Novel mengisahkan Papua belum
beranjak dari tema ketertindasan perempuan. Perempuan mengalami apes lantaran
kepercayaan adat ikut melanggengkan dogma patriarki dan diskriminasi. Imajinasi
para pengarang Indonesia menganggap Papua belum selesai mengurai benang kusut
persoalan perempuan.
Dorothea Rosa Herliany
menghadirkan penggung imajinasi Papua lewat penerbitan novel Isinga: Roman Papua (2015). Novel ini
mengajak kita menjelajahi semesta Papua lewat tragedi percintaan Meage dan
Irewa berlatar konflik sosial-kultural, isu gender, dan aktivisme. Dorothea
mengajukan kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian
etnografis-sosiologis di tanah Papua.
Pengisahan bermula saat Meage dan
Irewa, dua anak muda di kampung Aitubu, terjerat hubungan cinta. Meage
berhasrat meminang Irewa sebagai calon istri. Pelbagai ritual adat sudah
dilakoni Meage demi mendapat restu dari sang calon mertua.
Namun tak disangka, Malom,
seorang pemuda dari kampung Hobone, terpikat juga pada Irewa. Tali kasih
telanjur tertambat pada Meage, Irewa pun menolak pinangan Malom. Tak terima
pinangannya ditolak, Malom nekat menculik Irewa. Penculikan ini memicu perang tak
berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.
Perang berkepanjangan pada
akhirnya sampai di titiknya yang terjenuh. Pihak Hobone berinisiatif mengajukan
tawaran perdamaian. Isi tawaran tak lain agar warga Aitubu merestui Irewa
dipersunting oleh Malom. Irewa dipilih untuk “ditumbalkan” sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang
bertikai.
“Perempuan bisa menolak laki-laki
saat dilamar. Tapi ia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni
perkampungan untuk kepentingan perdamaian (hal.52)”. Irewa tak kuasa melawan
kehendak adat. Sejak pertunangan itu Irewa menapaki babak baru dalam hidupnya:
hari-hari yang panjang sebagai pesakitan.
Menjadi juru damai berarti
mendermakan diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan
penguasaan otoritas suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak
berakibat fatal pada Irewa.
Tugas Irewa sebagai istri adalah
bekerja di ladang, hamil, dan melahirkan, tak peduli tubuh lungkrah dan lemah.
Hampir separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah jeratan
kekerasan dan penindasan Malom.
“Makin banyak anak laki-laki,
makin berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki
juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan” (hal.91). Keinginan
Malom punya banyak anak berdalih warisan dan kekuasaan. Anak laki-laki jadi
tumpuan saat perang datang.
Nestapa Irewa kian lengkap berkat
ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak perempuan terjangkit
penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan”. Dari Malom inilah Irewa
menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis.
Penyakit itu tak hanya
menjangkiti Irewa, banyak perempuan lain bernasib sama. Sejak saat itu Irewa
merasa terpanggil untuk memasuki dunia aktivisme perempuan. Ada gairah yang
menggebu dalam diri Irewa untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan
dan ketidaktahuan
Secara kekayaan data dan
referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi
perihal kondisi sosial-kultural masyarakat di Papua secara meyakinkan. Tetapi,
kekayaan referensi dalam novel ini tidak diiringi kesanggupan bercerita yang
lentur dan memikat. Cerita berjalan lurus tanpa basa-basi. Dorothea tampak
kurang piawai meleburkan data dan referensi dalam olahan gaya penceritaan dan
narasi.
Sekian data etnografis
terdeskripsikan secara ensiklopedis. Penceritaan model tersebut tentu
mengganggu kenikmatan pembacaan saat menapaki jalan cerita dan imajinasi. Selain
terasa “kaku”, novel ini juga tak berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca.
Tetapi di antara sedikit novel
yang memberi perhatian besar pada isu-isu di Papua, kehadiran novel Isinga layak mendapat respons dari
pembaca sastra kita. Papua memang
mesti dikisahkan dan diwartakan agar tak terus menerus menyimpan luka dan
penindasan. []
Dimuat Koran Jakarta, 19 Maret
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar