Kamis, 19 November 2015

Diorama Puisi Cinta

: 80 Tahun W.S. Rendra (7 November 1935 – 7 November 2015)

Sejak dulu, penyair jadi pengisah paling ulung perihal bait-bait romantis. Lewat puisinya, penyair seperti tak pernah bosan menarasikan romantisme cinta dalam pelbagai perspektif dan persoalan. Selain bersifat universal, konon tema itu dianggap paling diminati pembaca. Di Indonesia, kita bisa mengajukan W.S. Rendra (1935-2009) sebagai satu di antara sekian banyak penyair yang, dengan intensitas tinggi, pernah menggarap tema cinta ke dalam puisi-puisinya.
Beberapa bulan silam terbit buku Puisi-Puisi Cinta (2015). Buku itu memuat sejumlah puisi Rendra yang selama ini belum pernah dibukukan. Penerbitan buku menjadi istimewa karena menampilkan puisi awal masa kepenyairan, yaitu kisaran tahun 1950-an. Puisi yang ditulis pada tahun-tahun itu memang menandai gairah Rendra sebagai anak muda yang kerap terjerat asmara. Cinta dalam pengisahan Rendra adalah kristalisasi pelbagai kisah, pengalaman, dan trauma.
Lelaki bertampang flamboyan itu memang kerap jadi bunga bibir di antara teman-teman perempuannya. Kita bisa menilik kesaksian Umar Kayam (2000) sebagai pembuktian ketenaran dan pesona Rendra saat itu:”Rendra adalah seorang yang manja (mungkin juga biasa dimanjakan) dan sangat playful, bercumbu dengan cewek-cewek yang memang tidak dapat lain daripada tersedot oleh karismanya…” Bagi Rendra, menulis puisi bisa dimungkinkan sebagai pelampiasan dan pengisahan atas lika-liku kisah cintanya.
Tahun 1950-an, Rendra sedang mengalami masa-masa pubertas. Hal itu terwujud dalam puisi-puisi yang kerap berisi teks-teks bernada rayuan, godaan, serta optimisme berlebihan, khas anak muda. Puisi berjudul Optimisme berhasil merekam keyakinan Rendra muda atas getar-getar cintanya saat itu. Berikut petikannya: Cinta kita berdua/ adalah istana porselen./ Angin telah membawa perdamaian/ membelitkan kita dalam pelukan. Perspektif Rendra dipenuhi simpul-simpul optimisme, meski, seperti halnya “porselen” yang anggun, begitu ringkih dan gampang pecah.
Saat Rendra berstatus siswa kelas 2 SMA, kisah tragis juga pernah menimpanya. Rendra kehilangan sang kekasih akibat sebuah kecelakaan maut. Tragedi itu membuat hari-hari Rendra berkabut dan penuh kekalutan. Traumanya mengkristal, melahirkan puisi berjudul Bunga Gugur. Penulisan puisi itu tentu dimaksudkan untuk mengenang kepergian pujaan hati sekaligus ekspresi kedukaan. Rendra menulis: Bunga gugur/ di atas tempatmu terkubur/ gugurlah segala hal ihwal antara kita. Puisi bertitimangsa “Solo, 1954” itu menyiratkan kepasrahan, menampilkan bentangan imajinasi dan romantisme Rendra meski teks-teks yang ia hadirkan terasa begitu terang.
Mengisahkan Peristiwa
Detik demi detik berlalu, perjalanan cinta Rendra terawetkan lewat puisi. Hingga bersandarlah kemudi cintanya pada Jeng Narti, perempuan yang kemudian disunting menjadi istri. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak (1961), Rendra terang-terangan memberi persembahan kepada Dik Narti:”Bagi Dik Narti/ Istriku/ Mataair sajak-sajakku”. Puisi jadi kado mulia, membuktikan keteguhan dan keyakinan yang kokoh.
Puisi ikut mengabadikan momen-momen romantis, mengajak pembaca ikut tersihir dan merasai. Dalam puisi Surat Cinta, Rendra secara eksplisit mengimajinasikan adegan romantis saat ia meminang Jeng Narti: Kutulis surat ini/ kala langit menangis/ dan dua ekor belibis/ bercintaan dalam kolam/ bagai dua anak nakal/ jenaka dan manis/ mengibaskan ekor/ serta menggetarkan bulu-bulunya./ Wahai, Dik Narti,/ kupinang kau menjadi istriku!
Rendra berhasil menggambarkan romantisme saat melamar Jeng Narti, tanpa terjebak ungkapan klise. Puisi tak lagi berisi letupan-letupan gejolak kawula muda yang banal dan cenderung sesaat. Kita bisa ikut “tersedot” saat membaca puisi Kangen. Rendra merayu pembaca ikut luruh dalam imajinasi kerinduan yang menekan dan menghimpit. Simaklah: Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku/ menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/ kau tak akan mengerti segala lukaku/ kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Pergulatan Rendra pada teks-teks puisi bertema cinta lambat laun mengalami jeda akibat tergoda mencicipi tema-tema kritik politik, sosial, dan budaya. Puisi-puisinya justru nyaring di atas mimbar, menyuarakan protes dan perlawanan. Rendra kian mentereng sebagai penyair penentang rezim Orde Baru. Seruan puisi “pamflet masa darurat” mengundang orang-orang untuk kagum serta memberi cap penyair perlawanan kepadanya.
Sekian waktu berlalu, Rendra tak lagi mendefinisikan cinta sebatas hubungan antarmanusia. Pengimajinasian cinta justru mengarah pada ikhtiar pengendapan diri dalam jagat religiusitas dan keilahian. Puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu telah memungkasi narasi cinta Rendra dalam kisahan puisi-puisinya. Rendra menulis penuh takzim: Aku ingin kembali ke jalan alam/ Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.// Tuhan, aku cinta pada-Mu.
Puisi telah meriwayatkan narasi cinta Rendra, dari masa ke masa. Temuan puisi terakhir itu membuktikan pemaknaan dan pengisahan tema cinta di dalam puisin Rendra terus mengalami peralihan. Penerbitan buku-buku yang memuat warisan puisinya yang tak terpublikasikan jadi pelengkap khasanah referensi pembaca agar kerja penafsiran tak terjadi bolong-bolong.
Membaca dan menafsir ulang puisi-puisi Rendra tak lain jadi pengingat kiprah ketokohan Rendra, yang tahun ini memasuki usia 80 tahun, yaitu pada 7 November silam. Rendra telah membuktikan betapa “usia cinta lebih panjang dari usia percintaan”. Dan usia puisi memang lebih panjang ketimbang penyair. []

Dimuat di Edaran Ora Weruh Nomor 6 Tahun IV 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar