Sebuah
puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi, daya
intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair. Puisi bisa jadi hasil
dari pergulatan batin dan permenungan, atau hanya sebatas medium bagi
penyampaian gagasan semata.
Adalah sebuah kepuasan bagi penyair untuk sanggup memberikan isi dan
makna kepada suatu tindakan, semacam rapor bakat dan kemampuannya, ke dalam
bentuk puisi (Kleden, 2004). Niat “memberikan isi dan makna” terbaca dari
upaya penyair memasukkan pelbagai referensi dan ingatan ke dalam bait-bait
puisi ciptaannya.
Demikian pula dengan sejumlah puisi karangan Arif Fitra Kurniawan yang
terhimpun dalam Eskapis (2014). Semacam kerja menelusuri pelbagai
eksplorasi interteks, mengacu daya intelektual dan kesanggupan menghadirkan
imaji dan referensi. Kerja ingatan, mengingat, diajukan sebagai tema besar
dalam puisi-puisinya.
Puisi adalah hamparan ingatan. Penyair mengajak pembaca larut ke dalam
tema-tema sejarah, waktu, masa kecil, dongeng, peribahasa, dan tokoh-tokoh
besar. Eksplorasi referensi yang mendalam, menggoda kita untuk menduga
kerja penyair tak sebatas berimajinasi, mengisap rokok, atau menghabiskan
bercangkir-cangkir kopi. Penyair menekuri kerja mengolah referensi sebelum
masuk dalam proses penciptaan. Penyair yang baik adalah juga seorang pelahap
buku yang rakus. Puisi diciptakan bukan dari ruang yang mengawang tak berisi.
Tokoh-tokoh kartun, dongeng, dan beberapa peribahasa mengajak pembaca
bernostalgia. Puisi berjudul “Beberapa Peribahasa Yang Memperpanjang Umur
Ingatan Kita” memberi gairah untuk membuka kembali memori saat menjadi remaja
pembelajar , masa di mana sekolah mengajarkan peribahasa dan petuah.
Sejumlah peribahasa jadi lahan olahan puitik tanpa terkesan klise dan
didaktis. Puisi “Kecil-Kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak”,“Pecah Menanti
Sebab, Retak Menanti Belah”, atau “Sudah Nasib Nasi Menjadi Bubur”,
misalnya. Peribahasa ditahbiskan sebagai pintu gerbang memasuki medan
puisi namun tak memberi harapan bagi pembaca menemukan makna konvensionalnya.
Simaklah potongan puisi “Air Di Daun Talas” berikut: yang bernama ular
adalah engkau// yang berwujud air adalah aku//sepasang panjang inisaling
memistarkan. Jika konvensi makna peribahasa yang dipakai sebagai judul
adalah “orang yang tak punya pendirian”, puisi ini justru sama sekali jauh dari
pemaknaan konvensionalitasnya. Personifikasi “ular” dan “air” yang “saling
memistarkan”, menyiratkan imaji tentang “sesuatu yang bersejalan”, terlepas
dari tautan makna “tak berpendirian”.
Efek
Percakapan
Penyair
tak menakik makna peribahasa, atau serta merta memformulasikan peribahasa ke
dalam puisi. Penyair justru mengimajinasikan keberadaan subyek
peribahasa,dan menampilkan permenungannya ke dalam puisi. Pilihan ini
tentu memberi efek percakapan antara pembaca dengan teks tidak berlangsung
sederhana. Ada tawaran-tawaran tafsir dari penyair kepada pembaca atas
peribahasa yang dicomotnya.
Penyair juga menghadirkan sejumlah tokoh kartun dan tokoh bersejarah. Puisi
berangkat dari penafsiran atas ucapan, sifat, kisah, biografi tokoh. Puisi
“Nobita”ditulis dengan gelora sinisme, menampilkan kritik atas lelaku tokoh
dalam dunia kartun. Simaklah petikan puisi berikut: “aku bodoh, maka dari itu
aku ada”.Ungkapan klasik khas Descartes justru
diintertekstualisasikan ke dalam adagium sarat kritik. Eksplorasi
terhadap tokoh-tokoh kartun tidak selinear saat eksplorasi terhadap peribahasa.
Penggarapan puisi dengan memberi rangsang atas ingatan-ingatan memang
memberi kemudahan bagi pembaca untuk memulai sebuah percakapan dengan
teks. Pembacaan lebih mudah terpantik emosionalitasnya ketika
pembacaan sanggup menarik keluar pelbagai kenangan dari benak pembaca. Tekstasi
pembaca memungkinkan untuk lebih mudah tercapai.
Gerak zaman begitu cepat. Manusia disuguhi informasi dan teknologi namun
terjebak dalam pikatnya. Modernitas justru melemahkan ingatan manusia. Publik
gampang lupa dan abai pada historisitas diri. Eskapis jadi semacam ikhtiar
menggali kembali historisitas ingatan pembaca agar tersegarkan.
Beberapa hal mungkin pernah dijumpai pembaca semasa kanak-kanak. Ingatan
saat guru mengajarkan peribahasa;tokoh-tokoh kartun yang pernah digemari;
dongeng yang masih terngiang; semua terendap dalam ingatan. Puisilah yang
kemudian beritikad menggali ingatan yang berdiam di ruang sunyi itu. Kadang,
melawan lupa tidak melulu harus diisi orasi, selebaran, dan demonstrasi.
Ingatan justru terkukuhkan lewat polesan puisi.
Penggunaan sekitar tiga puluh kata “ingatan/mengingat” dalam puisi-puisi Arif
memberi penegas betapa penyair memberi perhatian lebih perihal kerja
ingatan/mengingat. Petikan puisi “Yang Kau Panggil Namanya Sambil Berlari”
menggenapi keyakinan penyair atas rapuhnya ingatan menghadapi waktu dan gerak
zaman. “betapa mustahilnya mengembalikan waktu/dan menjagasegala ingatan yang
pernah erat memeluk/ tubuhnya—tubuhmu
Menekuri
puisi Arif Fitra Kurniawan, dengan kesadaran untuk mencoba menarik satu
pengikat dari sekian puisi-puisinya, tidak bisa tidak,saya teringat petilan
sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad (2004). “ sesuatu
yang kelak retak/dan kita membikinnya abadi”.
Dalam resepsi saya, lewat sekumpulan puisinya, Arif seolah berbisik lirih
kepada kita tentang sebuah aforisma: sesuatu yang kelak lupa, dan puisi
membikinnya ingat. Jagat puisi adalah jagat ingatan. Bagi penyair, mengingat,
barangkali, adalah semacam kata lain dari puisi.
(Suara Merdeka, Minggu 3 Agustus 2014)
(Suara Merdeka, Minggu 3 Agustus 2014)