Jumat, 29 Juli 2016

Jabatan Memuluskan Nepotisme

Negara ini menyimpan cerita panjang terkait hal-hal berbau militer. Lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru memerintah negeri ini lewat pola pikir militeristis. Akibatnya, sampai kini masyarakat kita cenderung menganggap orang berjabatan militer pantas untuk ditakuti, dihormati, sekaligus “dijauhi”.
Di satu sisi, masyarakat bangga bila anggota keluarganya menjadi polisi, tentara, ataupun aparat militer lainnya, karena dengan demikian mereka merasa memiliki “pelindung”. Namun, di sisi lain, masyarakat seperti menjauhi atau enggan seumpama harus berurusan atau berkonflik dengan orang berjabatan militer.
Dari pemahaman inilah kita bisa melakukan penafsiran di balik peristiwa yang menimpa siswi SMA bernama Sonya Ekarina Boru Sembiring di Medan, Rabu, 6 April 2016. Dalam video yang tersebar luas di viral media sosial itu, tampak adegan Sonya tengah memarahi dan mengancam Polwan Ipda Perida karena menghentikan mobil yang ditumpanginya saat perayaan selesainya ujian nasional.
Sonya juga mengaku anak jenderal berbintang dua Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari. Setelah dikonfirmasi, Arman Depari membantah bahwa Sonya adalah anaknya meski memiliki hubungan keluarga. Pasca heboh video tersebut, Sonya tak henti-hentinya mendapat hujatan (bully) dari para pengguna media sosial.
Lebih menyedihkan lagi, kabar perihal kelakuan Sonya yang juga tersiar di televisi nasional, membuat Makmur Depari Sembiring, ayah Sonya, mendadak sakit dan meninggal dunia (Jawa Pos, 9 April 2016). Kita tentu ikut prihatin dengan duka yang menimpa Sonya. Ia tak hanya diganjar hujatan, tapi juga kehilangan ayahnya untuk selamanya. Pengguna media sosial memang kelewat brutal dalam memberi teguran.
Jika kita menengok catatan sejarah, apa yang dipahami Sonya terkait “kebanggan” menjadi anak jenderal, langsung atau tidak, tentu berkaitan dengan pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dekade. Peter Kasenda (2013) menerangkan bahwa di era Presiden Soeharto militer tampil sebagai stabilisator, dinamisator, pelopor, sekaligus pelaksana demokrasi. Artinya, di semua lini pemerintahan, militer berperan sebagai pemain kunci. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara pun kerap menggunakan nalar militeristis. Tak heran bila citra semasa Orde Baru citra militer begitu ditakuti.
Orang-orang pun kemudian bertanya, bagaimana rasanya menjadi anak jenderal. Publik mendapat jawaban tak terlalu panjang saat terbit novel tipis berjudul Puteri Seorang Jenderal garapan Motinggo Busye. Alasan penerbit menerbitkan novel: Banyak pertanyaan yang dilontarkan orang awam dan anak-anak: Enakkah jadi seorang pembesar/pejabat? Apalagi anak seorang jenderal!
Kali pertama terbit tahun 1979 dan mengalami empat kali cetak ulang pada tahun 1982. Jelas, novel itu laris pada zamannya. Dulu, penerbit berkepedulian meladeni pertanyaan-pertanyaan publik lewat sajian novel. Pertanyaan mungkin telah disampaikan di kolom Surat Pembaca di koran atau majalah. Kini, pertanyaan bisa berlimpahan di status-status Facebook, Twitter, atau BBM.
Menjadi anak jenderal tentu keistimewaan sehingga memerlukan jawaban berupa novel. Apalagi di era Orde Baru Indonesia dipimpin oleh presiden yang juga seorang jenderal. Novel membantu publik berandai-andai jadi anak seorang jenderal. Lewat novel tersebut, karakter jenderal mesti dikisahkan berwibawa dan bersahaja agar tak gampang dituduh subversif.
Novel setebal 232 halaman itu mengisahkan tokoh mahasiswi bernama Inneke Sintawati. Inneke perempuan cerdas, suka membaca, cuek, serta tidak gemar memamerkan kekayaan. Status anak jenderal membuatnya kerap dimintai traktiran serta jadi sasaran hutang oleh teman-temannya. Di sisi lain, ia juga kerap pamer kesanggupannya mencarikan pekerjaan untuk teman-teman. Inneke paham, sang ayah tentu punya banyak relasi di perusahaan-perusahaan besar. Simak petikan berikut:“Kalau kamu dapat kesulitan cari kerja, minta bantuan babe gue deh” kata Inneke.
Motinggo memberi sentilan kepada orang-orang berjabatan jenderal yang kerap menggunakan pengaruh dan relasinya untuk memuluskan keinginan kerabat atau keluarga dalam mendapat pekerjaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) garapan W.J.S Poerwadarminta, kelakuan Inneke tentu masuk dalam kategori “nepotisme”, yaitu tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan. Apakah tahun 1970-1980-an para jenderal sudah berbuat nepotisme sehingga Motinggo mengajukan sindiran dalam novelnya?
Kita perlu membuka kliping koran lawas untuk membuktikannya. Namun, dari novel itu setidaknya kita bisa mendapat gambaran bagaimana relasi kekuasaan seorang jenderal dengan praktik gelap nepotisme, dari sudut pandang seorang pengarang novel populer. Terlepas dari posisi Sonya sebagai korban brutal pem-bully-an, kita tak boleh abai dengan maksud perkataannya.
Kita menduga Sonya berharap mendapat perlakuan-pelayanan khusus dalam urusan birokrasi maupun aturan hukum dengan mengaku sebagai anak jenderal. Dari peristiwa ini kita bisa sedikit memberi kesimpulan: Sonya sangat mungkin hanya pucuk dari gunung es mental manusia Indonesia hari ini yang gemar mencatut nama dan jabatan untuk bernepotisme. Revolusi mental masih jauh korek dari sebatang rokok. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar