Senin, 12 Agustus 2013

Solzhenitsyn Mengingatkan…

Oleh: Widyanuari Eko Putra

Alexander Solzhenitsyn (1918-2008) mendapat hadiah nobel pada tahun 1970, tepat ketika ia dipecat dari Serikat Pengarang Rusia. Literary Gazzete, sebuah jurnal sastra Rusia, sejak tahun 1967, menuduhnya telah berkhianat pada ajaran kesusastraan Rusia, realisme-sosialis.

Beruntunglah mereka, para penulis, yang di masa hidupnya harus berhadapan dengan tinju penguasa yang lalim. Dengan demikian ia telah memperjuangkan pilihan berkeseniannya. Dan perlawanan itu tak harus keras, menggelegar, atau berbenturan. Seperti tokoh Matryona Vasilyevna dalam novel Rumah Matryona (MataAngin, 2001), Solzhenitsyn tidak melawan secara frontal. Meski akhirnya ia ditahan. Hidupnya mendadak berubah karena mengkritik Stalin. Solzhenitsyn adalah seorang “penentang dalam diam”.

Rumah Matryona adalah gambaran sebuah wilayah kecil di Sovyet saat kepemimpinan Stalin. Matryona adalah seorang pasivis. Ia tidak tahu bagaimana mengatasi penderitaannya, karena sakit, kemiskinan, serta kesewenang-wenangan birokrasi pemerintahan di desa Talnova, desa berselimut salju tempat Matryona hidup. “Mereka terus menerus membunuhku, Ignatich,” ungkap Matryona kepada pemondok di isba-nya (:gubuk kayu).

Matryona adalah pusat di mana harga diri manusia Sovyet, kala itu, dikritik. Ia memegang keyakinannya yang erat kepada Tuhan—hal ini, tentunya, berbeda dengan masyarakat Sovyet saat itu, yang lebih banyak “menolak” Tuhan ketimbang meyakininya. Masyarakat dengan persediaan makananan yang sangat terbatas; birokrasi yang semrawut; serta ketidakpedulian negara pada kaum miskin, perlu dikabarkan. Dan, pada akhirnya, Matryona yang diam, menerima apapun nasib yang menimpanya. Ia tak tahu kapan nasibnya berubah. Matryona hidup demi memenuhi semua permintaan orang yang minta tolong, dan berakhir dengan kematian tragis tertabrak kereta api. Ia mati di saat sanak saudaranya memperebutkan gornitza (: kerangka rumah kayu), warisan yang ia wasiatkan. Dan iapun mewariskan sebuah ironi:”kerja adalah cara terbaik menyembuhkan penyakit”. Betapa harapan untuk sehat begitu kencang diikat oleh keyakinan “ibadah” kaum proletar: kerja!

Solzhenitsyn tentulah Ivan Denisovich. Ia tak berbeda dengan Matryona yang pasif namun menyengat. Novel Sehari dalam Hidup Ivan Desovich (Pustaka Jaya, 1975) pada akhirnya bersuara “lirih” namun perih. Kisah tokoh Sukhov, tahanan politik yang menolak gabung bersama tentara Pembangunan Masyarakat Sosialis, menjadi penyengat para jamaah realisme-sosialis. Novel ini menjadi memoir saat berada di barak tahanan, tepatnya saat ia dituduh menghina Stalin. Delapan tahun dari umurnya ia habiskan di tahanan Karaganda, Kazakstan, tempat setting cerita tokoh novelnya, Ivan Denisovich. Ia hidup dalam jeruji penjara tanpa kemanusiaan: jatah makanan sedikit; persediaan baju hangat yang minim: cuaca di barak di bawah nol derajat tiap hari; enam ons bubur gandum per hari dan sepotong roti; kerja paksa tanpa upah; serentetan hukuman tanpa ampun; hingga penambahan masa hukuman secara sepihak. Hingga hilanglah orientasi kemanusiaan para penghuni barak. Mereka menjadi manusia tanpa belas kasihan. Manusia dengan kegiatan sama setiap hari, dengan penderitaan tanpa orientasi bakal berakhir. Terkecuali Ivan Denisovich. Ia hadir untuk menyinari. Ia masih mau berbagi sepotong roti, puntung rokok, hingga kerja membuat dinding sebaik mungkin, meski ia tahu tak akan mendapat bayaran dari buah kerjanya.

Ketulusan itu berbuah. Solzhenitsyn diganjar nobel beberapa tahun pascapenerbitan novel Sehari dalam Hidup Iva Denisovich. Tentu saja ia, sebelumnya, tak terlalu mengharapkannya. Sastra yang lahir di tangannya adalah isyarat mengabarkan ketidakadilan—meski tidak dalam bentuk realisme-sosialis seperti teman-temannya. Berbeda dengan seniornya, Maxim Gorky (1868-1936), pengabar realisme-sosialis, yang pernah dekat dengan Lenin namun kemudian berbalik menyerang karena tindakan kekerasan dan penindasan yang diterapkannya, dan akhirnya mati di tangan polisi utusan Stalin, berkeyakinan bahwa kesusastraan tidak mungkin bisa diam melihat penindasan. Kemanusiaan harus menjadi nafas kesusastraan.


Dan, Solzhenitsyn beruntung. Ia lolos dari moncong senapan tentara Stalin. Ia, dalam novelnya, tak pernah menjadi manusia penggerak dan pendobrak. Ia justru mengingatkan tentang bagian kecil dari kehidupan Sovyet yang masih layak diagungkan. Tentang Matryona yang tak mengenal pamrih, serta Ivan Denisovich yang masih mau berbagi di saat keterkekangan dan keterbatasan. Ia mengajak pembaca pada jagat kemanusian yang berketuhanan di antara kengerian kekuasaan dan kekejaman Pemerintah. Matryona, Ivan Denisovich, dan Solzhenitsyn, adalah suara “lirih” namun mengingatkan, betapa yang kecil masih bisa bermanfaat. Meski kadang tidak mendapat tempat.***  

1 komentar: