Sejarah Indonesia meriwayatkan Mohammad Hatta sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita membaca ketokohan Hatta bereferensi buku sejarah maupun biografi dan otobiografi. Para sejarawan mengurai kiprah Hatta berdasarkan aktivitas, pemikiran, dan perannya di bidang intelektual, politik, ekonomi, dan pergerakan.
Sekian buku tentang Hatta sengaja
diterbitkan oleh sahabat, sejarawan, orang-orang terdekat, bermaksud melengkapi pengisahan
sosok Hatta secara komplit. Begitu pula dengan penerbitan buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2016)
yang ditulis oleh tiga putrinya: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan
Halida Nuriah Hatta. Ketiganya menuliskan kesan, pengalaman, dan ingatannya
sebagai anak seorang tokoh besar Indonesia.
Sebagai anak pertama, Meutia
tentu paling banyak memiliki kesempatan menikmati masa kecilnya bersama sang
ayah. Meutia mengenang masa-masa di saat ayahnya kerap mendapat undangan ke luar negeri meski sudah tidak
berstatus Wakil Presiden pertama Indonesia.
Meutia ingat saat diajak ayahnya
melawat ke Jerman. Di sebuah restoran yang mereka kunjungi, terjadi peristiwa
yang kemudian membuat
Meutia terkagum-kagum pada sikap berani ayahnya. Hanya karena beda warna kulit, rombongan
Hatta tidak mendapat perlakuan memuaskan dari pengelola restoran milik warga
Jerman.
“Ayah berbicara dengan fasih dan
tegas, saya terkesima. Ayah memprotes perlakuan mereka yang membuat kami berlama-lama
di sana tanpa dilayani”(hal.15). Peristiwa ini menegaskan betapa Hatta adalah
seorang pemberani yang menjunjung
tinggi kesetaraan hak-hak manusia. Ia
tak rela mendapat perlakuan berbeda hanya karena beda ras.
Selain itu, Meutia tak segan untuk
menceritakan hal-hal pribadi terkait sang ayah. Misalnya,
tentang alasan mengapa ayahnya terlambat menikah, yaitu di usia 43 tahun.
Menurut Meutia, ayahnya ”tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka” (hal.39). Prinsip itu
pun benar-benar Hatta lakoni. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Hatta menikah
dengan Rahmi Rachim, yang kemudian menjadi ibu dari ketiga penulis
buku ini.
Salah satu didikan Hatta yang
hingga kini masih Meutia ingat dan lakoni yaitu terkait buku. Hatta memang
terkenal sebagai sosok intelektual penggila buku. Sejak kecil, Meutia diajarkan oleh Hatta agar
memperlakukan buku secara terhormat. Saat membaca buku, Meutia diajarkan agar
“duduk manis, tangan dilipat, dan satu aturan lagi, buku tidak boleh dicoret
atau diberi tanda dengan cara dilipat ujungnya”(hal.84).
Selain tegas, teguh pendirian,
dan disiplin, Hatta juga dikenal sebagai sosok lelaki yang romantis. Gemala
Rabia’ah Hatta terkenang sikap ayahnya yang sangat halus kepada Rachmi, sang
ibu. Dalam kisahan Gemala, kita bisa mendapati gambaran tentang keromantisan Hatta pada
istrinya.
Gemala mengisahkan momentum saat
Hatta memberikan uang pensiunan kepada istrinya. “Ini pensiunan Kak Hatta,
tolong Yuke cukupkan. Nanti kalau ada yang kurang, katakan pada Kak Hatta, nanti kita carikan
jalan keluarnya”(hal.147). Sebuah dialog yang lembut. Hatta punya penggilan
kesayangan kepada Rachmi, begitupun sebaliknya.
Kita bisa membaca situasi Hatta
saat itu. Pensiunan sebagai Wakil Presiden tak menjamin kebutuhan hidup berkecukupan. Meski tak punya banyak uang, Hatta tetap
mengutamakan sikapnya yang lembut pada sang istri.
Berbeda dengan ulah para politisi
hari ini yang gemar korupsi. Meski kondisi keuangan yang tak terlalu longgar, Hatta tak tergiur mengambil
uang negara yang bukan haknya. Gemala terkesan dengan kejujuran Hatta terkait
penggunaan uang negara.
Kala itu, Hatta mengalami sakit
keras dan mesti berobat ke luar
negeri. Seluruh biaya pengobatan ditanggung negara. Ketika pengobatan selesai,
ternyata ada sisa dari biaya pengobatan yang menurut aturan negara sudah menjadi hak Hatta. Tetapi Hatta berkehendak lain. Meutia
mengenang ucapan ayahnya:”itu bukan uangku, kembalikan kepada negara”(hal.166).
Kejujuran dan kesederhanaan Hatta
juga begitu membekas dalam ingatan si ragil Halida Nuriah Hatta. Sekitar tahun
1955, Hatta melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden. Hatta sekeluarga
kemudian hengkang dari rumah dinas. Hatta bisa saja meminta bantuan
negara untuk membelikan rumah. Namun hal itu tidak Hatta lakukan.
Hatta lebih memilih membeli
rumah dengan mencicil. Hatta
mengakui cukup membiayai rumah itu dari penghasilannya
sendiri yang bersumber pada “tabungan dari penghasilan kebiasaan menulis di
media sejak muda, yaitu menulis karangan yang mengupas berbagai berbagai
persoalan mendasar bidang sosial, ekonomi, politik”(hal.200).
Ingatan dan kenangan ketiga
putrinya tentu sanggup menjelaskan Hatta dari dekat. Buku ini akan semakin
berkesan apabila konsisten mengisahkan Hatta secara personal, dalam bingkai
relasi anak dan ayah. Sayang sekali, ketiga penulis justru tergiur mengurusi
hubungan politik, uraian ideologis, serta upaya menjelaskan pemikiran-pemikiran Hatta. Hal itu tentu mubadzir
karena ada begitu banyak buku karangan para pakar yang lebih mumpuni
dalam mengulas
hal tersebut.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar