Oleh:
Widyanuari Eko Putra
Alexander
Solzhenitsyn (1918-2008) mendapat hadiah nobel pada tahun 1970, tepat
ketika ia dipecat dari Serikat Pengarang Rusia. Literary Gazzete,
sebuah jurnal sastra Rusia, sejak tahun 1967, menuduhnya telah
berkhianat pada ajaran kesusastraan Rusia, realisme-sosialis.
Beruntunglah
mereka, para penulis, yang di masa hidupnya harus berhadapan dengan
tinju penguasa yang lalim. Dengan demikian ia telah memperjuangkan
pilihan berkeseniannya. Dan perlawanan itu tak harus keras,
menggelegar, atau berbenturan. Seperti tokoh Matryona Vasilyevna
dalam novel Rumah Matryona (MataAngin, 2001), Solzhenitsyn
tidak melawan secara frontal. Meski akhirnya ia ditahan. Hidupnya
mendadak berubah karena mengkritik Stalin. Solzhenitsyn adalah
seorang “penentang dalam diam”.
Rumah
Matryona adalah gambaran sebuah wilayah kecil di Sovyet saat
kepemimpinan Stalin. Matryona adalah seorang pasivis. Ia tidak tahu
bagaimana mengatasi penderitaannya, karena sakit, kemiskinan, serta
kesewenang-wenangan birokrasi pemerintahan di desa Talnova, desa
berselimut salju tempat Matryona hidup. “Mereka terus menerus
membunuhku, Ignatich,” ungkap Matryona kepada pemondok di isba-nya
(:gubuk kayu).
Matryona
adalah pusat di mana harga diri manusia Sovyet, kala itu, dikritik.
Ia memegang keyakinannya yang erat kepada Tuhan—hal ini, tentunya,
berbeda dengan masyarakat Sovyet saat itu, yang lebih banyak
“menolak” Tuhan ketimbang meyakininya. Masyarakat dengan
persediaan makananan yang sangat terbatas; birokrasi yang semrawut;
serta ketidakpedulian negara pada kaum miskin, perlu dikabarkan. Dan,
pada akhirnya, Matryona yang diam, menerima apapun nasib yang
menimpanya. Ia tak tahu kapan nasibnya berubah. Matryona hidup demi
memenuhi semua permintaan orang yang minta tolong, dan berakhir
dengan kematian tragis tertabrak kereta api. Ia mati di saat sanak
saudaranya memperebutkan gornitza (: kerangka rumah kayu), warisan
yang ia wasiatkan. Dan iapun mewariskan sebuah ironi:”kerja adalah
cara terbaik menyembuhkan penyakit”. Betapa harapan untuk sehat
begitu kencang diikat oleh keyakinan “ibadah” kaum proletar:
kerja!
Solzhenitsyn
tentulah Ivan Denisovich. Ia tak berbeda dengan Matryona yang pasif
namun menyengat. Novel Sehari dalam Hidup Ivan Desovich
(Pustaka Jaya, 1975) pada akhirnya bersuara “lirih” namun perih.
Kisah tokoh Sukhov, tahanan politik yang menolak gabung bersama
tentara Pembangunan Masyarakat Sosialis, menjadi penyengat para
jamaah realisme-sosialis. Novel ini menjadi memoir saat berada di
barak tahanan, tepatnya saat ia dituduh menghina Stalin. Delapan
tahun dari umurnya ia habiskan di tahanan Karaganda, Kazakstan,
tempat setting cerita tokoh novelnya, Ivan Denisovich. Ia
hidup dalam jeruji penjara tanpa kemanusiaan: jatah makanan sedikit;
persediaan baju hangat yang minim: cuaca di barak di bawah nol
derajat tiap hari; enam ons bubur gandum per hari dan sepotong roti;
kerja paksa tanpa upah; serentetan hukuman tanpa ampun; hingga
penambahan masa hukuman secara sepihak. Hingga hilanglah orientasi
kemanusiaan para penghuni barak. Mereka menjadi manusia tanpa belas
kasihan. Manusia dengan kegiatan sama setiap hari, dengan penderitaan
tanpa orientasi bakal berakhir. Terkecuali Ivan Denisovich. Ia hadir
untuk menyinari. Ia masih mau berbagi sepotong roti, puntung rokok,
hingga kerja membuat dinding sebaik mungkin, meski ia tahu tak akan
mendapat bayaran dari buah kerjanya.
Ketulusan
itu berbuah. Solzhenitsyn diganjar nobel beberapa tahun
pascapenerbitan novel Sehari dalam Hidup Iva Denisovich. Tentu
saja ia, sebelumnya, tak terlalu mengharapkannya. Sastra yang lahir
di tangannya adalah isyarat mengabarkan ketidakadilan—meski tidak
dalam bentuk realisme-sosialis seperti teman-temannya. Berbeda dengan
seniornya, Maxim Gorky (1868-1936), pengabar realisme-sosialis, yang
pernah dekat dengan Lenin namun kemudian berbalik menyerang karena
tindakan kekerasan dan penindasan yang diterapkannya, dan akhirnya
mati di tangan polisi utusan Stalin, berkeyakinan bahwa kesusastraan
tidak mungkin bisa diam melihat penindasan. Kemanusiaan harus menjadi
nafas kesusastraan.
Dan,
Solzhenitsyn beruntung. Ia lolos dari moncong senapan tentara Stalin.
Ia, dalam novelnya, tak pernah menjadi manusia penggerak dan
pendobrak. Ia justru mengingatkan tentang bagian kecil dari kehidupan
Sovyet yang masih layak diagungkan. Tentang Matryona yang tak
mengenal pamrih, serta Ivan Denisovich yang masih mau berbagi di saat
keterkekangan dan keterbatasan. Ia mengajak pembaca pada jagat
kemanusian yang berketuhanan di antara kengerian kekuasaan dan
kekejaman Pemerintah. Matryona, Ivan Denisovich, dan Solzhenitsyn,
adalah suara “lirih” namun mengingatkan, betapa yang kecil masih
bisa bermanfaat. Meski kadang tidak mendapat tempat.***
terima kasih
BalasHapus