Jumat, 29 Juli 2016

Jiwa Seni Presiden Kita

Potret Ibu Presiden Soekarno karya Lim Wasim
 Menjelang 71 tahun perayaan kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo berkeinginan menyelenggarakan sebuah tradisi baru dari Istana Negara, yaitu pameran lukisan. Bukan pameran sembarangan, karena bakal menyuguhkan koleksi seni rupa milik Istana Negara. Pameran ini mengusung tema “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan”, berlangsung sebulan penuh selama Agustus (Kompas, 15 Juli 2016).
Tak usah kita tebak, pameran itu tentunya bakal menampilkan banyak lukisan koleksi mantan Presiden Soekarno. Kita tahu, Soekarno adalah maniak lukisan. Selera seninya pun dianggap bermutu tinggi. Mikke Susanto, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta sekaligus anggota tim kurasi pameran, mengakui “setelah Presiden Soekarno, kita tidak memiliki presiden yang punya keintiman dengan seni rupa”.
Pernyataan Mikke patut kita cermati. Tentu saja, kesukaan seorang pemimpin, apalagi presiden, dengan seni bisa berpengaruh pada kebijakan-kebijakan di bidang seni dan budaya. Hal itu kelak ikut menentukan, misalnya, besaran anggaran negara yang bakal dialokasikan di bidang seni.
Di masa lalu, kegemaran Soekarno pada seni memberi karakteristik pada gaya kepemimpinannya. Dampak paling terlihat adalah pada bagaimana seni berkelindan erat dengan visi politik Soekarno. Bagi Soekarno, seni harus menjadi alat peneguh persatuan, pemberi identitas kultural, serta mampu menyokong kebanggaan atas bangsanya. Singkatnya, seni yang mewakili jiwa rakyatnya.
Wajar bila secara pergaulan Soekarno begitu akrab dengan para seniman, terutama seni rupa. Agus Dermawan T (2016) mengisahkan kegemaran Presiden Soekarno menghabiskan waktu di pagi hari bersama Lim Wasim, pelukis sekaligus orang yang ia percayai merawat ribuan koleksi lukisannya, untuk berdialog perihal mutu sebuah lukisan. Tokoh inilah yang kemudian berperan menyelamatkan lukisan-lukisan itu ketika terjadi geger peristiwa 1965.
Presiden Soeharto, secara pribadi, justru punya pandangan berseberangan dengan Soekarno. Soeharto cenderung tak merestui bila seni, apalagi berbasis kerakyatan, memiliki ruang gerak yang leluasa. Soeharto memimpin negeri ini dengan orientasi pembangunan yang militeristik sehingga kurang memiliki ketajaman naluri seni, secara personal maupun kebijakan pemerintahannya.
Alhasil tak banyak kita jumpai catatan yang menyebutkan kedekatan Soeharto dengan seni. Meski begitu, Soeharto pernah merestui terbitnya buku Surat dan Puisi Anak-anak Pak Harto (1992) susunan G. Dwipayana dan S. Smansari Ecip. Soeharto bersentuhan dengan puisi! Soeharto bersedia menerima puisi dari anak-anak di pelosok negeri. Meski bertahun-tahun kemudian terjadi sebaliknya, Soeharto begitu murka dengan puisi-puisi yang mengkritik pemerintahannya, salah satunya karangan penyair Wiji Thukul.
Lain Soeharto, lain pula Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dialah presiden yang memiliki selera bacaan seni, khususnya sastra dan film, yang tinggi. Seperti dikisahkan Greg Barton (2003), Gus Dur adalah pelahap buku-buku sastra kelas wahid. Semasa kuliah di Kairo, Gus Dur melewatkan hari demi hari dengan berkeliling dari satu perpustakaan ke perpustakaan universitas besar di sana. Gus Dur khatam novel-novel William Faulkner, Ernest Hermingway, Leo Tolstoy, Frans Kafka, hingga prosa-prosa Edgar Allan Poe.
Gus Dur juga doyan menonton film-film rilisan Inggris, Eropa, dan Amerika. Di Kairo Gus Dur merasa bebas menonton film mana pun. Tidak seperti saat di Yogyakarta, di mana statusnya sebagai putera tertua almarhum Kiai Wahid Hasyim membuat setiap gerak-geriknya kerap diamati publik. Pengalaman bacaan dan tontonan yang begitu rupa pada akhirnya membentuk watak dan kepemimpinan Gus Dur yang humanis dan begitu menjunjung kebebasan dan hak asasi manusia.
Kita pun pada akhirnya tidak bisa untuk tidak menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang memiliki jiwa seni tinggi. Dialah presiden sekaligus penyair dan pengarang lagu. Tiga buku puisi yang ia terbitkan, yaitu Taman Kehidupan (2004), Membasuh Hati (2010), dan gabungan dua kumpulan puisi berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014). Meski berlatar-belakang militer, SBY tak canggung untuk menulis puisi dan mengarang lagu.
Jiwa seni yang dimiliki oleh masing-masing presiden memang tak menjanjikan kesuksesan padanya dalam memimpin negara dan pemerintahan. Namun, kecintaan juga dorongan dan perhatian presiden kepada seni, paling tidak, sanggup memberi jeda. Kaum politisi dan pejabat, menyitir ungkapan Mustofa Bisri, telanjur bercap “terlalu sibuk dengan urusan fisik dan materi, sehingga tak punya waktu untuk urusan yang berkaitan dengan batin dan jiwa”. Sehingga ketika mereka memberi perhatian pada seni, apalagi menjadi pelaku sekaligus, tentu jadi sesuatu yang beda.
Nah, kita doakan saja agar pameran lukisan yang diselenggarakan pihak Istana benar-benar mencerminkan perhatian dan jiwa seni Jokowi yang paling jujur. Bukan semata karena Soekarno, sebagai kolektor sebagian besar lukisan yang akan dipamerkan, adalah bapak ideologis bagi partai yang menaungi Jokowi. Saya percaya, Jokowi tidak sedang memanfaatkan pameran itu untuk urusan politiknya. []


Wawasan, 29 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar