Pramoedya Ananta Toer belum khatam. Ia masih menjadi tema menarik bagi publik sastra. Pelbagai risalah muncul sebagai dalih membicarakan Pram dari luar, dari dekat, hingga dari yang paling dalam. Kali ini, dari kaca mata seorang Soesilo Toer yang tak lain adalah adiknya yang ke-6, Pram dikisahkan sebagai seorang kakak dan manusia seutuhnya dalam buku Pram dari dalam. Adik Pram yang lain, Koesalah Soebagyo Toer, pernah menerbitkan buku bertajuk Pram dari Dekat Sekali (2006). Serupa tapi beda, kedua buku ini adalah dokumentasi kenangan dan ingatan.
Soes—panggilan akrab
Soesilo Toer—tidak menduga, hampir separoh hidupnya diisi rangkaian tragedi dan
tragisme. Ia pernah ditahan di masa Orde Baru tanpa pengadilan dan pembuktian. Soes
tidak minta lahir sebagai adik pengarang besar yang kontroversial, ataupun
menjadi seorang tahanan politik. Soes tidak menolak, apalagi menyesal. Ia
menjalani laku hidup tanpa merasa dijadikan korban. Soes justru yakin, hidup
yang berkualitas adalah hasil seleksi ujian hidup.
Pada suatu hari dalam hidup
Soes, ada keraguan yang menguasai jiwanya. Di umur yang sudah tiga seperempat
abad itu, Soes takut tidak mendapat kesempatan mengekalkan jejak langkah
kakaknya sebagai seorang sastrawan kondang. Memori dan kenangan terlalu sia-sia
jika hanya dibawa mati. Soes menumpahkan kegelisahan dalam buku bersampul Pram
dengan “jendela” di jidat.
Kedekatan lahiriah
menimbulkan tafsir yang, meskipun tidak sama sekali baru bagi publik sastra,
sanggup menguak petilan kehidupan Pram yang penuh misteri. Soes menyajikan
memoarnya dalam emosionalitas dan kejujuran. Pengalaman demi pengalaman
diceritakan secara komplit dan mendetil. Buku ini dibuka dengan ironisme. Menjadi
adik seorang sastrawan besar bukan jaminan bagi Soes leluasa menikmati
karya-karya sang kakak. Dengan harga jual buku yang jauh di atas kemampuan
ekonominya, peluncuran epos Arus Balik (2001)
cetakan keempat di TIM, menjadi event
memilukan bagi Soes. Ia merasa asing karena tidak sanggup membeli. Beruntung,
berkat istri wartawan Asia Week yang
simpati padanya, Soes mendapat buku tersebut secara cuma-cuma. Lega.
Pengakuan Pram yang menganggap
Soes sebagai adik kesayangan, bukan alasan ia mendapat perlakuan istimewa. Pram
tetap seperti adanya: keras dan teguh pendirian kepada semua adik-adiknya. Pram
adalah ahli kritik sekaligus sosok yang antikritik. Di dalam keluarga, bagi
Soes, Pram tak lain dari seorang tangan besi. Pram tak segan mengusir adiknya,
terutama Soes, karena berani mengkritik rumah tangganya melalui koran yang
dipimpin oleh HB Jassin. “Kalau kau tak
suka di sini, kapan saja boleh keluar dari rumah ini!” Kenang Soes.
Catatan dalam buku ini sanggup
menampilkan Pram dalam sisinya yang paling purba sekaligus humanis. Doktrin dan
ajaran pantang dilanggar. Soes memegang erat prinsip yang telah Pram ajarkan
padanya. Tak tanggung-tanggung, Pram mengajarkan apa yang pernah ia gali dari
tokoh-tokoh dunia seperti Thomas Mann, Foulkner, juga Multatuli. Pram tak segan
memberi kritik, cacian, hingga kekerasan pada adiknya yang membangkang.
Prawito, kakak Soes, pernah merasakan kerasnya perlakuan Pram. Suatu hari
Prawito menyerahkan naskah tulisan kepada Pram untuk meminta pertimbangan. Di
luar dugaan, naskah itu dilemparnya ke tong sampah. Ironis!
Hal lain yang dijaga
erat oleh Pram adalah kehormatan. Nama baik keluarga adalah harga mati. Meski
Soes tahu, nama Toer, tak lebih dari singkatan tansah ora enak rasane (meskipun rasanya tidak enak). Prinsip tidak
mengenal kompromi. Hingga keyakinannya pada acuan berkarya—realisme sosialis—berimbas
pada kehidupan Soes. Tragedi 1965 menyebabkan Soes ditapolkan karena
berhubungan darah dengan Pram yang dituduh “kiri”. Ada alienasi yang muncul
dari teman yang pernah dekat dengannya, seperti DS Moeljanto dan Taufiq Ismail.
Pengisahan Pram dalam
bingkai memoar kelak sanggup menempatkannya sebagai manusia seutuhnya: hitam
dan putih; mulus dan bopeng. Cerita ini adalah sisi yang tak mungkin tergali oleh
orang lain selain dirinya. Pengisahan ini seperti halnya dialog. Pembaca seolah-olah
bakal didongengi masa lalu dari sang kakek yang jalan hidupnya penuh terjal dan
kisah. Pengalaman intelektualisme Soes yang pernah menempuh studi di
Universitas Patrice Lumumba, Rusia, serta kecintaannya pada literatur sastra,
membuat catatan dalam buku ini bertabur pemikiran dari tokoh-tokoh besar.
Buku ini tak lebih dari
memoar perjalanan hidup manusia dengan tinjauan nalar kultural, politik,
intelektual, sosial, dan klenik. Pembaca diajak merunut pemikiran penulis
dengan gaya acak. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang jauh terpaut
batas ruang dan waktu. Alur bertutur penulis yang tidak teratur ini, dengan bab
yang lumayan panjang, tanpa membaginya ke dalam sub bab, tidak menutup kemungkinan
membuat pembaca terengah-engah sebelum sampai pada pernyataan Soes yang
menghentak: Pram bukanlah segalanya, dan tidak akan menjadi segalanya!
(Dimuat di Harian Detik, 23 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar