Oleh:
Widyanuari Eko Putra
Yang
menarik dari sebuah perjalanan, biasanya, adalah tujuan. Sebuah
akhir, perhentian, sebagai alasan kenapa jalan harus ditapaki,
selangkah demi selangkah. Lantas, pada akhirnya harus diakhiri.
Chairil Anwar, mungkin, tidak menyadari, betapa “seribu tahun”,
adalah nominal, yang pasti akan terpenuhi—meski bukan oleh dirinya,
namun oleh generasi setelahnya. Sajak itu bermakna di bawah rasio
“seribu tahun” lagi. Setelahnya, sajak “Aku” adalah catatan
sejarah.
Bukan
berarti perjalanan mutlak memerlukan akhir. Yang menghendaki sebuah
titik akhir adalah kefanaan. Umur adalah satu di dalamnya. Pikiran,
hasil pemikiran, tentu berlainan. The
Way (2012), sebuah
kisah tentang a naked
trafficking pilgrim,
perjalanan ziarah yang sebenarnya, mungkin saja menangkap realitas
yang tak mungkin dimungkiri dalam kefanaan. Perjalanan jauh dari
Pyrenees, Perancis, ke Santiago de Compostela, 800 kilometer barat
laut Spanyol. Orang melakoni hiking religius ini karena sebuah
alasan: sebagian orang percaya ada peninggalan Santo Yakobus, Yesus,
di Santiago de Compostela. Selebihnya, tentu saja iseng. Jika tidak
ada halangan berarti, konon, perjalanan ini menghabiskan dua bulan
berjalan kaki. Wah!
Buen
Camino! Salam sesama
peziarah. Empat manusia bertemu dari masing-masing keinginan. Kisah
ke empat tokoh tersebut menjadi menarik, justru, tidak dalam rangka
perjalanan religius. Thom, Joost, Sarah, dan Jack, adalah sebuah
fragmen kehidupan. Tokoh utama, Thomas “Thom”Avery diperankan
oleh Martin Sheen, menjalani ratusan kilometer perjalanan demi sebuah
penebusan rasa sesal: anaknya tewas karena cuaca ekstrem saat memulai
perjalanan ini. Ia merasa wajib menuntaskan hasrat anaknya. Nafsu
ayah, yang tak lebih sebagai penebusan rasa dosa karena kerap
menghakimi sang anak, dilakoni lewat misi ini. “Anak adalah anak
panah”, tentu sama sekali tidak benar, baginya. Di lain pihak,
Joost menganggap perjalanan ini tak lebih dari usaha mengecilkan
perut tambunnya, dan Sarah—sang perokok kelas pawon—, demi
niatnya berhenti merokok, menempuh pilgrim’s
route. Hanya Jack
yang menaruh harapan besar bagi lawatannya: ia seorang penulis blog
dan majalah. Ia bernafsu menerbitkan buku perihal pengalamannya
menaklukan rute super jauh ini. Dari alasan yang tak sama itulah
mereka dipertemukan dalam satu tujuan.
Meski
pada akhirnya rute ini terbayar, film ini hendak menawarkan sebuah
perspektif. Sebuah pemaknaan yang tak sepele apalagi picisan. Bagi
seorang tanpa nafsu bertualang seperti saya, tentu bukan hal mendesak
untuk menera, atas peristiwa apakah kerang, shell,
termaktub sebagai simbol sebuah perjalanan ziarah? Barangkali Soe Hok
Gie tahu. Namun, tetap saja film ini mengesankan. Jalan memang
sepenuhnya hanya media. Ia tak pernah berkewajiban menyediakan
tujuan. Baginya, sudah teramat cukup bila ada yang sudi menelusuri.
Sebuah jalan adalah sebuah pilihan. Terkadang tak lebih dari hiburan.
Kecuali bagi para romusha di Indonesia, yang menebus kokohnya jalan
dengan darah, air mata, dan nyawa semasa pemerintahan kolonial
Belanda.
Manusia
memilih tujuan yang sama meski berbeda jalan. Mereka yang hidup di
“jalan” karena merasa tidak memerlukan akhir adalah tak berbeda
dengan sebuah jalan kepenulisan. Seorang penulis adalah manusia yang
selamanya hidup di “jalan”. Puncak-puncak dunia kepenulisan
adalah koma (,), bukan titik (.). Ia yang merasa mencapai “titik”
sebaliknya sedang berdiam untuk menyiapkan kematiannya. Karena
itulah, misalnya, ada dikotomi yang teramat tebal antara sastrawan
Eko Tunas dan S Prasetyo Utomo, ketika, mereka harus berbincang
perihal cerpen Indonesia mutakhir. ET tertinggal dari cakrawala SPU
tentang sastra koran karena cenderung menuju ke arah kesenian
panggung. SPU berjalan terus menikmati jalan tanpa keraguan
sedikitpun. Ia akhirnya berbaris bersama cerpenis Indonesia mutakhir
sementara ET cukup puas sebagai seniman “Jawa Tengah” saja.
Dan
inilah yang saya renungi dari The
Way: jalan hanya
perlu sebuah keyakinan. Adapun tujuan adalah pemanis. Toh pada
akhirnya fim ini ditutup dengan sebuah aforisma tokoh Jack. “Penulis,
mereka selalu ingin kata terakhir. Tapi ini…” Kalimat ini tentu
tidak eksklusif. Ia berlaku egaliter. Jack, sang tokoh penulis blog,
bisa mungkin adalah Jack Hitt, penulis buku Off
The Road: A Modern Day Walk Down The Pilgrim’s Route Into Spain.
Penafsiran
saya barangkali salah. Karena terkadang kita pernah terjebak masuk
pada sebuah jalan buntu. Jalan di mana kita tak sekalipun menerka.
Dan memaksa kita berputar arah, atau meneruskannya. Dengan
konsekuensi, sama ketika kita memilih jalan sebagai sebuah keyakinan.
Ia tidak akan pernah memberi jaminan atas sebuah tujuan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar