Kamis, 19 November 2015

Gelar dan Etos

 Di Indonesia, gelar (akademik) kerap jadi kebanggaan. Gelar itu diraih dari usaha dan pengorbanan. Orang-orang menghabiskan waktu sekian tahun dan uang jutaan rupiah berpamrih mendapat asupan ilmu pengetahuan dan gelar. Ilmu jadi bekal menghadapi masa depan yang penuh teka-teki. Dan gelar, dibuktikan dengan ijasah, jadi “kendaraan” ketika melewati pelbagai persyaratan melamar kerja. Gelar ikut menentukan pekerjaan seseorang. Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan seseorang memiliki gelar tertentu jika ingin menempatinya.
Sudah sepantasnya pula orang-orang berjuang meraih gelar sarjana, doktor, hingga profesor, berdalih pamrih keilmuan. Raihan gelar itu diharapkan mampu menandai tingkatan ilmu, daya saing, hingga etos akademik. Namun, pergerakan zaman ternyata mengubah perspektif publik terkait gelar. Gelar tak lagi jadi penjamin tingkatan kualitas akademik. Gelar menjadi penanda status sosial. Tak sedikit jumlah mereka berburu gelar sebagai pemenuh ambisi jabatan. Gelar pun turut menentukan tambahan penghasilan.
Mereka yang mulus mendarat di kursi jabatan baru kerap abai pada hakikat manusia akademik: bermisi ilmiah dan intelektual. Ganjaran gaji dan tunjangan jarang tersalurkan untuk membeli buku sebagai bagian dari kewajiban laku kaum terdidik bergelar. Mereka justru memilih untuk mengutamakan pemenuhan ambisi bermobil, berumah mewah, berbaju mahal, serta bertelepon serba canggih.
Gelar malah memunculkan kebanggaan berlebih, mengarah pada sikap-sikap feodalistis. Hal ini terbaca dalam lacakan Nirwan Ahmad Arsuka, penulis sekaligus pemikir kebudayaan kontemporer, lewat pidato kebudayaan berjudul “Percakapan dengan Semesta”, yang ia dibacakan di Teater Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 Noveber 2015. Forum itu dipersembahkan oleh Dewan Kesenian Jakarta, dan pernah menghadirkan tokoh-tokoh intelektual tersohor, sebut saja B.J. Habiebie, Ignas Kleden, Umar Kayam, Hilmar Farid, hingga Karlina Supeli. Sebuah momentum yang sengaja dimanfaatkan untuk merefleksikan permasalahan budaya di negara ini, dari kacamata para intelektual, budayawan, hingga seniman.
Dalam pidatonya, Nirwan menyoroti kemelorotan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat, terutama terkait pseudo-nalar (nalar semu/palsu) yang mengindapi para akademisi kita. Dan, satu di antara sekian penyebabnya, dalam amatan Arsuka, justru berasal dari perguruan-perguruan tinggi. Lembaga ilmiah itu dianggapnya perlahan beralih menjadi tempat pemujaan gelar akademik semata.
Ikhtiar melakoni gelar dengan pertanggungjawaban diri, kian hari semakin memudar. Gelar akademik justru ibarat pakaian kebesaran ala bangsawan, mesti terus disebut sepenuh takzim. Pemujaan terhadap gelar telah melebihi etos dan produktivitas. Apa yang diargumentasikan oleh Arsuka menemukan pembuktiannya ketika kita menengok kampus-kampus, kantor pemerintahan, serta kelakuan elit politikus negeri.
Percakapan antar akademisi jarang menyinggung permasalahan kebangsaan, keilmuan, kajian, serta perkembangan isu dan wacana kontemporer. Obrolan itu justru dianggap elitis dan sok-sokan. Perjumpaan dengan para politisi pun tak jauh berbeda. Mereka hanya sesumbar perihal janji-janji klise diiringi pandangan politik pragmatis.
Dari peristiwa itu, kita mafhum betapa urusan gelar melulu menyangkut kebanggaan, kewibawaan, dan pencitraan—bukan tanggung jawab moral-intelektual. Maka ketika Terry Mart, fisikawan Universitas Indonesia, melontarkan kritik tajam lewat tulisan berjudul Menggugat Kinerja Profesor (Kompas, 11 November 2015), kita pun tersentak: kemunduran etos sudah mencapai level kaum profesor!
Terry Mart mendakwa hasil penelitian para profesor di Indonesia masih bermutu rendah. Para profesor itu dianggap terlalu mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Mereka mendefinisikan sendiri pemaknaan riset beserta standarisasinya. Akibatnya, ketika disandingkan dengan standar kualitas keprofesoran internasional, negara kita masih jauh tertinggal.
Temuan Terry ini pun melanjutkan seruan Darmanto Jatman, penyair sekaligus budayawan, yang termuat di koran Manunggal (edisi 10/th VI/April/1987). Darmanto menganggap ikhtiar menempuh tahap-tahap menjadi guru besar ibarat kerajinan mengumpulkan kum, tak lagi mengutamakan mutu. Hal tersebut, menurutnya, dipicu oleh masyarakat kita masih memiliki “budaya yang meremehkan mutu, mempermuliakan kedudukan”. Perilaku yang menurut Darmanto sebagai kemacetan budaya.
Pelbagai kritik itu pun menjadi peringatan bagi dunia pendidikan kita, terutama atas kejumudan etos kaum bergelar di republik ini. Kita memang sedang dilanda krisis etos. Orang-orang berantusias untuk bersekolah tinggi tapi enggan merawat etos dan gairah sebagai manusia pembelajar. Hasilnya, persis seperti apa yang telah diwasiatkan Nirwan Ahmad Arsuka dan Terry Mart.
Untuk itu, mari sejenak merenungkan kembali petuah Soekarno (1951) saat menerima gelar doktor kehormatan di Universitas Gadjah Mada:“Sudahkah saja berdjasa besar? Apalagi berdjasa jang bermanfaat bagi hidupnja dan suburnja ilmu pengetahuan?” Hari ini, siapa masih ingat pesan Soekarno?[]

Dimuat koran Wawasan, 20 November 2015


1 komentar:

  1. Ketika baca tulisan Terry Mart, entah kenapa ingatan saya langsung mencuat ke Profesor ke sekian dari kampus 'kita' dulu, yang akhirnya membuka Program Magister. Naif memang letupan ingatan itu, mungkin saya yang tidak tahu pergerakan para Profesor kampus itu, sampai pun segenap penemuan ilmiahnya. Tapi jika penemuan metode pembelajaran (masih) dijadikan landasan meraih gelar, terlebih sekelas profesor, menurut saya itu lebih naif, terlebih di kampus keguruan. Jika saat ini murid sudah berlomba-lomba menekuri penemuan ilmiah, masak dosen masih berkutat pada penelitian cara mengajar. Ah, tapi yo embuh ding. Saya selalu berhadapan pada hal dilematis. Benar pepatah jawa, ngono yo ngono neng ojo ngono. :-D

    BalasHapus