Alkisah,
tahun 21xx, di sebuah negeri bernama R. merebak fenomena bunuh diri massal. Bagi
masyarakat, bunuh diri tak lagi dipicu himpitan ekonomi, tetapi sudah menjadi
fenomena lunatik kolektif. Seperti sebuah trend,
bunuh diri menulari siapa pun: anak muda, orang tua, gelandangan hingga para
birokrat. Kecamuk perkembangan teknologi masif, membuat orang-orang sumpek dan
jengah. Manusia gagap menghadapi modernitas yang pesat.
Demi
membendung gelombang bunuh diri, pemerintah akhirnya merancang undang-undang
antibunuhdiri. Persoalan menjadi kian rumit justru ketika pemerintah kebingungan
menentukan hukuman apa yang cocok bagi si pelaku bunuh diri—bagaimana mungkin
pelaku bunuh diri, yang sudah pasti akan mati, mesti diberi hukuman? Kekacauan
semakin melanda negeri R. saat para pejabat negara ikut terjangkit ‘virus’ bunuh
diri massal.
Cerpen
berjudul Undang-Undang Antibunuhdiri jadi
ketukan pintu sebelum memasuki dunia kelam Aksara
Amananunna (2014) garapan Rio Johan. Sebuah cerita bertema fatalistik,
menandai serangkaian imajinasi kisah orang-orang hidup dalam kontradiksi psikis
dan jasmani. Tema-tema bunuh diri, kekerasan, seksualitas, gender, identitas, penyimpangan,
serta ambisi-nafsu manusia tersaji apik dalam buku ini.
Pesimisme
Ada
aura pesimis dalam setiap karakter tokoh. Deretan kisah manusia labil, terpuruk
dalam keputusasaan, gagap merespons pelbagai perubahan zaman. Kemodernan
berimbas pada lahirnya jiwa-jiwa kering, miskin keyakinan dan religiusitas.
Dalam
cerpen berjudul Riwayat Benjamin,
pengarang melanjutkan kecenderungannya menyajikan cerita beraroma kematian.
Mengambil latar tahun 1598, cerpen ini mengisahkan kehidupan bocah lelaki bernama
Ben dalam jerat praktik kekerasan dan hubungan sesama jenis. Pesona Ben yang memikat,
merangsang para gentry, bangsawan
tanpa gelar, ‘mengasuhnya’. Ia diperdaya, diberi iming-iming bakal hidup enak
dan berkecukupan asal mau meladeni nafsu bejat para gentry.
Ben
tak kuasa menolak gelimang kemewahan. Tetapi kenyamanan hidup Ben tak
berlangsung lama. Sang gentry tergoda
‘mengasuh’ pasangan baru. Ben dicampakkan sekaligus menerima perlakuan kasar.
Tak hanya dikhianati, akibat hubungan menyimpang itu, Ben terjangkit penyakit.
Tak berdaya menanggung derita, nasib Ben berakhir di tali gantungan. Ia mati bunuh
diri.
Cerpen
ini tentu mengingatkan kita kepada kaum pecinta sejenis yang hidup dalam nuansa
kekerasan. Pengarang kentara menyajikan adegan-adegan kekerasan (seksual). Mengeksplorasi
kisah para pengindap sadomasokis dalam cerpennya. Hasrat seksual memang urusan
purba, menandai gerak peradaban manusia. Manusia dan seksualitas adalah dua
sisi mata uang, menyatu namun berkebalikan.
Gelimang
tubuh manusia beserta nafsu-ambisinya jadi referensi pengarang mengolah cerita.
Tema-tema pelik dan menggiris “digoreng” menjadi fragmen-fragmen sisi gelap
manusia. Cerpen Aksara Amananunna
menyajikan dominasi keterpinggiran manusia akibat ambisi yang terlalu besar. Cerpen
ini mengisahkan tentang manusia bernama Amanunna yang berambisi menciptakan
bahasa pasca Tuhan merusak bahasa-bahasa di dunia.
Merasa
tak memiliki bahasa sesuai nalurinya, Amanunna berniat menciptakan bahasa baru.
Bahasa menunjukan tingkat peradaban manusia. Bahasa mesti diciptakan sebagai
pengukuhan diri, meneguhkan eksistensi sebagai manusia.
Tetapi
harapan itu ambruk, seperti rumah kertas dihempas angin. Bahasa Amananunna
hanya bertahan di kalangan keluarganya saja. Sementara usia Amananunna kian
menua, salah satu anaknya justru memutuskan meninggalkan bahasa ajarannya itu. Pewaris
bahasa Amananunna pun sirna.
Tekad
Amanunna begitu kuat. Amananunna tak ingin usahanya berakhir sia-sia. “Amananunna
menempuh cara terakhir. Pria renta itu mengukir aksara-aksara bahasanya di
ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua. Setidaknya,
dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya”(hlm.35). Berakhir sudah
perjalanan Amanunna menciptakan bahasa.
Seandainya
kumpulan cerpen ini adalah sebuah bunga rampai film, maka film ini bakal menghamparkan
tampilan-tampilan vulgar perihal birahi,
nafsu, tubuh, kekerasan, dan tekanan psikologis. Cerpen-cerpen dalam buku ini
kentara menyajikan ‘sihir’ pesimisme.
Sebagai
sebuah kumpulan cerpen, meski ada satu cerita yang lebih layak disebut novelet
ketimbang cerpen, buku ini menghadirkan pelbagai imajinasi yang seolah hadir
dari dunia yang entah. Kita tak akan menjumpai satu pun cerpen beraroma ‘keindonesiaan’.
Setiap cerita seperti lahir dari pelbagai belahan dunia yang jauh, serta muncul
dari pengisahan dari masa lalu yang entah.
Pengarang
lihai mencomot fragmen-fragmen kisah ratusan tahun silam, yang barangkali
seperti diadopsi dari film-film di Eropa dan Amerika. Pengarang mahir mengimajinasikan-mendeskripsikan
kisah di masa depan. Buku ini mengajak pembaca hanyut dalam pusaran imajinasi
kelam, membawa kita pada hamparan ruang dan waktu yang jauh dan awam.[]
Disajikan di Edaran (ora) Weruh, Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar