Di mata seorang penyair, sejarah bukan rangkaian peristiwa
yang membeku dalam catatan dan dokumentasi album foto. Peristiwa sejarah
memungkinkan untuk dieksplorasi dan dihadirkan kembali dalam gubahan puisi dan
narasi estetik.
Mata pisau seorang penyair berkuasa membedah narasi sejarah
menjadi repihan tafsir dan imajinasi. Penyair, pada mulanya, memberi diri pada
pembacaan teks dan data sejarah secara tuntas. Untuk kemudian diolah guna mencipta
ragam tafsir dan kemungkinan.
Triyanto Triwikromo menyuntuki sejarah tokoh Kartosoewirjo
sebagai rujukan penerbitan buku terbarunya Kematian
Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi (2015). Fragmen penting dalam hidup
Kartosoewirjo, sejak memilih jalan “pemberontakan” hingga mendapat vonis
eksekusi mati dari negara, jadi anutan penciptaan teks-teks puisi.
Kita mengenal dan mengingat Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo (1907-1962) sebagai tokoh kontroversial: Pejuang kemerdekaan yang
berbelok jadi penggerak gagasan Negara Islam Indonesia. Gagasan yang membuatnya
harus behadapan dengan pemerintah. Kartosoewirjo menempuh gerilya di hutan-hutan
Garut dan Tasikmalaya demi cita-citanya. Bertahan hampir 13 tahun di dalam
hutan, pemberontakan itu pun kandas.
Triyanto menangkap setiap adegan dan renik peristiwa,
kemudian menatanya ke dalam rangkaian narasi puitik. Triyanto mengajukan sejumlah tafsir perihal sosok
Kartosoewirjo: Pemikiran dan mitos yang melekat pada dirinya.
Puisi berjudul Penangkapan jadi ketukan pintu memasuki
pembentukan imajinasi Kartosoewirjo versi Triyanto. Puisi
mengisahkan prosesi penangkapan Kartosoewirjo. Simaklah: “Aku bukan
siapa-siapa. Aku hanya mimpi orang-orang/ yang kauabaikan. Sekarang segera
penjarakan aku./ Katakan pada siapa pun, seorang pemberontak yang/ kesepian
telah menyerah dan tak ingin lagi melanjutkan/ perang”.
Kartosoewirjo adalah manusia terabaikan. Gagasan Negara Islam adalah muasal
dari segala pertentangannya dengan tokoh-tokoh Republik yang lain, terutama
dengan pemerintahan resmi Sukarno. Sekian puisi ikut mengisahkan
kontradiksi dua tokoh yang bersahabat sejak muda tersebut.
Puisi berjudul “Perihal Kobaran Api” menjelaskan pangkal
pertentangan itu: “Aku suka pada para panglima/ perang pada gurun-gurun penuh
cahaya zikir, Sukarno suka/ pada Majapahit yang getir”. Mimpi yang berbeda dari dua tokoh yang pernah hidup dalam satu pondokan,
dengan guru yang sama: Tjokroaminoto.
Pilihan ideologi dan
pemberontakannya, yang dianggap hendak menggulingkan pemerintahan yang sah, membuat
Kartosoewirjo divonis mati oleh pemerintahan. Triyanto menampilkan puisi-puisi
sarat pemenungan, gumaman, dialog, dan imajinasi Kartosoewirjo ketika menanti
detik-detik eksekusi itu tiba.
Dialog imajiner antara
Kartosoewirjo dengan para serdadu tembak, imam tentara, dokter, penjaga, dan
para saksi yang kelak menonton kematiannya, ditampilkan oleh Triyanto guna
mengimajinasikan apa yang mungkin disuarakan oleh Kartosoewirjo.
Triyanto menangkap setiap
detail peristiwa, dari adegan saat Kartosoewirjo naik kapal menuju pulau
penghabisan; mendengar interogasi para serdadu; tangan yang diborgol, hingga
saat matanya tertutup kain putih di tiang eksekusi. Triyanto tidak menyuguhkan
imajinasi sosok Kartosoewirjo yang gelap, angker, dan penuh bayang-bayang
mitos.
Meski tak pernah merasa takluk
di hadapan kematian, Kartosowirjo adalah manusia biasa yang keberatan jika
tangannya diborgol, atau merasa sangat ingin merokok ketika bosan tiba-tiba
datang melanda. Triyanto membongkar stigma, mitos, dan paradigma yang kerap
melekat pada Kartosoewirjo.
Dalam puisi Bukan Pesan Nabi, Triyanto menepis
kultus Kartosoewirjo sebagai Ratu Adil. Puisi ini berlatar penolakan pemerintah
Sukarno atas beberapa permintaan terakhir Kartosoewirjo sebelum eksekusi.
Triyanto seperti hendak ikut merasai gejolak batin sang Kartosoewirjo.
”Tak ada pesan terakhir untukmu. Aku hanya hendak/ membuka topengku.
Aku bukan nabi. Di perutku/ tak ada gunung-gemunung yang senantiasa berzikir/
dan berselawat.// Mereka menganggapku menyembunyikan tentara langit/ di
hutan-hutan yang diberkati Allah. Mereka tak tahu aku/ hanya lelaki kerempeng
yang suka becermin”.
Puisi mengisahkan penolakan
Kartosoewirjo perihal penahbisannya sebagai “nabi” dengan “tentara langitnya”
oleh para pemujanya. Pembongkaran mitos sosok Kartosoewirjo adalah siasat
menempatkan kesejarahan Kartosoewirjo sebagai manusia biasa seutuhnya.
Penulisan puisi bereferensi
sejarah menegaskan hasrat Triyanto Triwikromo untuk terus-menerus melakukan
pencarian akan kesegaran estetika dalam setiap teksnya. Pada buku puisi
sebelumnya Pertempuran Rahasia (2010)
Triyanto menunjukkan kesuntukannya dalam mengolah jagad wayang sebagai muatan
puisi-puisinya. Triyanto menjelmakan diri sebagai dalang bagi wayang yang
“hidup” dalam puisi-puisinya.
Kini, bagi Triyanto, sejarah
tak lagi dimaknai sebatas data dan fakta. Sejarah jadi lahan pemaknaan-ulang, dan
pemenuhan hasrat religiusitas. Inilah narasi sejarah yang malih rupa menjadi
narasi puitik. Himpunan puisi yang berpijak pada teks sejarah dan dokumentasi
foto namun kaya akan imajinasi dan tafsir ulang dari sosok yang selama ini
hanya dibentuk oleh negara. []
Dimuat Jawa Pos, 15 Februari 2015