Oleh:
Widyanuari Eko Putra
“… bahwa
kehidupan keluarga yang paling menyedihkan sekalipun masih lebih baik
daripada parodi inses yang merupakan hal terbaik yang bisa kuberikan
kepada bocah kurus itu.”
(Humbert
Humbert, dalam karya Lolita karya Vladimir Nabokov)
Pada
akhirnya adalah makna, pesan, dan pengakuan. Sekelam apapun kisah
sebuah novel, ia pada akhirnya menegaskan sebuah aforisma. Vladimir
Nabokov (1899-1977) mengakhiri novel kelam, percintaan—cenderung
pada inses—aneh, dan mengguncang, dengan penegasan pesan pada
pembaca. Novel ini kuat karena ketidak-laziman.
Humbert
Humbert, tokoh maniak dalam novel Lolita (Serambi, 2011) terjemahan
Anton Kurnia, menggetarkan bukan karena mesum. Ia menjadi agung
karena Nabokov menciptanya menjadi lelaki intelek, buas, tajam,
sekaligus berkepribadian rumit. Masa lalu Humbert sebagai seorang
Perancis, kemudian hijrah ke Amerika, mau tidak mau, menjalin sebuah
ditorsi. Eropa, medio 1940-an, dikenal lebih ramah ketimbang Amerika.
Pertemuan dengan Charlotte Haze menyeret Humbert pada dua kebudayaan
yang jauh berbeda, serta dunia percintaan tak wajar. Humbert menikahi
Charlotte, namun juga berkisah cinta dengan sang anak tiri: Dolorez
Haze alias Lolita—perempuan 12 tahun pelampiasan nafsu pedofil
Humbert pascakematian Charlotte dalam sebuah kecelakaan.
Lolita
selesai ditulis pada 1953 di Ithaca, dan diterbitkan kali pertama
pada September 1955. Novel ini menggemparkan karena ganjil. Ia pernah
beberapa kali ditolak penerbit karena cenderung melenceng dari
kebanyakan kisah-kisah yang dilahirkan oleh pengarang Rusia. Novel
ini pun lahir dalam bahasa Inggris. Diterjemahkan ke dalam bahasa
Rusia pada medio 1980-an, setelah era keterbukaan (Glasnost) pada
pemerintahan Mickhail Gorbacev. Pada perjalanannya, Lolita dibaca
oleh sekian juta warga dunia sebagai salah satu karya adiluhung
penulis Rusia. Perjalan hidup terusik akibat revolusi Bolshewik di
Rusia. Ia mesti hijrah berulangkali agar tidak terseret gelombang
revolusi komunisme.
Nabokov
tidak memilih cerita bernafas ideologis. Ia memilih mengupas kisah
nyata dari Humbert Humbert yang terjadi pada Septeber 1952.
Pergulatan psikologis, serta pengupasan karakter masing-masing
karakter menjadi nilai dalam novel ini. Humbert yang berkepribadian
ganda; Lolita yang kenes, manja dan pembangkang; serta Charlotte yang
keras dan kasar. Dunia imajinasi Humbert adalah intelektual bercampur
nalar mesum. Ia pembaca yang tekun. Ia membaca James Joyce, pengagum
mitologi Yunani, ia paham betul tokoh-tokoh revolusi Perancis—namun
tidak menyinggung revolusi atau muatan ideologis dalam tulisannya. Ia
mengungkapkan birahinya bukan pada ungkapan kasar dan seronok, tapi
deskripsi psikologis detail sang tokoh.
Novel
ini mengabarkan betapa kesusastraan tidak melulu menceritakan hal-hal
demi kemanusiaan yang bermoral. Pengisahan kelainan seksual, dengan
bumbu karakterisasi tokoh yang kuat dan menonjol, serta pengungkapan
referensi intelektual, menjadi sebab novel ini akhirnya berjejer di
antara buku-buku sastra berpengaruh di dunia. Meski berangkat dari
kisah nyata, dunia imaji-psikologis tokoh Humbert menjadi keutamaan
novel ini. Pembaca akan disuguhi pelbagai perspektif dalam melihat
hal-hal ganjil: kematian, nafsu birahi, juga perasaan seorang ayah
sekaligus kekasih bagi anaknya.
Saya
sempat terjebak dalam dunia psikologis Humbert kala berhasil
mengkhatamkan buku setebal 540 halaman ini. Betapa untuk beberapa
saat, mata birahi terkadang muncul dan memancar dari tubuh seorang
perempuan kecil, seorang Lolita. Namun majinasi itu seketika musnah,
berganti kengerian perilaku inses-cum-pedofilia. Novel ini difilmkan
hingga dua kali: 1962 oleh sutradara Stanley Kubrick dan skenarion
oleh Nabokov, dan 1997 oleh sutradara Adrian Lyne. Saya belum
berkesempatan menontonnya. Saya mengibaratkan tubuh perempuan kecil
larut dalam dekap birahi seorang lelaki dewasa bejat! Ah! Membaca
novel ini, saya terbakar birahi sendirian. Dendam membara bagi
pembaca atas Humbert yang buas.
Di
luar itu, saya menganggap Lolita sebagai sebuah karya sastra
fenomenal pengusung tema seksual dengan pendalaman psikologis dan
daya ungkap teks sastra yang bermutu. Tidak berpijak pada,
semata-mata, upaya membangkitkan birahi pembaca, dengan kedetailan
teks pengungkapan, serta kuat dalam meneguhkan karakter tokoh, namun
kuasa mengendalikannya, adalah kehebatan novel ini. “Aku hanyalah
seorang pencatat yang sangat berhati-hati,” tukas Nabokov dalam
novel ini. Saya berniat menamatkan seluruh karya-karya penulis Rusia
agar imaji Nabokov tidak “mencemari” pandangan saya tentang
kehebatan para sastrawan Rusia.***
Dodita...
BalasHapus