Perang
dan pertikaian kerap menyisakan ingatan dan kenangan pedih bagi korban. Perang
tersulut akibat fanatisme suku, ras, agama, dan politik. Kita belum lupa serentetan
tragedi di negeri ini. Konflik separatisme di Aceh, konflik antarsuku di
Kalimantan, serta kerusuhan disintegrasi di Timor-Timur. Di kancah
internasional, pembantaian pernah terjadi di Rwanda, Bosnia Herzegovina, dan
Palestina. Bahkan, sampai hari ini perang belum lelah menebar peluru di
Palestina.
Dari
berbagai konflik inilah, buku kumpulan cerpen Juragan Haji karangan Helvy Tiana Rosa mencoba “menyusup” dan
menampilkan petilan kisah di balik tragedi berperspektif korban. Buku yang
pernah terbit tahun 2008 dengan judul Bukavu
ini, seperti sengaja mengajukan cerpen-cerpen berlatar tragedi dan konflik
kemanusiaan. Ada amis darah bercecer, tubuh-tubuh tertembus peluru, tangis pilu
anak-anak, dan ratapan para istri ditinggal mati sang suami.
Helvy
membangun cerpennya bukan pada narasi besar di mana konflik berpusat. Cerita justru
dipungut dari petilan kisah para korban, yang terkena langsung imbas konflik. Korban kerusuhan dan perang memang
tak pernah jauh dari pengalaman-pengalaman getir perihal kekerasan, penyiksaan,
hingga pembunuhan. Helvy mengimajinasikan “kenyataan” dalam cerpen-cerpennya
dengan getir dan mengharukan tanpa kehilangan ciri khas: keberpihakan pada
kemanusiaan.
Cerpen
Ze Akan Mati Ditembak mengisahkan impian
seorang pemuda perihal perdamaian dan pembagian wilayah di Timor Timur, pro-kemerdekaan
dan pro-integrasi. Ze kehilangan banyak keluarga sejak konflik meletus. Ia tak
kuasa jika harus semakin terpisah dari saudara, keluarga, dan teman-temannya. Dan
kita pun tahu, niat baik Ze tak akan pernah terwujud. Sebuah peluru justru
menyambut tubuhnya ketika hasrat menyuarakan perdamaian itu begitu besar.
“Ze
mengerang. Matanya basah. Ternyata cuma seperti ini rasanya ditembak. Tidak
terlalu sakit, seperti yang selalu dibayangkan” (hlm.52). Ironisme kematian. Ze
mewakili satu dari sekian banyak masyarakat Timor Timur yang dulu mengimpikan
perdamaian namun justru mati sia-sia. Kematian, bagi mereka yang terjepit di
daerah konflik, sudah terbayangkan jauh-jauh hari. Hidup di daerah konflik seolah-olah
justru lebih menyakitkan ketimbang kematian itu sendiri.
Helvy
memang cenderung memberi deskripsi kematian secara dramatis dan gamblang.
Sekian cerpen menempatkan kematian demi kematian sebagai jalan mengingatkan
manusia. Kematian kerap disalahpahami sebagai penyelesaian oleh pihak bertikai.
Mereka membunuh sebagai lampiasan emosi sekaligus pembenaran atas “apa” yang
mereka yakini.
Dalam
cerpen Darahitam konflik antara suku
Dayak dan Madura telah membuat banyak orang-orang saling curiga, sewaktu-waktu
saling bunuh hanya karena amarah sesaat. Tokoh Alawy, lelaki penolong yang
dengan sukarela memberi pendidikan anak-anak korban konflik, justru jadi korban
sentiman warga setempat. Simaklah petikan berikut: “Seperti ada yang meledakkan
dirinya, saat ia temukan kepala lelaki itu, tepat di depan pintu rumahnya.
Siapakah yang tega mengayau manusia penolong seperti lelaki itu?” (hlm.63).
Helvy
kentara tekun dan berambisi menghadirkan imajinasi kematian dan ceceran darah
di setiap cerpennya. Namun, lewat jalan inilah, Helvy secara eksplisit menyampaikan
pesan kemanusiaan meski terkesan kontradiktif. Helvy menghadirkan kengerian
tingkah polah orang-orang tak beradab dalam cerpennya demi menarik sebuah pesan
spiritual-kemanusiaan.
Cerpen-cerpen
Helvy bergerak cepat melintasi berbagai kisah dan tragedi. Kita dirayu untuk berimajinasi
dalam kengerian dan kesedihan, dari satu kematian ke kematian selanjutnya. Langkah
ini membuat pembaca hanyut dalam emosi, diaduk-aduk, digeret dalam ketegangan
cerita.
Pada
akhirnya, kita akan sampai di satu titik kesadaran, di mana kita seperti
menonton hamparan sejarah kelam kemanusiaan yang diputar ulang. Sastrawan Budi
Darma bahkan menangkap sinyal bahwa Helvy memulai menulis cerita “dengan
“ancang-ancang” penelitian terlebih dahulu”. Cerpen-cerpen Helvy layak dibaca
sebagai ikhtiar untuk terus-menerus menebar kesadaran kemanusiaan secara
universal. []
Juara 1 Lomba Resensi Buku FLP Milad ke-18, 2015
Widyanuari Eko Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar