Kecelakaan maut yang menimpa putra musikus
kondang Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani alias Dul, jadi tamparan keras, tidak
hanya bagi para orang tua, tapi juga negara. Kesalahan orang tua karena teledor
dan membiarkan anak mengendarai mobil sebelum usia yang dianjurkan dalam
undang-undang, itu sudah pasti. Namun, lepas dari peran orang tua, ada kiranya
kita mencermati: benarkah kecelakaan yang melibatkan anak, semata, “hanya”
kesalahan orang tua?
Bagi anda yang tiap harinya harus bertarung di
jalan raya, untuk sekedar perjalanan atau urusan kerja, perhatikanlah sejenak
lalu lalang para pengendara motor/mobil. Tidak sulit untuk menjumpai anak di
bawah umur, dalam arti belum cukup umur untuk memiliki Surat Izin Mengemudi,
mengendarai kendaraan di jalan raya. Ada yang berseragam sekolah, ada pula yang
melenggang tanpa kelengkapan berkendara, seperti helm. Kita bisa segera
berprasangka buruk. Menyalahkan orang tua karena melakukan pembiaran, misalnya.
Lantas, tidak adakah peran negara di sana? Saya
yakin, negara, dalam hal ini aparat polisi lalu lintas, sudah bertindak tegas
dengan menilang ataupun meningkatkan otensitas razia. Tapi, kenyataannya, para
pengendara belia tersebut masih bebas berkeliaran di jalan raya. Ada hal yang
menurut penulis mesti dikaji ulang terkait kecelakaan tersebut.
Fasilitas
Publik
Pertama, angkutan massal di
negara ini masih jauh dari nyaman dan aman. Di Jakarta saja, sebagai ibukota
negara, masih terjadi banyak kekurangnyamanan angkutan publik. Apalagi di
daerah pinggiran atau di kota-kota kecil. Tindak kriminalitas di atas angkutan
publik hingga menelan korban nyawa kerap diberitakan di media massa. Kondisi
ini menyebabkan orang tua kerap memilih memberi kemudahan izin bagi sang anak
untuk berkendaraan pribadi meski belum cukup umur.
Kedua, kondisi infrastruktur
publik. Kecelakaan yang menimpa putra Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani, semata
bukan permasalahan kecepatan mobil. Lebih jauh lagi, konon sebelum bertabrakan
dengan sejumlah kendaraan, Mitsubishi Lancer yang dikendarai Dul menabrak
pembatas jalan hingga menerobos masuk jalur berlawanan dan bertabrakan dengan
Daihatsu Gran Max silver. Dari
tragedi ini, evaluasi atas infrastruktur jalan tol Jagorawi mutlak dilakukan.
Minimal, pihak perancang jalan tol harus mengkaji ulang konstruksi jalan tol agar
sanggup meminimalisir kemungkinan jebolnya pembatas jalan. Hal ini kelak
berguna pula bagi kendaraan umum, terlepas dari kasus pengendara anak-anak yang
menimpa Dul.
Ketiga, pembiaran negara atas
gelombang motorisasi di kalangan
masyarakat segala lapisan. Meski pada kasus Dul adalah pengendara mobil, pada
kenyataannya sepeda motor juga marak dipakai para pengendara di bawah umur.
Mudahnya izin kredit pembelian kendaraan bermotor yang tidak diimbangi dengan
pengetatan kontrol dari kepolisian mengakibatkan pengendara di bawah umur kerap
tak terpantau secara maksimal. Dalam satu keluarga setiap anak memiliki
kendaraan masing-masing, misalnya. Keputusan masyarakat tersebut tentu bermula
dari angkutan publik yang tidak bisa memberi jaminan rasa aman dan nyaman.
Keempat, peran edukasi di
sekolah. Tidak bisa dimungkiri, sekolah memiliki andil dalam memberi nilai
edukasi dalam berkendara sesuai aturan undang-undang. Sebagian besar waktu
luang anak adalah di sekolah. Maka di sekolahlah proses pemahaman atas
keselamatan berkendara mesti dipupuk. Meski penyuluhan safety riding dari kepolisian sudah masuk ke sekolah, hal ini belum
maksimal. Meski melarang, sekolah tetap menyediakan lahan parkir dan pengawasannya
pun kurang maksimal. Peraturan kerap sebatas hiasan di tembok sekolah. Dalam
kasus ini, pihak institusi pendidikan tidak bisa lepas tangan.
Jaminan
Negara
Peraturan undang-undang lalu lintas memang tegas
melarang anak-anak untuk mengendarai kendaraan bermotor. Sangsi tegas pun
disiapkan bagi orang tua yang melakukan pembiaran terhadap sang anak. Lantas,
bukan berarti pula kontrol atas anak sepenuhnya jadi kewajiban orang tua.
Seperti penulis ungkap di atas, faktor sekolah dan kesigapan aparat polisi lalu
lintas juga mesti dipertimbangkan. Permasalahannya adalah, beranikah negara
menjamin kenyamanan dan keamanan anak, terutama di daerah perkotaan?
Jika kita perhatikan secara detail, negara masih
melakukan pembiaran terhadap faktor-faktor yang memicu anak berkendara sebelum
cukup umur. Kita bisa membuktikan, betapa acara televisi ramai-ramai
menampilkan adegan anak-anak berseragam sekolah yang, tanpa canggung, bermobil
atau bermotor ria di jalanan. Kadang pula dibumbui adegan percintaan ala remaja.
Nah! Tayangan yang demikian, tentu saja jadi model bagi anak untuk mencoba-coba
mengendarai kendaraan. Padahal, kita punya Komisi Penyiaran Indonesia. Pada
kasus ini, sudah jelas, negara abai terhadap tayangan non-edukatif.
Dan, harus penulis tegaskan pula, betapa negara
kerap lupa bagaimana membangun tata ruang, terutama kota, layak anak. Meski
baru-baru ini sudah dimulai adanya perencanaan dan pelaksanaan program kota
layak anak. Kita bisa melihat, betapa kota adalah tempat yang paling “berbahaya”
untuk anak. Awam kita lihat anak-anak sekolah berjalan beriringan sepulang
sekolah bersama teman-temannya. Mustahil saya kira. Hal ini terutama
dikarenakan karena tindak kriminalitas yang mengancam anak-anak, seperti
perampasan dan penculikan. Maka interaksi sosial yang terjalin sebatas sekolah
dan rumah. Di sekolah mereka sibuk dengan pelajaran yang padat. Di rumah pun,
mereka masih sibuk dengan tugas-tugas sekolah. Sedangkan tempat yang seharusnya
dipakai untuk anak-anak berkumpul dan bermain bersama teman sebayanya, perlahan
musnah digilas mall, kafe, dan pembangunan gedung bertingkat.
Maka, jalan(an) kerap jadi tempat mereka
melampiaskan tercerabutnya ruang sosial mereka. Didukung lemahnya kontrol orang
tua, longgarnya pengawasan aparat kepolisian, serta belum berpihaknya negara
dalam melindungi keamanan dan kenyaman sang anak, terjadilah tragedi kecelakaan
yang, kebetulan dialami seorang musikus kondang Ahmad Dhani, sehingga publik
mengabarkannya sedemikian masif.
Kejadian yang menimpa Dul adalah peringatan,
bukan hanya untuk para orang tua, tapi juga negara. Atas pelbagai pertimbangan
di atas, beranikah negara menjamin keramahan dan kenyamanan untuk anak? Agar
jalan(an) tidak menjadi alternatif ruang “bermain” yang jelas-jelas kita
ketahui, sangat membahayakan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar