Minggu, 08 September 2013

Dari Puisi Memandang Sragen

Puisi akhirnya tidak berjibaku pada permasalahan estetik semata. Ia tak hanya “bergelantungan” di dahan imajinasi dan terus bercabang. Puisi masih memiliki publik yang menjadikannya sebuah “media”. Ibaratnya, seolah mengulang yang pernah dilakukan sebagian penyair tahun 60an. Ideologi kini memang bangkrut, dan berganti birokrasi.

Adalah hajatan puisi yang digagas oleh Dewan Kesenian Daerah Sragen dengan menerbitkan antologi puisi 127 penyair “Dari Sragen Memandang Indonesia” (2012). Niat mulia untuk mengundang-mempertemukan penyair-penyair dari seluruh penjuru daerah di Indonesia untuk menulis-mengirimkan puisi dengan tema idealis: Sragen. Sosiawan Leak dan Sus S Hardjono, nampaknya, berhasil mengajak-merayu penyair di Indonesia menghadiri peluncuran kumpulan puisi tersebut di sebuah daerah pinggiran di provinsi Jawa Tengah, Sragen.

Acara yang sukses—dengan beberapa pertimbangan. Betapapun, nun jauh penyair berasal, tidak sedikit yang menyempatkan hadir. Jumlah seluruh penyair yang mengikutsertakan karyanya pun dahsyat: 127 penyair! Untuk menyebut beberapa nama penyair Jawa Tengah: Achiar M Permana, Heru Mugiarso, Nurochman Sudibyo, Handry TM, Dyah Setyawati, (Thomas?) Haryono Soekiran. Yang lain, sebut saja Endang Supriyadi, Beni Setia, Danarto, Agus R Sarjono, Boedi Ismanto SA, Kusprihyanto Namma. Hajatan pembukuan puisi seperti ini, apalagi diadakan di daerah kecil di Jawa Tengah, partisipasi beberapa penyair tersebut membanggakan.

Gebrakan Dewan Kesenian Sragen adalah misi kebudayaan (?). Seluruh puisi yang termaktub dalam buku tersbut adalah, mereka yang bergumam, bercerita, mengenang, mengharap, berdoa, mengungkit, serta berkelindan tentang Sragen. Semua melirik Sragen, semua melongok Sragen. Penyair, dengan mengesampingkan keliaran fantasi dan imaji, berpusat pada bagaimana mempuisikan Sragen. Dan bisa ditebak: kumpulan puisi ini adalah dokumentasi-promosi kota situs purbakala tersebut.
***
Pasca gemuruh peluncuran puisi tersebut, publik, entah akan menyadari atau tidak: puisi, pada akhirnya membawa “dirinya” kembali pada “dunia” yang hening dan penuh permenungan. Dunia yang kadang tidak berhenti pada satu pijakan. Skeptis.

Ada kenyataan yang mesti kita sadari: puisi lepas dari dikotomi estetik dan birokrasi. Puisi justru menjadi alat/mesin/media strategi birokrasi (kebudayaan?) yang handal. Ia sanggup merangsang-memaksa para penyair berjamaah datang mengunjungi Sragen. Jumpa literasi, yang akhirnya membawa kisah dari penyair yang bertandang ke Sragen. Dan, melisankannya ke orang lain di daerah masing-masing.  

Membuhul pertanyaan dari selebrasi tersebut; adakah “keakuan” puisi dalam antologi tersebut sebagai tunggal dari hasil permenungan-pergulatan mengakrabi kata, bisa terjamin? Benar-benarkah si penyair misalnya, memasukan roh ke-Sragen-an, padahal, barangkali,  sama sekali belum pernah menyisakan kenangan di tanah Homo Erectus tersebut? Saya kira para penyair tersebutlah yang harus menjawab. Ada seribu satu alasan untuk menjawabnya.
Namun, adanya tema seolah menjadi otoritas tertinggi. Perlu diakui pula, (kini) ranah puisi akrab bersanding birokrasi. Sebuah dunia yang kerap berbenturan, yang justru, kini direkatkan.
***
Puisi adalah puisi. Dengan atau tanpa sebuah misi ataupun tema besar yang membebaninya, tentulah ia tetap disebut puisi. Barangkali, seperti itulah puisi beradaptasi dengan dunia birokrasi. Ia hadir, bahkan, sebagai sesuatu yang sama-sekali bukan tanggung-jawabnya (membawa misi strategi “kebudayaan” seperti apa yang diungkapkan dalam pengantar buku).

Saya tidak tahu, apakah keberhasilan buku puisi ini dalam merangkul-mengajak-mengumpulkan penyair untuk berjamaah mendatangi Sragen sebagai kabar baik atau kabar buruk. Sedangkan, di balik rerimbunan puisi yang bersuara pada kesatuan tema itu, adakah saya akan terhanyut pada deskripsi-impresif Sragen? Atau justru menyadari: semata hanya sebuah “ambisi”.

Saya khawatir, ketika puisi dibebani tema tertentu, akhirnya, terbentuklah kekompakan bersuara dan “slogan” yang miskin permenungan. Goenawan Mohamad (1993) berkata: “puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik”. Kumpulan puisi Dari Sragen Memandang Indonesia, adakah mampu memungkinkan “percakapan yang bebas”? Atau sebaliknya? []

(Dimuat di Suara Merdeka, 13 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar