Minggu, 08 September 2013

Putih-Hitam Pram di Mata Sang Adik


Pramoedya Ananta Toer belum khatam. Ia masih menjadi tema menarik bagi publik sastra. Pelbagai risalah muncul sebagai dalih membicarakan Pram dari luar, dari dekat, hingga dari yang paling dalam. Kali ini, dari kaca mata seorang Soesilo Toer yang tak lain adalah adiknya yang ke-6, Pram dikisahkan sebagai seorang kakak dan manusia seutuhnya dalam buku Pram dari dalam. Adik Pram yang lain, Koesalah Soebagyo Toer, pernah menerbitkan buku bertajuk Pram dari Dekat Sekali (2006). Serupa tapi beda, kedua buku ini adalah dokumentasi kenangan dan ingatan. 
 
Soes—panggilan akrab Soesilo Toer—tidak menduga, hampir separoh hidupnya diisi rangkaian tragedi dan tragisme. Ia pernah ditahan di masa Orde Baru tanpa pengadilan dan pembuktian. Soes tidak minta lahir sebagai adik pengarang besar yang kontroversial, ataupun menjadi seorang tahanan politik. Soes tidak menolak, apalagi menyesal. Ia menjalani laku hidup tanpa merasa dijadikan korban. Soes justru yakin, hidup yang berkualitas adalah hasil seleksi ujian hidup.

Pada suatu hari dalam hidup Soes, ada keraguan yang menguasai jiwanya. Di umur yang sudah tiga seperempat abad itu, Soes takut tidak mendapat kesempatan mengekalkan jejak langkah kakaknya sebagai seorang sastrawan kondang. Memori dan kenangan terlalu sia-sia jika hanya dibawa mati. Soes menumpahkan kegelisahan dalam buku bersampul Pram dengan “jendela” di jidat.  

Kedekatan lahiriah menimbulkan tafsir yang, meskipun tidak sama sekali baru bagi publik sastra, sanggup menguak petilan kehidupan Pram yang penuh misteri. Soes menyajikan memoarnya dalam emosionalitas dan kejujuran. Pengalaman demi pengalaman diceritakan secara komplit dan mendetil. Buku ini dibuka dengan ironisme. Menjadi adik seorang sastrawan besar bukan jaminan bagi Soes leluasa menikmati karya-karya sang kakak. Dengan harga jual buku yang jauh di atas kemampuan ekonominya, peluncuran epos Arus Balik (2001) cetakan keempat di TIM, menjadi event memilukan bagi Soes. Ia merasa asing karena tidak sanggup membeli. Beruntung, berkat istri wartawan Asia Week yang simpati padanya, Soes mendapat buku tersebut secara cuma-cuma. Lega. 

Pengakuan Pram yang menganggap Soes sebagai adik kesayangan, bukan alasan ia mendapat perlakuan istimewa. Pram tetap seperti adanya: keras dan teguh pendirian kepada semua adik-adiknya. Pram adalah ahli kritik sekaligus sosok yang antikritik. Di dalam keluarga, bagi Soes, Pram tak lain dari seorang tangan besi. Pram tak segan mengusir adiknya, terutama Soes, karena berani mengkritik rumah tangganya melalui koran yang dipimpin oleh HB Jassin. “Kalau kau tak suka di sini, kapan saja boleh keluar dari rumah ini!” Kenang Soes.  

Catatan dalam buku ini sanggup menampilkan Pram dalam sisinya yang paling purba sekaligus humanis. Doktrin dan ajaran pantang dilanggar. Soes memegang erat prinsip yang telah Pram ajarkan padanya. Tak tanggung-tanggung, Pram mengajarkan apa yang pernah ia gali dari tokoh-tokoh dunia seperti Thomas Mann, Foulkner, juga Multatuli. Pram tak segan memberi kritik, cacian, hingga kekerasan pada adiknya yang membangkang. Prawito, kakak Soes, pernah merasakan kerasnya perlakuan Pram. Suatu hari Prawito menyerahkan naskah tulisan kepada Pram untuk meminta pertimbangan. Di luar dugaan, naskah itu dilemparnya ke tong sampah. Ironis!

Hal lain yang dijaga erat oleh Pram adalah kehormatan. Nama baik keluarga adalah harga mati. Meski Soes tahu, nama Toer, tak lebih dari singkatan tansah ora enak rasane (meskipun rasanya tidak enak). Prinsip tidak mengenal kompromi. Hingga keyakinannya pada acuan berkarya—realisme sosialis—berimbas pada kehidupan Soes. Tragedi 1965 menyebabkan Soes ditapolkan karena berhubungan darah dengan Pram yang dituduh “kiri”. Ada alienasi yang muncul dari teman yang pernah dekat dengannya, seperti DS Moeljanto dan Taufiq Ismail. 

Pengisahan Pram dalam bingkai memoar kelak sanggup menempatkannya sebagai manusia seutuhnya: hitam dan putih; mulus dan bopeng. Cerita ini adalah sisi yang tak mungkin tergali oleh orang lain selain dirinya. Pengisahan ini seperti halnya dialog. Pembaca seolah-olah bakal didongengi masa lalu dari sang kakek yang jalan hidupnya penuh terjal dan kisah. Pengalaman intelektualisme Soes yang pernah menempuh studi di Universitas Patrice Lumumba, Rusia, serta kecintaannya pada literatur sastra, membuat catatan dalam buku ini bertabur pemikiran dari tokoh-tokoh besar. 

Buku ini tak lebih dari memoar perjalanan hidup manusia dengan tinjauan nalar kultural, politik, intelektual, sosial, dan klenik. Pembaca diajak merunut pemikiran penulis dengan gaya acak. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang jauh terpaut batas ruang dan waktu. Alur bertutur penulis yang tidak teratur ini, dengan bab yang lumayan panjang, tanpa membaginya ke dalam sub bab, tidak menutup kemungkinan membuat pembaca terengah-engah sebelum sampai pada pernyataan Soes yang menghentak: Pram bukanlah segalanya, dan tidak akan menjadi segalanya!

(Dimuat di Harian Detik, 23 Maret 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar