Jumat, 29 Juli 2016

Menguak Jejak Tiga Seniman Rupa Tionghoa

 Di era Orde Lama, patron seni rupa Indonesia berkiblat pada selera Presiden Sukarno. Seni disituasikan untuk menyokong misi politik dan gagasan Sukarno. Tak ayal lagi, seniman yang sanggup menggugah selera seni Si Bung dijamin bakal mendapat perhatian khusus.
Salah satu seniman yang menarik perhatian Sukarno adalah Lee Man Fong. Reputasinya sebagai pelukis mulai dipandang sejak lukisannya yang berjudul Telaga Warna dibeli oleh kolektor terkenal, Gubernur de Jonge. Tahun 1950, ia juga mendirikan perkumpulan seniman Tionghoa bernama Yin Hua. “Yin” artinya Indonesia, dan “Hua” artinya Tionghoa.
Kepopuleran Man Fong merangsang Sukarno menjadikannya pelukis istana. “Reputasi artistik dan organisasi ini yang meyakinkan Bapak untuk mengangkat Man Fong jadi Pelukis Istana menggantikan saya,” tulis Agus, mengutip Dullah, Pelukis Istana sebelumnya (hal.58).
Man Fong ditugasi membuat mural berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia untuk Hotel Indonesia dan menyusun buku koleksi lukisan Sukarno sebanyak 5 jilid. Keterlibatan Man Fong dalam proyek besar Istana itu berbuah manis. Ia mendapat kado istimewa dari Sukarno, yaitu “pengesahan status kewarganegaraan Indonesianya yang bertahun-tahun tak pernah terealisasi”(hal.61).
Kisah kedekatan Man Fong dan Sukarno dikisahkan secara apik oleh Agus Dermawan T dalam buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa (2016). Selain Man Fong, ada dua seniman rupa Tionghoa lainnya, yaitu Siauw Tik Kwie dan Lim Wasim. Agus mengisahkan tiga tokoh itu dalam kerangka narasi yang menaut pada relasi kekuasaan, politik, dan gesekan ideologi.
Nasib menjadi pelukis istana juga menghampiri Lim Wasim, pelukis berbakat lulusan Central Institute of Fine Art Beijing, 1950-1956. Keterlibatan Lim Wasim dalam proyek istana mengantarkannya menjadi orang dekat Sukarno. Ia mendapat wasiat untuk menjaga, merawat, memperbaiki, hingga memodifikasi, koleksi lukisan-lukisan Sukarno.
Ada kisah unik saat Lim Wasim diminta memperbaiki sebuah lukisan, karya pelukis luar negeri, bergambar wanita telanjang. Menurut Sukarno, salah satu payudara wanita dalam lukisan itu terlalu kecil. Sukarno menganjurkan Lim Wasim mengoreksi lukisan menggunakan model, yaitu wanita yang bekerja di lingkungan Istana, agar presisinya lebih tepat.
Bisa ditebak, wanita itu menolak dijadikan model buah dada. “Janganlah menolak, ini tugas negara,” ucap Sukarno. Lim Wasim pun akhirnya sukses “memperbaiki” lukisan itu, dan Presiden nampak puas dengan hasil pekerjaannya. Lim Wasim mengakui, untuk ukuran lukisan, Sukarno memiliki ketajaman naluri seni yang ampuh. Terbukti setelah diperbaiki lukisan jadi lebih bagus (hal.200).
Berbeda dari dua karib seangkatannya yang populer sebagai “orang Istana”, tokoh Siauw Tik Kwie justru lebih dikenal sebagai komikus serial Sie Djin Koei di majalah Star Weekly. Komik ini mengusung cerita-cerita Tiongkok, dengan penggambaran yang mengadopsi tokoh-tokoh Wayang Potehi.
Sepanjang tahun 1960an, Siauw tercatat memegang rekor atas 700 episode yang terbit tiap minggu tanpa jeda. Siauw juga dianggap sebagai guru di kalangan seniman karena getol menyerukan sikap dan rasa cinta Tanah Air dalam berkesenian maupun dalam menilai karya seni.
Karir tiga seniman itu terus moncer hingga kemudian mengalami goncangan saat meletus Kudeta 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai dalang di balik peristiwa itu, dan negara Cina yang memang berhaluan komunis dituduh terlibat. Tak pelak, identitas ketionghoaan mereka pun disangkutpautkan dengan Baperki, sebuah organisasi Tionghoa yang berafiliasi dengan komunis.
Tuduhan itu berimbas pada nasib orang-orang Tionghoa. Sejak kelahiran Orde Baru, nasib para seniman Tionghoa pun kian terpojok. Untuk sekadar pameran atau memasarkan karya, mereka mesti sembunyi-sembunyi. Sedangkan Lee Man Fong memutuskan memilih hidup di luar negeri. Tiga nama seniman ini pun hilang dari catatan sejarah.
Bermodal dokumentasi wawancara dan ketelatenan mengurusi data-data di masa lalu, Agus sanggup mencatatkan kembali jejak-jejak tiga seniman Tionghoa itu dalam narasi besar sejarah (seni rupa) Indonesia. Agus mengungkap hasil pemikiran dan karya mereka demi pembuktian keindonesiaan dan nasionalisme.
Bagi Agus, tiga seniman tersebut mewariskan jasa dan hasil pemikiran yang berharga bagi bangsa Indonesia. Gagasan pluralisme Lee Man Fong dianggap mewakili jiwa nasionalisme para kaum Tionghoa di Indonesia. ”Orang-orang Tionghoa di Indonesia semestinya sejak dulu diposisikan sebagai “suku Tionghoa”, yang posisinya sama belaka dengan “suku Madura”, “suku Batak”, “suku Sunda”, dan sebagainya, tulis Agus mengutip Lee Man Fong.

Sedangkan Siauw Tik Kwie adalah orang yang berjasa menerjemahkan pemikiran filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram ke dalam berjilid-jilid buku. Ia pun menggunakan nama samaran Otto Suastika agar tak diintai oleh penguasa Orde Baru. Dan berkat ketelatenan Lim Wasim pulalah ribuan koleksi lukisan dan benda seni warisan Sukarno, yang pada saat pergantian kekuasaan terancam oleh pencurian dan penjarahan, hari ini masih bisa kita nikmati.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar