Rabu, 18 September 2013

Negara Ramah Anak

Kecelakaan maut yang menimpa putra musikus kondang Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani alias Dul, jadi tamparan keras, tidak hanya bagi para orang tua, tapi juga negara. Kesalahan orang tua karena teledor dan membiarkan anak mengendarai mobil sebelum usia yang dianjurkan dalam undang-undang, itu sudah pasti. Namun, lepas dari peran orang tua, ada kiranya kita mencermati: benarkah kecelakaan yang melibatkan anak, semata, “hanya” kesalahan orang tua?

Bagi anda yang tiap harinya harus bertarung di jalan raya, untuk sekedar perjalanan atau urusan kerja, perhatikanlah sejenak lalu lalang para pengendara motor/mobil. Tidak sulit untuk menjumpai anak di bawah umur, dalam arti belum cukup umur untuk memiliki Surat Izin Mengemudi, mengendarai kendaraan di jalan raya. Ada yang berseragam sekolah, ada pula yang melenggang tanpa kelengkapan berkendara, seperti helm. Kita bisa segera berprasangka buruk. Menyalahkan orang tua karena melakukan pembiaran, misalnya.

Lantas, tidak adakah peran negara di sana? Saya yakin, negara, dalam hal ini aparat polisi lalu lintas, sudah bertindak tegas dengan menilang ataupun meningkatkan otensitas razia. Tapi, kenyataannya, para pengendara belia tersebut masih bebas berkeliaran di jalan raya. Ada hal yang menurut penulis mesti dikaji ulang terkait kecelakaan tersebut.

Fasilitas Publik

Pertama, angkutan massal di negara ini masih jauh dari nyaman dan aman. Di Jakarta saja, sebagai ibukota negara, masih terjadi banyak kekurangnyamanan angkutan publik. Apalagi di daerah pinggiran atau di kota-kota kecil. Tindak kriminalitas di atas angkutan publik hingga menelan korban nyawa kerap diberitakan di media massa. Kondisi ini menyebabkan orang tua kerap memilih memberi kemudahan izin bagi sang anak untuk berkendaraan pribadi meski belum cukup umur.

Kedua, kondisi infrastruktur publik. Kecelakaan yang menimpa putra Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani, semata bukan permasalahan kecepatan mobil. Lebih jauh lagi, konon sebelum bertabrakan dengan sejumlah kendaraan, Mitsubishi Lancer yang dikendarai Dul menabrak pembatas jalan hingga menerobos masuk jalur berlawanan dan bertabrakan dengan Daihatsu Gran Max silver. Dari tragedi ini, evaluasi atas infrastruktur jalan tol Jagorawi mutlak dilakukan. Minimal, pihak perancang jalan tol harus mengkaji ulang konstruksi jalan tol agar sanggup meminimalisir kemungkinan jebolnya pembatas jalan. Hal ini kelak berguna pula bagi kendaraan umum, terlepas dari kasus pengendara anak-anak yang menimpa Dul.

Ketiga, pembiaran negara atas gelombang motorisasi di kalangan masyarakat segala lapisan. Meski pada kasus Dul adalah pengendara mobil, pada kenyataannya sepeda motor juga marak dipakai para pengendara di bawah umur. Mudahnya izin kredit pembelian kendaraan bermotor yang tidak diimbangi dengan pengetatan kontrol dari kepolisian mengakibatkan pengendara di bawah umur kerap tak terpantau secara maksimal. Dalam satu keluarga setiap anak memiliki kendaraan masing-masing, misalnya. Keputusan masyarakat tersebut tentu bermula dari angkutan publik yang tidak bisa memberi jaminan rasa aman dan nyaman.

Keempat, peran edukasi di sekolah. Tidak bisa dimungkiri, sekolah memiliki andil dalam memberi nilai edukasi dalam berkendara sesuai aturan undang-undang. Sebagian besar waktu luang anak adalah di sekolah. Maka di sekolahlah proses pemahaman atas keselamatan berkendara mesti dipupuk. Meski penyuluhan safety riding dari kepolisian sudah masuk ke sekolah, hal ini belum maksimal. Meski melarang, sekolah tetap menyediakan lahan parkir dan pengawasannya pun kurang maksimal. Peraturan kerap sebatas hiasan di tembok sekolah. Dalam kasus ini, pihak institusi pendidikan tidak bisa lepas tangan.

Jaminan Negara

Peraturan undang-undang lalu lintas memang tegas melarang anak-anak untuk mengendarai kendaraan bermotor. Sangsi tegas pun disiapkan bagi orang tua yang melakukan pembiaran terhadap sang anak. Lantas, bukan berarti pula kontrol atas anak sepenuhnya jadi kewajiban orang tua. Seperti penulis ungkap di atas, faktor sekolah dan kesigapan aparat polisi lalu lintas juga mesti dipertimbangkan. Permasalahannya adalah, beranikah negara menjamin kenyamanan dan keamanan anak, terutama di daerah perkotaan?

Jika kita perhatikan secara detail, negara masih melakukan pembiaran terhadap faktor-faktor yang memicu anak berkendara sebelum cukup umur. Kita bisa membuktikan, betapa acara televisi ramai-ramai menampilkan adegan anak-anak berseragam sekolah yang, tanpa canggung, bermobil atau bermotor ria di jalanan. Kadang pula dibumbui adegan percintaan ala remaja. Nah! Tayangan yang demikian, tentu saja jadi model bagi anak untuk mencoba-coba mengendarai kendaraan. Padahal, kita punya Komisi Penyiaran Indonesia. Pada kasus ini, sudah jelas, negara abai terhadap tayangan non-edukatif. 

Dan, harus penulis tegaskan pula, betapa negara kerap lupa bagaimana membangun tata ruang, terutama kota, layak anak. Meski baru-baru ini sudah dimulai adanya perencanaan dan pelaksanaan program kota layak anak. Kita bisa melihat, betapa kota adalah tempat yang paling “berbahaya” untuk anak. Awam kita lihat anak-anak sekolah berjalan beriringan sepulang sekolah bersama teman-temannya. Mustahil saya kira. Hal ini terutama dikarenakan karena tindak kriminalitas yang mengancam anak-anak, seperti perampasan dan penculikan. Maka interaksi sosial yang terjalin sebatas sekolah dan rumah. Di sekolah mereka sibuk dengan pelajaran yang padat. Di rumah pun, mereka masih sibuk dengan tugas-tugas sekolah. Sedangkan tempat yang seharusnya dipakai untuk anak-anak berkumpul dan bermain bersama teman sebayanya, perlahan musnah digilas mall, kafe, dan pembangunan gedung bertingkat.

Maka, jalan(an) kerap jadi tempat mereka melampiaskan tercerabutnya ruang sosial mereka. Didukung lemahnya kontrol orang tua, longgarnya pengawasan aparat kepolisian, serta belum berpihaknya negara dalam melindungi keamanan dan kenyaman sang anak, terjadilah tragedi kecelakaan yang, kebetulan dialami seorang musikus kondang Ahmad Dhani, sehingga publik mengabarkannya sedemikian masif.

Kejadian yang menimpa Dul adalah peringatan, bukan hanya untuk para orang tua, tapi juga negara. Atas pelbagai pertimbangan di atas, beranikah negara menjamin keramahan dan kenyamanan untuk anak? Agar jalan(an) tidak menjadi alternatif ruang “bermain” yang jelas-jelas kita ketahui, sangat membahayakan.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar