Bung Karno masih memiliki umat. Sekian puluh tahun setelah
beliau wafat, ketokohannya masih menebar pesona. Potret Sang Proklamator masih
terpampang di gedung-gedung, rumah, kaos, tembok, pinggir jalan. Buku-buku warisannya
pernah jadi barang bernilai fantastis semasa Orde Baru. Imajinasi ketokohan
Bung Karno terekam dalam foto-foto memesona, kutipan, buku, dan sekian rekaman
pidato.
Bung Karno seperti berdiam dalam ingatan dan kenangan para
pengagumnya. Tulisan-tulisannya kerap menginspirasi intelektual untuk menerbitkan
buku berisi kajian-kajian pemikiran. Para seniman rupa tak jarang
mengeksplorasi tampang Bung Karno ke dalam lukisan atau mural di tembok-tembok
jalanan. Tak ketinggalan, para politikus pun kerap naif memajang foto diri
bersanding dengan Bung Karno saat kampanye politik. Pesona Bung Karno belum
pudar meski pernah digencet habis-habisan semasa Orde Baru.
Pada konteks inilah, saya menyebut buku Kepada Bung Karno: Kumpulan Puisi 1960-2014 karangan Bungaran
Antonius Simanjuntak, adalah satu dari sekian kerja kreatif yang lahir dari
kekaguman pada Bung Karno. Puisi berisi arsip ingatan dan kenangan Bungaran saat
mengalami pemerintahan Bung Karno. Buku puisi lahir sebagai persembahan kepada
Sang Proklamator. Puisi-puisi mengalir sejak Bungaran mulai menapaki jalan
sebagai mahasiwa.
Peristiwa menjadi mahasiswa diawali dengan adegan sendu di
pelabuhan. Puisi bertajuk Di Atas KM
Kangean, mengisahkan episode keberangkatan dari kampung halaman menuju
tanah rantau. Puisi penuh haru dan kesedihan. Berikut petikannya: Mereka yang di geladak kapal masih menyeka
air mata/ Tapi aku tidak menyeka apa-apa/ karena aku tidak diantar oleh ayah
bunda/ walau negeri tujuanku adalah kota yang lama kudambakan/ Jauh di sana
katanya di kaki Gunung Merapi.
Puisi bertitimangsa 17 Agustus 1960 mengisahkan adegan pilu:
perpisahan saat kapal bergerak menjauhi pelabuhan. Pelabuhan memang gampang
mengingatkan kita perihal pertemuan dan perpisahan. Dalam puisi ini, aku-liris
merasa cemburu. Keberangkatannya menuju pulau seberang tak disertai lambaian
tangan atau pun tangis perpisahan dari orang tua. Aku-lirik menuju sebuah kota
“di kaki Gunung Merapi”, Yogyakarta, tempat Bungaran berkuliah.
Bungaran menempuh studi saat revolusi sedang bergejolak
kencang. Indonesia di bawah rezim Bung Karno adalah negara galak dan bersuara
lantang. Orasi dan pidato Bung Karno menggelegar, membakar jiwa-jiwa
revolusioner mahasiswa. Bungaran seperti terjilat kobaran api revolusi.
Terpukau dengan Bung Karno, semangat revolusi muncul dalam sekian puisinya.
Dalam puisi Tri
Komando Rakyat, Bungaran menulis: sekarang
bung!/ kami sudah rela mati untuk bangsa/ dan negara/ sekarang bung/ kita
perang ke Irian Barat. Puisi mirip pamflet pergerakan. Mahasiswa saat itu
tentu minder jika tak terjun ke ranah politik. Bung Karno sebagai panutan
memang berpotensi membakar jiwa-jiwa muda. Barangkali sejak saat itulah,
Bungaran seperti menemukan sosok “bapak” sejati, tersihir pikiran dan kegagahan
Bung Karno saat pidato di atas podium. Pilihan mengagumi Bung Karno terus
mengakar pada Bungaran hingga meraih sarjana.
Bisa dimaklumi jika banyak dari puisi Bungaran menghadirkan “Bung
Karno” sebagai tempat berkeluh dan mengadu. Bungaran kerap mengingat Bung Karno
penuh nostalgia. Puisi berjudul Laporan
Kepada Bung Karno mengawetkan kerinduan itu: aku merindukan kelantanganmu itu/ acungan tanganmu yang kokoh/ dengan
kacamata hitammu/ belanda tahu kau tidak gertak sambal.
Pemimpin memang harus berani bersuara lantang dan berjiwa
pemberani. Di antara krisis kepemimpinan dan praktik korupsi yang menjangkiti
para wakil rakyat, siapa saja bakal merindui sosok pemimpin berwibawa. Selain
sikap kepemimpinan, Bungaran mengidolakan Bung Karno sebagai individu yang tak
berambisi menguras uang negara.
Dalam puisi berjudul Sukarno
Apa Pun Kata Mereka, Bungaran menulis: ada
yang menyamakanmu dengan Soeharto/ katanya sama-sama otoriter, diktator/
mungkin benar/… aku tak peduli/ karena kau tak kaya/ tak korupsi.
Pengaguman bersifat personal, mengarah pada sifat individu Sang Proklamator.
Laku koruptif memang bisa merobohkan segala wibawa dan jasa.
Kekaguman Bungaran pada Bung Karno tentu tak berpamrih
politik. Membaca sajak-sajak Bungaran, kita tak akan mendapati
tendensi-tendensi politis. Kita justru bakal diajak berenang dalam
ingatan-ingatan, kecintaan, kerinduan, serta pembelaan Bungaran kepada Bung
Karno. Nostalgia bersama Bung Karno lewat puisi tentu lebih beradab ketimbang
kegemaran politisi memajang foto diri besar-besar bersama Bung Karno, riasan
ampuh pencitraan diri. Puisi-puisi Bungaran telah mengisahkan Bung Karno secara
santun dan beradab. []
Dimuat Koran Jawa Pos 26 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar