Jumat, 29 Juli 2016

Mengisahkan Hatta dari Sangat Dekat


Sejarah Indonesia meriwayatkan Mohammad Hatta sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita membaca ketokohan Hatta bereferensi buku sejarah maupun biografi dan otobiografi. Para sejarawan mengurai kiprah Hatta berdasarkan aktivitas, pemikiran, dan perannya di bidang intelektual, politik, ekonomi, dan pergerakan.
Sekian buku tentang Hatta sengaja diterbitkan oleh sahabat, sejarawan, orang-orang terdekat, bermaksud melengkapi pengisahan sosok Hatta secara komplit. Begitu pula dengan penerbitan buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2016) yang ditulis oleh tiga putrinya: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Ketiganya menuliskan kesan, pengalaman, dan ingatannya sebagai anak seorang tokoh besar Indonesia.
Sebagai anak pertama, Meutia tentu paling banyak memiliki kesempatan menikmati masa kecilnya bersama sang ayah. Meutia mengenang masa-masa di saat ayahnya kerap mendapat undangan ke luar negeri meski sudah tidak berstatus Wakil Presiden pertama Indonesia.
Meutia ingat saat diajak ayahnya melawat ke Jerman. Di sebuah restoran yang mereka kunjungi, terjadi peristiwa yang kemudian membuat Meutia terkagum-kagum pada sikap berani ayahnya. Hanya karena beda warna kulit, rombongan Hatta tidak mendapat perlakuan memuaskan dari pengelola restoran milik warga Jerman.
“Ayah berbicara dengan fasih dan tegas, saya terkesima. Ayah memprotes perlakuan mereka yang membuat kami berlama-lama di sana tanpa dilayani”(hal.15). Peristiwa ini menegaskan betapa Hatta adalah seorang pemberani yang menjunjung tinggi kesetaraan hak-hak manusia. Ia tak rela mendapat perlakuan berbeda hanya karena beda ras.
Selain itu, Meutia tak segan untuk menceritakan hal-hal pribadi terkait sang ayah. Misalnya, tentang alasan mengapa ayahnya terlambat menikah, yaitu di usia 43 tahun. Menurut Meutia, ayahnya ”tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka” (hal.39). Prinsip itu pun benar-benar Hatta lakoni. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim, yang kemudian menjadi ibu dari ketiga penulis buku ini.
Salah satu didikan Hatta yang hingga kini masih Meutia ingat dan lakoni yaitu terkait buku. Hatta memang terkenal sebagai sosok intelektual penggila buku. Sejak kecil, Meutia diajarkan oleh Hatta agar memperlakukan buku secara terhormat. Saat membaca buku, Meutia diajarkan agar “duduk manis, tangan dilipat, dan satu aturan lagi, buku tidak boleh dicoret atau diberi tanda dengan cara dilipat ujungnya”(hal.84).
Selain tegas, teguh pendirian, dan disiplin, Hatta juga dikenal sebagai sosok lelaki yang romantis. Gemala Rabia’ah Hatta terkenang sikap ayahnya yang sangat halus kepada Rachmi, sang ibu. Dalam kisahan Gemala, kita bisa mendapati gambaran tentang keromantisan Hatta pada istrinya.
Gemala mengisahkan momentum saat Hatta memberikan uang pensiunan kepada istrinya. “Ini pensiunan Kak Hatta, tolong Yuke cukupkan. Nanti kalau ada yang kurang, katakan pada Kak Hatta, nanti kita carikan jalan keluarnya”(hal.147). Sebuah dialog yang lembut. Hatta punya penggilan kesayangan kepada Rachmi, begitupun sebaliknya.
Kita bisa membaca situasi Hatta saat itu. Pensiunan sebagai Wakil Presiden tak menjamin kebutuhan hidup berkecukupan. Meski tak punya banyak uang, Hatta tetap mengutamakan sikapnya yang lembut pada sang istri.
Berbeda dengan ulah para politisi hari ini yang gemar korupsi. Meski kondisi keuangan yang tak terlalu longgar, Hatta tak tergiur mengambil uang negara yang bukan haknya. Gemala terkesan dengan kejujuran Hatta terkait penggunaan uang negara.
Kala itu, Hatta mengalami sakit keras dan mesti berobat ke luar negeri. Seluruh biaya pengobatan ditanggung negara. Ketika pengobatan selesai, ternyata ada sisa dari biaya pengobatan yang menurut aturan negara sudah menjadi hak Hatta. Tetapi Hatta berkehendak lain. Meutia mengenang ucapan ayahnya:”itu bukan uangku, kembalikan kepada negara”(hal.166).
Kejujuran dan kesederhanaan Hatta juga begitu membekas dalam ingatan si ragil Halida Nuriah Hatta. Sekitar tahun 1955, Hatta melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden. Hatta sekeluarga kemudian hengkang dari rumah dinas. Hatta bisa saja meminta bantuan negara untuk membelikan rumah. Namun hal itu tidak Hatta lakukan.
Hatta lebih memilih membeli rumah dengan mencicil. Hatta mengakui cukup membiayai rumah itu dari penghasilannya sendiri yang bersumber pada “tabungan dari penghasilan kebiasaan menulis di media sejak muda, yaitu menulis karangan yang mengupas berbagai berbagai persoalan mendasar bidang sosial, ekonomi, politik”(hal.200).

Ingatan dan kenangan ketiga putrinya tentu sanggup menjelaskan Hatta dari dekat. Buku ini akan semakin berkesan apabila konsisten mengisahkan Hatta secara personal, dalam bingkai relasi anak dan ayah. Sayang sekali, ketiga penulis justru tergiur mengurusi hubungan politik, uraian ideologis, serta upaya menjelaskan pemikiran-pemikiran Hatta. Hal itu tentu mubadzir karena ada begitu banyak buku karangan para pakar yang lebih mumpuni dalam mengulas hal tersebut.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar