Di Indonesia,
gelar (akademik) kerap jadi kebanggaan. Gelar itu diraih dari usaha dan
pengorbanan. Orang-orang menghabiskan waktu sekian tahun dan uang jutaan rupiah
berpamrih mendapat asupan ilmu pengetahuan dan gelar. Ilmu jadi bekal menghadapi
masa depan yang penuh teka-teki. Dan gelar, dibuktikan dengan ijasah, jadi “kendaraan”
ketika melewati pelbagai persyaratan melamar kerja. Gelar ikut menentukan pekerjaan seseorang. Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan seseorang memiliki gelar tertentu jika ingin menempatinya.
Sudah sepantasnya pula orang-orang
berjuang meraih gelar sarjana, doktor, hingga profesor, berdalih pamrih
keilmuan. Raihan gelar itu diharapkan mampu menandai tingkatan ilmu, daya
saing, hingga etos akademik. Namun, pergerakan zaman
ternyata mengubah perspektif publik terkait gelar. Gelar tak lagi jadi penjamin
tingkatan kualitas akademik. Gelar menjadi
penanda status sosial. Tak sedikit jumlah mereka berburu gelar sebagai pemenuh
ambisi jabatan. Gelar pun turut menentukan
tambahan penghasilan.
Mereka yang
mulus mendarat di kursi jabatan baru kerap abai pada hakikat manusia akademik: bermisi ilmiah dan intelektual. Ganjaran gaji dan
tunjangan jarang tersalurkan untuk membeli
buku sebagai bagian dari kewajiban laku kaum terdidik
bergelar. Mereka justru memilih untuk mengutamakan pemenuhan
ambisi bermobil, berumah mewah, berbaju mahal, serta bertelepon serba canggih.
Gelar malah
memunculkan kebanggaan berlebih, mengarah pada sikap-sikap feodalistis. Hal ini
terbaca dalam lacakan Nirwan Ahmad Arsuka, penulis sekaligus pemikir kebudayaan kontemporer, lewat pidato
kebudayaan berjudul “Percakapan dengan Semesta”, yang ia dibacakan di Teater Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 Noveber
2015. Forum itu dipersembahkan oleh Dewan Kesenian Jakarta, dan pernah menghadirkan
tokoh-tokoh intelektual tersohor, sebut saja B.J. Habiebie, Ignas Kleden, Umar
Kayam, Hilmar Farid, hingga Karlina Supeli. Sebuah momentum
yang sengaja dimanfaatkan untuk merefleksikan permasalahan
budaya di negara ini, dari kacamata para intelektual, budayawan, hingga seniman.
Dalam pidatonya, Nirwan menyoroti kemelorotan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat, terutama terkait
pseudo-nalar (nalar semu/palsu) yang mengindapi
para akademisi kita. Dan, satu di antara sekian penyebabnya, dalam amatan
Arsuka, justru berasal dari perguruan-perguruan tinggi. Lembaga ilmiah itu dianggapnya perlahan beralih menjadi
tempat pemujaan gelar akademik semata.
Ikhtiar melakoni
gelar dengan pertanggungjawaban diri, kian hari
semakin memudar. Gelar akademik justru ibarat pakaian
kebesaran ala bangsawan, mesti terus
disebut sepenuh takzim. Pemujaan terhadap gelar telah
melebihi
etos dan produktivitas. Apa yang
diargumentasikan oleh Arsuka menemukan pembuktiannya ketika kita menengok kampus-kampus, kantor
pemerintahan, serta kelakuan elit politikus
negeri.
Percakapan antar akademisi jarang menyinggung
permasalahan kebangsaan, keilmuan, kajian, serta perkembangan isu dan wacana
kontemporer. Obrolan itu justru dianggap elitis dan sok-sokan. Perjumpaan
dengan para politisi pun tak jauh berbeda. Mereka hanya sesumbar
perihal janji-janji klise diiringi pandangan
politik pragmatis.
Dari peristiwa itu, kita mafhum betapa urusan gelar melulu menyangkut kebanggaan,
kewibawaan, dan pencitraan—bukan tanggung jawab moral-intelektual. Maka
ketika Terry Mart, fisikawan Universitas Indonesia,
melontarkan kritik tajam lewat tulisan berjudul Menggugat Kinerja Profesor (Kompas,
11 November 2015), kita pun tersentak: kemunduran etos sudah mencapai level kaum profesor!
Terry Mart mendakwa hasil
penelitian para profesor di Indonesia masih bermutu rendah.
Para profesor itu dianggap terlalu mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Mereka mendefinisikan
sendiri pemaknaan riset beserta standarisasinya.
Akibatnya, ketika disandingkan dengan standar
kualitas keprofesoran
internasional, negara kita masih jauh tertinggal.
Temuan Terry ini pun melanjutkan seruan Darmanto Jatman, penyair
sekaligus budayawan, yang termuat di koran
Manunggal (edisi 10/th VI/April/1987).
Darmanto menganggap ikhtiar menempuh tahap-tahap menjadi guru besar ibarat
kerajinan mengumpulkan kum, tak lagi mengutamakan mutu. Hal tersebut, menurutnya, dipicu
oleh masyarakat kita
masih memiliki “budaya yang meremehkan mutu, mempermuliakan kedudukan”. Perilaku yang menurut Darmanto sebagai kemacetan budaya.
Pelbagai kritik itu pun menjadi peringatan bagi dunia pendidikan kita, terutama atas kejumudan etos kaum bergelar di republik ini. Kita
memang sedang dilanda krisis etos. Orang-orang
berantusias untuk bersekolah tinggi tapi enggan merawat etos dan gairah sebagai
manusia pembelajar. Hasilnya, persis seperti apa yang telah diwasiatkan Nirwan Ahmad Arsuka
dan Terry Mart.
Untuk itu, mari
sejenak merenungkan kembali petuah Soekarno (1951) saat menerima gelar doktor
kehormatan di Universitas Gadjah Mada:“Sudahkah saja berdjasa besar? Apalagi
berdjasa jang bermanfaat bagi hidupnja dan suburnja ilmu pengetahuan?” Hari
ini, siapa masih ingat pesan Soekarno?[]
Dimuat koran Wawasan, 20 November 2015
Ketika baca tulisan Terry Mart, entah kenapa ingatan saya langsung mencuat ke Profesor ke sekian dari kampus 'kita' dulu, yang akhirnya membuka Program Magister. Naif memang letupan ingatan itu, mungkin saya yang tidak tahu pergerakan para Profesor kampus itu, sampai pun segenap penemuan ilmiahnya. Tapi jika penemuan metode pembelajaran (masih) dijadikan landasan meraih gelar, terlebih sekelas profesor, menurut saya itu lebih naif, terlebih di kampus keguruan. Jika saat ini murid sudah berlomba-lomba menekuri penemuan ilmiah, masak dosen masih berkutat pada penelitian cara mengajar. Ah, tapi yo embuh ding. Saya selalu berhadapan pada hal dilematis. Benar pepatah jawa, ngono yo ngono neng ojo ngono. :-D
BalasHapus