Puisi akhirnya tidak berjibaku pada
permasalahan estetik semata. Ia tak hanya “bergelantungan” di dahan imajinasi
dan terus bercabang. Puisi masih memiliki publik yang menjadikannya sebuah
“media”. Ibaratnya, seolah mengulang yang pernah dilakukan sebagian penyair
tahun 60an. Ideologi kini memang bangkrut, dan berganti birokrasi.
Adalah hajatan puisi yang digagas oleh Dewan
Kesenian Daerah Sragen dengan menerbitkan antologi
puisi 127 penyair “Dari Sragen Memandang Indonesia” (2012). Niat mulia untuk
mengundang-mempertemukan penyair-penyair dari seluruh penjuru daerah di
Indonesia untuk menulis-mengirimkan puisi dengan tema idealis: Sragen. Sosiawan
Leak dan Sus S Hardjono, nampaknya, berhasil mengajak-merayu penyair di
Indonesia menghadiri peluncuran kumpulan puisi tersebut di sebuah daerah pinggiran
di provinsi Jawa Tengah, Sragen.
Acara yang sukses—dengan beberapa
pertimbangan. Betapapun, nun jauh penyair berasal, tidak sedikit yang
menyempatkan hadir. Jumlah seluruh penyair yang mengikutsertakan karyanya pun dahsyat:
127 penyair! Untuk menyebut beberapa nama penyair Jawa Tengah: Achiar M Permana,
Heru Mugiarso, Nurochman Sudibyo, Handry TM, Dyah Setyawati, (Thomas?) Haryono
Soekiran. Yang lain, sebut saja Endang Supriyadi, Beni Setia, Danarto, Agus R
Sarjono, Boedi Ismanto SA, Kusprihyanto Namma. Hajatan pembukuan puisi seperti
ini, apalagi diadakan di daerah kecil di Jawa Tengah, partisipasi beberapa
penyair tersebut membanggakan.
Gebrakan Dewan Kesenian Sragen adalah misi
kebudayaan (?). Seluruh puisi yang termaktub dalam buku tersbut adalah, mereka
yang bergumam, bercerita, mengenang, mengharap, berdoa, mengungkit, serta
berkelindan tentang Sragen. Semua melirik Sragen, semua melongok Sragen.
Penyair, dengan mengesampingkan keliaran fantasi dan imaji, berpusat pada
bagaimana mempuisikan Sragen. Dan bisa ditebak: kumpulan puisi ini adalah
dokumentasi-promosi kota situs purbakala tersebut.
***
Pasca gemuruh peluncuran puisi tersebut, publik,
entah akan menyadari atau tidak: puisi, pada akhirnya membawa “dirinya” kembali
pada “dunia” yang hening dan penuh permenungan. Dunia yang kadang tidak
berhenti pada satu pijakan. Skeptis.
Ada kenyataan yang mesti kita sadari: puisi
lepas dari dikotomi estetik dan birokrasi. Puisi justru menjadi alat/mesin/media
strategi birokrasi (kebudayaan?) yang handal. Ia sanggup merangsang-memaksa
para penyair berjamaah datang mengunjungi Sragen. Jumpa literasi, yang akhirnya
membawa kisah dari penyair yang bertandang ke Sragen. Dan, melisankannya ke
orang lain di daerah masing-masing.
Membuhul pertanyaan dari selebrasi tersebut; adakah
“keakuan” puisi dalam antologi tersebut sebagai tunggal dari hasil permenungan-pergulatan
mengakrabi kata, bisa terjamin? Benar-benarkah si penyair misalnya, memasukan
roh ke-Sragen-an, padahal, barangkali, sama sekali belum pernah menyisakan kenangan
di tanah Homo Erectus tersebut? Saya kira para penyair tersebutlah yang harus
menjawab. Ada seribu satu alasan untuk menjawabnya.
Namun, adanya tema seolah menjadi otoritas tertinggi.
Perlu diakui pula, (kini) ranah puisi akrab bersanding birokrasi. Sebuah dunia
yang kerap berbenturan, yang justru, kini direkatkan.
***
Puisi adalah puisi. Dengan atau tanpa sebuah
misi ataupun tema besar yang membebaninya, tentulah ia tetap disebut puisi. Barangkali,
seperti itulah puisi beradaptasi dengan dunia birokrasi. Ia hadir, bahkan,
sebagai sesuatu yang sama-sekali bukan tanggung-jawabnya (membawa misi strategi
“kebudayaan” seperti apa yang diungkapkan dalam pengantar buku).
Saya tidak tahu, apakah keberhasilan buku
puisi ini dalam merangkul-mengajak-mengumpulkan penyair untuk berjamaah
mendatangi Sragen sebagai kabar baik atau kabar buruk. Sedangkan, di balik
rerimbunan puisi yang bersuara pada kesatuan tema itu, adakah saya akan
terhanyut pada deskripsi-impresif Sragen? Atau justru menyadari: semata hanya
sebuah “ambisi”.
Saya khawatir, ketika puisi dibebani tema
tertentu, akhirnya, terbentuklah kekompakan bersuara dan “slogan” yang miskin
permenungan. Goenawan Mohamad (1993) berkata: “puisi memungkinkan percakapan
yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik”. Kumpulan puisi Dari Sragen Memandang Indonesia, adakah
mampu memungkinkan “percakapan yang bebas”? Atau sebaliknya? []
(Dimuat di
Suara Merdeka, 13 Januari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar