dan
menakutkan bagai barisan tentara. Aku pun tak pernah berhasrat menyentuh apalagi
meminjamnya. Anak-anak sepertiku tumbuh tanpa banyak kesempatan
mengimajinasikan kisah, tokoh, dan harapan dalam novel. Masa kecil bergulir
tanpa keceriaan menggenggam novel. Terbentuklah seorang bocah tanpa kenangan
bernovel, tanpa ketertarikan menyentuh halaman-halaman novel. Novel pun absen
dari sejarah hidupku, minimal, hingga menjelang masa kuliah. Tapi aku tak
pernah menyesal.
Perubahan datang tanpa
mengenal terlambat. Perubahan muncul saat, untuk kali pertama dalam hidupku,
novel perdana Pak Pras kukhatamkan dalam dua malam. Sungguh, waktu baca yang
tidak sebanding dengan tebal buku 120 halaman! Novel ini sederhana namun
bermuatan kritik sosial yang tegas. Berkisah tentang Panji, mantan wartawan. Ia
keluar dari pekerjaan karena kerap dituduh terlalu kritis dalam mengolah berita
oleh atasan. Ia pun memilih hengkang dari dunia jurnalisme yang sejatinya
menjadi impiannya. Demi menenangkan diri, ia menyepi di rumah Mas Goen, kakak
tirinya. Mencoba memungut ketenangan di sebuah desa di tepi hutan jati yang
teduh. Bukan ketenangan yang Panji peroleh. Maraknya pembalakan dan pemborong
tanah dari kota jadi polemik tak berkesudahan di daerah tersebut. Konflik di
tepi hutan jati ini menyinggung pelbagai masalah tradisi, ekonomi, modernisasi,
hingga cinta. Ada segan yang muncul dari novel ini. Ada hasrat untuk
mengobrolkannya secara langsung dengan pengarang: S Prasetyo Utomo. Hasrat
untuk membaca karyanya yang lain pun memuncak.
Ia, Pak Pras, seorang
cerpenis-esais moncer di Semarang di mana karyanya tersebar luas di media lokal
dan nasional. Maka cerpen dan tulisannya jadi incaranku sebagai pelunas
penasaran. Puluhan cerpennya kunikmati dengan perenungan. Aku menangkap satu
garis imajinatif yang merangkai mayoritas seluruh karyanya. Ada ketertarikan
pada tema-tema lokal, tradisional, juga eksplorasi nilai-nilai kedewasaan.
Kepedulian menggali tema-tema perlawanan budaya lokal versus gempuran
modernisasi dan globalisasi memunculkan karakter tokoh serba kontradiktif.
Selalu ada perongrong nilai-nilai lokal. Dan muncullah tokoh-tokoh penjaga
nilai itu. Semua berkelindan, saling berkecamuk dalam balutan narasi, style,
penggunaan mitos-mitos khas S Prasetyo Utomo. Aku giat menyimpulkan secara
pribadi keterkaitan setiap karyanya meski belum sempat membuat esai panjang
untuk mengapresiasinya.
Rasa puas itu bagai
gayung bersambut saat berlansung diskusi sastra di mana Pak Pras didaulat sebagai
pembicara. Kuungkapkan segala teks yang pernah kucerap. Beberapa cerpennya: Penyusup Larut Malam, Cermin Jiwa, Ular
Randu Alas, Pemuja Durga, dan seterusnya, begitu mengiang dan terkenang.
Perkenalan dengannya adalah berkah dan sejarah. Pembicaraan yang berkutat
seputar sastra dan kepenulisan tidak bisa tidak membawa sebuah doktrin besar
dalam hidupku. Ideologi literasi muncul setelah beberapa kali perjumpaan dan
perbincangan mengendap di dasar pikiran. Dari sebuah novel kecil itu, Tangis Rembulan di Hutan Berkabut,
kegemaran bernovel tak lagi terbendung hingga saat ini, hingga saat tulisan ini
selesai ditulis.
Perburuan Tak Sudah
Maka novel menjadi
buruan tak terbantahkan saat memasuki toko buku, pedagang buku bekas, hingga
toko buku online. Ada keinginan
menjelajahi setiap ceruk novel demi harapan mendapati pengalaman batin yang
baru. Memiliki novel adalah investasi intelektual, jauh dari kesan materialistis.
Novel memang bukan barang yang layak digadai di pegadaian. Ia juga tak etis
jika di jual dengan harga bombastis meski harga novel baru kerap mendekati
mahal. Tak layak menilai novel dari pandangan ekonomistik.
Dan puluhan novel baru
pun jatuh di genggamanku. Tentu dengan ketelatenan dan perjuangan bertamu ke
pelbagai pedagang loak agar tidak terlalu mahal. Dari novel aku memetik nilai
yang selama ini tak pernah terjelaskan secara menarik dalam ruang kelas. Novel
kerap menampilkan informasi sejarah, ideologi, politik, tradisi, kebudayaan,
hingga persoalan pribadi manusia. Dari sanalah aku menyerap nilai-nilai
intelektual dan pengetahuan. Roman Pramoedya Ananta Toer kuanggap bagai kitab
bertuah. Ada pelbagai pengorbanan untuk membuatnya berjejer di rak buku di
kamarku. Pengorbanan waktu dan materi tak lagi ternilai demi novel-novel Pram.
Ada belasan novel Pram berhasil kukhatamkan.
Dari ulasan-ulasan Pram
pula, aku jadi berhasrat menelusuri novel pengarang dunia macam Boris Pasternak,
Solzhenitsyn, John Steinbeck, Duong Thu Huong, Albert Camus, George Orwell, Leo
Tolstoy, Nabokov, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, dan Maxim Gorky. Seleraku
kian tumpah ruah. Novel Indonesia jadi hidangan mutlak saat rezeki sedang
moncer. Aku masih terus berjuang membaca-memiliki novel-novel Seno Gumira Ajidarma,
Mochtar Lubis, Ayu Utami, Leila S Chudori, Suparto Brata, hingga Sindhunata.
Gelimang novel membawa faedah atas pemahamanku tentang kemanusiaan dan
keindonesiaan.
Novel memang tak pernah usai
memberi pencerahan dalam setiap kisahnya. Aku beruntung berkenalan dengan
novel. Dari sebuah novel tipis itu aku berkenalan dengan pelbagai macam kisah
dan tema. Membaca novel sekaligus berkenalan dengan S Prasetyo Utomo adalah
berkah tak ternilai. Novel jadi santapan rohani berkat ajakan dan imbauan dari sang
novelis “Sukro”. Novel Tangis Rembulan di
Atas Hutan Berkabut adalah cara Tuhan memberi arahan padaku demi sebuah
laku kreatif lagi penuh nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Novel telah jadi
buku ajaran namun tak berhasrat menyaingi kitab suci.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar