Dilahirkan menjadi manusia Jawa: berkah
atau kutukan?
Hujan begitu deras mengguyur Semarang,
banjir sedang merambat secara perlahan. Suara air jatuh di genteng mirip
kecerewetan manusia. Hujan membawa berkah, seorang teman datang berkunjung. Aku
memerlukan obrolan ketimbang lamunan. Hujan sore itu aku kedatangan tamu,
seorang perempuan yang baru saja kukenal dari dunia maya. Ia datang bersama
harapan besar padaku: menemu buku yang ia cari. Buku jadi tujuan tak
terbantahkan meski hujan dan dingin. Ia datang jauh dari ujung kota Semarang,
mengharap buku berpindah dari lemariku ke tangannya. Pertemuan diawali salaman
dan senyum, berlanjut obrolan pada buku. Ia pembaca buku berideologi seleraisme. Perempuan beranak satu itu
hendak berkenalan dengan nilai-nilai ketuhanan ala Nurcholish Madjid dan
buku-buku Jawa. Aku merasa tak nyaman membaca ulasan buku Nurcholish Madjid.
Buku itu beralih hak milik.
Perempuan memang gemar bercerita tentang
hidup dan kenangannya. Obrolan dibuka basa-basi dan omong kosong, beralih
menuju segi-segi hidup pribadi. Teh hangat jadi pelicin tema pembicaraan. Ia
mulai membuka obrolan tentang hobi baca dan seleranya, juga kisah hidupnya,
sementara aku menjadi pendengar yang budiman. Aku memang suka jadi pendengar
mesti kerap pilih-pilih pembicara. Maka berceritalah ia tentang kenangan dan
pergulatan batin. Perempuan adalah arsiparis kenangan paling handal. Ia bisa
merangkai kenangan yang tersempil dari momen yang kadang hilang dari perhatian
kaum pria. Aku mendengar dengan seksama dan tenang, mengharap ada informasi tak
biasa dan menggoda. Ia bercerita, dan bercerita. Aku mendengar.
Temanku itu berhasrat mengobrolkan
Jawa dan agama. Jawa sebagai bagian dari sejarah diri dan agama sebagai pengalaman
lahir batin. Aku tak tertarik obrolan agama, aku menggiring obrolan bergerak
pada dunia Jawa dan pengalaman batiniah seorang perempuan. Perempuan ini unik
dan aneh. Kecintaan pada buku bermula dari trauma kecil dan ingatan. Ia
bernasib dilahirkan dari orangtua berbeda agama. Di Indonesia perbedaan memang
jadi alasan untuk orang-orang cerewet dan ikut campur.
Perempuan itu pun bercerita tentang
pencarian jati diri kejawaan tak kunjung selesai, tak mudah terjawab. Maka
pencarian itu terus berkelanjutan, mencari tahu tanpa merengek minta dikasih
tahu. Maka pergulatan menjadi Jawa itu memunculkan sejumlah tuntutan dan
pertanyaan. Tentang pemaknaan Jawa, adat, tradisi, dan mitologi yang terlanjur
melekat pada diri dan keluarga. Perempuan yang baru saja kukenal itu menjerat dan
melecut ingatanku tentang dunia jawa dalam ingatan, tentang masa-masa tak
mengerti tentang kejawaan. Perempuan kurus itu bercerita di antara deras hujan.
Detak jatuh hujan terlibas kisah dan kenangan. Berulangkali ia bertanya tentang
buku-buku Jawa. Sayang sekali, buku-buku Jawa belum jadi tujuan menghabiskan
duit. Novel masih memberi klangenan. Perempuan itu beralih pada pesan, agar
bersedia membelikan jika menemukan buku-buku tentang kejawaan. Segelas teh jadi
perantara menyambung obrolan perihal kejawaan dari kenangan seorang perempuan…
***
Peristiwa itu seminggu yang lalu, belum
sempat terhapus ingatan-ingatan baru. Pengisahan Jawa memang jadi pembicaraan
tak berkesudahan. Aku berjumpa lagi dengan obrolan Jawa tapi bukan sekadar curhat
atau keluh kesah. Residensi Literasi di rumah Bandung Mawardi 1-14 Febuari jadi
prosesi bersejarah dalam hidupku. Bertemu Suprapto Suryodharmo, seniman kawakan
dari Solo. Nama itu asing bagiku, namun dari namanya aku menduga ada nilai-nilai
jawaisme atau semacam darah Jawa.
Nama Jawa memang kharismatik: Ki Hajar Dewantara, Ki Ageng Suryomentaram, Mas
Marco Kartodikromo, Widyanuari Eko Putra. Mantap!
Mbah Prapto, panggilan akrabnya, berbicara
tentang Jawa dan dirinya, tentang bagaimana memaknai Jawa sebagai manusia yang
kritis, tentang bagaimana sikap Jawa dan kolonialisme. Lelaki bertubuh agak
sedikit berisi, berbaju lurik, bertopi, dan bersanding rokok Gudang Garam, mulai menarik perhatianku.
Obrolan diawali dengan isapan rokok namun sebentar, menandakan nafas yang
sudah teramat pendek. Berbeda dengan aku yang masih sanggup mengisap rokok
dalam-dalam. Mbah Prapto beradegan secara lambat, omongan pelan. Adegan
mengisap rokok jadi peristiwa mengesankan, aku jadi punya teman mengisap
rokok. Seorang perokok memang dituntut jenius dan intelek biar tidak terkesan
wagu. Mbah Prapto dan aku seorang perokok.
Belum lama menyimak obrolan Mbah Prapto,
tema sudah bergerak melintasi negara-negara di Eropa. Wah, ada dugaan yang
keliru tentang Mbah Prapto. Aku terdiam memerhatikan, menerka kisah apalagi
yang bakal ia ceritakan. Resepsiku terhadap Mbah Prapto mulai bergerak. Siapa
sebenarnya Mbah Prapto? Maka berceritalah ia: tentang Jawa, performing art, tentang konsep
berpikir-berkesenian, tentang budaya dan kolonialisme. Berangkat dari ungkapan
“aku berpikir maka aku ada”, mengalirlah pemikiran-pemikiran tentang tafsir
Jawa di mata seorang Mbah Prapto. Acuan ini merunut pada cara pikir Mbah Prapto
yang menganggap bahwa, setelah dirunut secara lebih mendalam, Jawa belum
sanggup menentukan identitas dan eksistensinya sendiri.
Jawa masih mewarisi luka-luka
kolonialisme yang belum sanggup dimusnahkan dari ingatan dan tradisi. Niat
untuk mengubah Jawa agar menemukan eksistensinya secara mandiri belum sanggup
dicetuskan oleh para punggawa dan pemikir Javanologi sekalipun. Mitos dan cara
pikir mistik masih terus awet dalam sanubari manusia Jawa. Aku tentu tak perlu
sibuk mencari runutan materi untuk menyambung obrolan Mbah Prapto: Aku hidup
dan tumbuh di lingkungan adat Jawa yang kental. Istilah ora ilok/ pamali masih aku jumpai, pedoman untuk mengingatkan
tingkah polah manusia Jawa. Keterangan-keterangan lanjutan atau ilmiah belum
dipakai secara umum sebagai nalar manusia Jawa.
Akhirnya keterbelengguan pada mitos ini
sampai hari ini masih mengakar dan kencang mengikat. Ketidaksetujuan Mbah
Prapto pada konsep mitos inilah yang memantik pemikiran untuk melepaskan diri
dari kungkungan mitos yang berbau mistikisme. Pikiran dikerahkan, usaha
ditambatkan, maka terjadilah sebuah dekonstruksi konvensionalitas adab Jawa.
Mbah Prapto menolak mengawetkan sisa-sisa mental terjajah. Jawa mesti berbenah
agar tidak melulu memandang diri sebagai ndoro.
Obrolan bersama Mbah Prapto bagiku memang belum menemu titik yang terang.
Beliau tidak menulis tapi kerap melontarkan pemikiran-pemikiran
kritis-menyentil.
Jawa-Indonesia sudah terjajah hampir
tiga abad. Kolonial merampok segala warisan berliterasi dan berpikir rasional.
Menanamkan watak nerimo dan tak
banyak bicara, penurut dan bodoh. Tan Malaka pernah mengkritik habis-habisan
pola pikir ini lewat anjuran materialime, dialektika, dan logika. Pola pikir
mistik melemahkan intelektualisme. Penerimaan serta pengagungan warisan sejarah
tanpa disertai sikap kritis menimbulkan tafsir sejarah yang keliru. Manusia
Jawa hendak berbangga tapi salah alamat. Tafsir kesembronoan kolonial
dibuktikan lewat sejenis keterangan mencengangkan oleh Mbah Prapto: aksara Jawa
perlu dirombak susunannya agar tidak melulu mewarisi kutukan-kutukan kolonial.
Aku terdiam sebentar, sedikit bingung, merasa terlepas dari runutan kisah dan
pemikiran Mbah Prapto. Aku baru menyadari, aku tertinggal arus informasi Jawa,
terkutuk menjadi Jawa yang tak tahu tentang kesejarahan Jawa…
Pada detik ini pula aku teringat seorang
teman perempuan yang tempo hari berkunjung ke kontrakan, menerjang hujan dan
bertekad demi keingintahuan. Ia bertanya tentang buku-buku Jawa yang aku punya.
Nahas. Aku tak punya. Aku tak sanggup menafsir lebih panjang pemikiran Mbah
Prapto. Aku terdiam, menyesal. Tapi aku berjanji bakal merelakan hartaku demi
membaca Jawa, demi pamrih mengerti pemaknaan Jawa agar tak terbodohkan atau
mewarisi watak terjajah…
3 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar