Setiap
Ramadan datang masjid dipastikan lebih ramai dibanding biasanya. Umat Islam
merasa perlu memanfaatkan bulan penuh pahala ini dengan menambah intensitas
datang ke masjid. Dari shalat berjamaah, membaca Alquran, berbuka bersama, tarawih,
hingga sekadar tidur-tiduran. Di bulan Ramadan inilah keberadaan masjid menampilkan
suasananya yang hangat.
Di
siang hari, kala tubuh didera lapar, orang-orang menyempatkan shalat di masjid.
Suasana masjid yang sejuk dan tenang merangsang jamaah untuk beribadah secara
lebih khusuk. Menjelang malam hari, suasana masjid kian meriah. Hajatan buka
bersama membuat kebersamaan jamaah kian terjalin. Setelah berbuka, agenda di
masjid diisi tarawih dan tadarus Alquran. Begitu seterusnya setiap hari selama
Ramadan. Belum lagi jika ada acara tambahan guna lebih menyemarakan masjid,
seperti pengajian dan pesantren kilat bagi siswa-siswa sekolah. Masjid pun tak
pernah sepi dari aktifitas-aktifitas berfaedah.
Maka
tak keliru bila bulan Ramadan jadi momentum bagi umat muslim untuk memberi
pemaknaan baru atas peran dan fungsi masjid. Keberadaan masjid bisa jadi
rujukan untuk membaca dan memahami Islam dalam pelbagai perspektif, dari
sejarah, budaya, hingga politik. Pemaknaan ini diharapkan mampu menempatkan
masjid tak sekadar pada fungsinya sebagai tempat ibadah.
Untuk
itu mari sejenak membuka catatan-catatan tentang kesejarahan masjid di
Indonesia. Bangunan masjid menandai kedatangan dan persebaran agama Islam di
Indonesia. Keberadaan masjid tidak bisa lepas dari peran para pedagang dari
Arab, Persia, dan India, yang datang ke Nusantara sembari menyebarkan ajaran Islam.
Di setiap wilayah yang mereka tinggali, mereka biasanya mengutamakan untuk
membangun masjid (Badri Yatim, 1993). Dari masjid itulah dakwah Islam menyebar
luas ke khalayak.
Pentingnya
membangun masjid sebagai pusat gerakan dakwah juga disadari oleh Walisongo,
penggerak agama Islam di tanah Jawa. Walisongo menjalin diplomasi dengan
kerajaan dan penguasa di Jawa saat itu demi memuluskan dakwahnya, terutama
lewat pembangunan masjid. Hasilnya, masjid diizinkan dibangun di tempat-tempat
strategis, seperti di samping kraton dan alun-alun.
Membangun
masjid di tempat strategis tentu punya misi yang tak sepele. Alun-alun,
misalnya, merupakan tempat di mana tradisi pertemuan sang raja dan rakyatnya
biasa digelar. Setelah ada masjid, pertemuan raja dan rakyat tetap berlangsung
namun berpindah ke dalam masjid. Hal tersebut bertujuan agar penyebaran ajaran
Islam ke dalam kepercayaan orang Jawa tak serta-merta menabrak dan menghapus
nilai tradisi dan budaya mereka (Sidi Gazalba, 1975). Siasat ini juga dimaksudkan
agar tak terjadi gesekan yang terlalu keras antara proses dakwah dengan ritual
tradisi yang ada.
Keberadaan
masjid di Jawa pada mulanya memang sebagai pusat dakwah. Namun, pada
perkembangannya, masjid mulai digerakkan sebagai tempat pengajaran dan pendidikan.
Para kyai di Jawa bersiasat membangun masjid di dalam pesantren sebagai manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Para kyai meniru tradisi
Nabi Muhammad saw dalam memfungsikan masjid sebagai pusat pendidikan umat Islam
(Zamakhsyari Dhofier, 1983).
Di
masjid, para santri dididik shalat lima waktu, disuguhi ilmu dan ajaran-ajaran
Islam, serta diajarkan untuk melanjutkan tradisi baik yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai keislaman. Masjid pun merangkap sebagai pusat pengajaran dan
pendidikan berbasis Islam dan tradisi.
Masjid Istiqlal (sumber: pangutangans.wordpress.com) |
Masjid
terus mengalami perluasan fungsi dan makna. Nilai-nilai kultural dan kebangsaan
ikut bersemai di dalam masjid. Di era Presiden Sukarno, kita bisa menyaksikan
betapa masjid bisa dijadikan sebagai alat pencitaan harga diri negara. Pidato Sukarno
tertanggal 18 Juli 1966 berjudul “Dirikanlah Masjid dari Beton,” menegaskan
ambisinya agar Indonesia memiliki masjid bertaraf internasional, setara
masjid-masjid agung di India, Turki, dan Pakistan.
Simaklah
petikan pidato tersebut:”Masak kita
bangsa Indonesia yang jumlah umat Islamnya lebih besar dari negara yang lain,
bangsa Indonesia yang jumlah orang Islamnya, muslimin dan muslimatnya terbesar
di dunia, masak kita mendirikan masjid Jami kok dari kayu dan genteng. Saya
tidak berpikir dalam istilah kayu dan genteng. Saya berpikir dalam istilah
beton….” Masjid Istiqlal itulah hasilnya.
Senarai
singkat terkait peran dan makna masjid di masa lalu membuat kita mafhum betapa
pemaknaan masjid tak sekadar peneduh saat beribadah. Masjid pernah mengalami
masa-masa gemilang ketika umat Islam sanggup menempatkannya sebagai ruang-ruang
bermisi pendidikan, tradisi, dan nasionalisme. Di sinilah masjid turut
membentuk mentalitas manusia Indonesia. Dengan demikian, meningkatnya
intensitas orang-orang datang ke masjid di bulan Ramadan sepantasnya jadi
momentum bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali pemaknanan mereka atas peran
dan fungsi masjid, berkaca dari masa lalu. []
Dimuat di Suara Merdeka, 10 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar