Jumat, 29 Juli 2016

Kerinduan pada Taman

Foto: Gardens by the Bay di Singapura
Di sebuah kota yang penuh gedung, jalan raya, dan lalu lintas kendaraan, keberadaan ruang terbuka hijau memang begitu penting. Taman, misalnya, memungkinkan pertemuan antar sesama warga bisa terjalin. Sehari-hari, orang disibukkan oleh aktivitas kerja di rumah, kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, atau jalan. Hubungan antar individu pun kerap hanya mengandalkan telepon seluler atau media sosial.
Taman memberi kesempatan agar orang-orang di kota besar tak semakin individualis. Taman bisa dimanfaatkan untuk bersantai, menikmati sore, santap jajan, atau berbincang bersama rekan, tak melulu di kafe, kedai kopi, restoran, atau hotel. Taman sanggup memberi jeda bagi mata di antara pemandangan jembatan layang, kendaraan yang terburu-buru, juga kondominium yang menjulang tinggi. Kota-kota memerlukan taman bukan untuk sekadar mempercantik pemandangan. Pembuatan taman justru guna memanusiakan kaum urban.
Sejak dulu, kesadaran bertaman memang sudah tercatat di Indonesia. Di era kolonial, taman-taman biasa dibangun di depan, belakang, atau samping rumah penguasa. Masyarakat pribumi biasa menganggap taman sebagai kebon raja. Alasannya, hamparan tanah berumput yang luas disertai pohon dan tanaman bunga itu identik dengan sebutan “kebon”. Mereka berkeyakinan bahwa semua benda di negara ini adalah milik raja (Raap, 2015:285). Gambar kartu pos di masa lalu pun sempat mendokumentasikan taman-taman terkenal di Hindia Belanda, di antaranya Taman Pieter, yang sekarang menjadi Taman Balai Kota Bandung, dan Taman Sriwedari Solo.
Akhir-akhir ini pun media massa sering memberitakan taman-taman di kota besar. Kita, setidaknya, bisa menyebut Tri Risma Maharani dan Ridwan Kamil sebagai walikota penggemar taman. Mereka mengkreasikan lahan-lahan kosong untuk dialihfungsikan menjadi taman. Risma tenar sebagai walikota perempuan yang tak tanggung-tanggung mengurusi taman. Berita di televisi pernah menyiarkan adegan Risma ngamuk melihat taman kota yang rusak akibat terinjak-injak pejalan kaki saat berlangsung car free day, hari tanpa kendaraan.
Di Bandung, Ridwan Kamil memanfaatkan kolong jembatan sebagai taman dalam pelbagai tema, ada Taman Film, Taman Jomblo, dan Taman Skate. Pemberian nama itu menggelitik. Di taman itu, publik tak sekadar bersantai atau mengobrol. Mereka bisa menonton film dan bermain skateboard. Bagi dua walikota itu, mengurusi taman memang sama pentingnya dengan membangun jalan atau menyediakan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Kerinduan publik pun pelahan-lahan tersalurkan. Dan terbukti, publik menyambut gembira keberadaan taman-taman itu. Kesuksesan mengurusi taman bahkan sanggup mengerek ketenaran dua tokoh ini sebagai walikota berprestasi.
Jauh sebelum taman-taman garapan dua walikota itu ramai dikabarkan media, negara ini pernah memiliki proyek prestisius bernama Taman Mini Indonesia Indah. Meski menyandang  kata “mini”, bukan berarti taman itu seukuran halaman rumah. Taman justru berukuran jumbo karena diharuskan memuat pelbagai jenis miniatur rumah, tradisi, dan hasil-hasil budaya daerah. Dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010) dikisahkan bahwa pembangunan Taman Impian Jaya Ancol (TMII) di Jakarta berawal dari ide Bu Tien Soeharto. Soekardjo menerjemahkan taman dalam pandangan Bu Tien sebagai “wahana rekreasi yang merefleksikan budaya asli Indonesia yang begitu beragam dengan segala keunikan dan perkembangannya”.
Bagi Ibu Tien, bertaman itu berbudaya. Ibu Tien ingin menyatukan pelbagai kekayaan bangsa ini dalam satu miniatur yang terpusat di Jakarta. Para pelancong seolah cukup mengunjungi TMII untuk mengerti kekayaan budaya dan tradisi di Indonesia. Ambisi membuat taman mungkin terkesan mulia meski berimbas pada pengerdilan wilayah-wilayah di luar Jakarta. Saat itu, mata dunia mungkin tergiur mengunjungi TMII tapi lupa menengok daerah pinggiran Indonesia. Seolah, keragaman budaya Indonesia terwakili oleh TMII.
Dan sejak taman kembali mendapat perhatian dari beberapa pemimpin daerah, publik mulai menantikan kemunculan taman-taman lainnya. Hal inilah yang mungkin ditangkap oleh tetangga kita, yaitu Singapura, untuk mempromosikan Gardens by the Bay, sebuah taman dalam ruangan yang diklaim masuk kategori 10 terbaik dunia (Kompas, 4 April 2016). Iklan itu memberi rayuan: “mempersembahkan lebih dari 1 juta flora dengan 5.000 spesies lebih”. Singapura menangkap kerinduan publik kita atas taman-taman yang nyaman, dan merayu kita untuk berkunjung ke sana berpamrih menikmati keindahan taman dalam ruangan.

Lantas, akankah kita tergiur? Kita berharap agar publik tak lupa bahwa negara ini berlimpah taman. Pembuktian bisa kita simak dalam majalah Gatra (31 Maret–6 April 2016) lewat laporan khusus bertajuk 10 Taman Bumi Nusantara. Pembaca diajak melacak taman-taman berkonsep geopark (taman bumi) di seluruh penjuru negeri. Dari Taman Bumi Batur di Bali, Kaldera Tambora di Sumbawa, hingga Raja Ampat Papua. Di Indonesia, taman bukan imitasi atau bonsai, yang mesti dibuat di dalam ruangan. Taman-taman itu kekayaan yang tak mesti ada di negara lain. Jadi, jangan sampai kerinduan kita pada taman dimanfaatkan negara lain. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar