Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
belum selesai dikisahkan dalam pelbagai
perspektif. Sekian buku pernah diterbitkan guna menjelaskan Pramoedya: karya,
sikap kepengarangan, pemikiran, pilihan politik, hingga urusan cinta dan
keluarga. Kritikus, sastrawan, akademisi, aktivis, dan publik merasa perlu
memberi penghormatan kepada Pramoedya atas kerja kesusastraan dan misi kemanusiaan
yang ia sampaikan dalam karyanya.
Penerbitan buku tentu berkepentingan
menampilkan Pramoedya dalam tafsir yang seterang-terangnya. Dalih ini bisa
dimengerti. Kita tahu semasa rezim Orde Baru hampir seluruh karya Pramoedya
bernasib apes lantaran dibredel, dibakar, dan dilarang untuk dibaca secara
bebas.
Ambisi mengisahkan Pramoedya secara
blak-blakan kemudian ditempuh oleh adik keenamnya, Soesilo Toer. Perspektif
seorang adik tentu berpotensi memberi informasi tak biasa. Dua tahun silam Soesilo
menerbitkan buku Pram dari Dalam (2013)
yang menampilkan Pramoedya dalam fragmen kenangan masa kecil, kisah cinta, serta
nasib perkawinannya yang sempat berantakan.
Dalam buku terbarunya Pram dalam Kelambu (2015) Soesilo tak
lagi berkutat pada romantisme bersama sang kakak. Soesilo mencoba menyuguhkan
penilaian dan hasil pemikirannya atas kepengarangan Pramoedya. Soesilo merasa publik
belum sepenuhnya menemui titik terang atas tafsir karya, ketokohan, dan
kepercayaan kakaknya.
Seperti ada “kabut tebal” yang
terus meliputi Pramoedya. Dari pengamatannya, Soesilo menganggap ada tiga
penyebab kenapa Pramoedya belum “terbaca” secara tuntas. Pertama, “secara keseluruhan masih sukar atau bahkan tidak mungkin
mengakumulasi semua karya Pramoedya, sejak dia menulis sampai sepak terjangnya
dalam dunia sastra dalam dewasa ini” (hlm.3).
Kita tentu sudah lama mengerti
perihal karya-karya Pramoedya yang dirampas dan dibakar pasca-geger 1965. Roman
Gadis Pantai, misalnya, hanya satu yang
berhasil diselamatkan dari tiga jilid yang sudah diselesaikan oleh Pramoedya.
Selebihnya, konon, lenyap di tangan Angkatan Darat. Pelacakan seluruh karya
Pramoedya untuk kemudian dilakukan apresiasi dan pengkajian alhasil mustahil
dikerjakan.
Selain itu, Soesilo menganggap
banyak kritikus sastra tak kuasa mengajukan penilaian secara objektif dan
mendalam. “Prof. Teeuw yang telah begitu lama mempelajari karya-karya Pramoedya
dalam tulisannya pun telah terjerumus ke dalam sifat subjektif seorang
kritikus, yang disebabkan oleh rasa simpati dan rasa kagum” (ibid). Keampuhan mata kritik Teeuw
terbius oleh kekaguman atas sosok Pramoedya secara pribadi ketimbang
mengutamakan objektifitas.
Bahrum Rangkuti yang menulis
tentang Pramoedya justru dianggap terlalu “tergesa-gesa”. Ia menyimpulkan
kepercayaan dan teisme Pramoedya hanya dengan menafsirkan serpihan kecil dari
salah satu bukunya. Sedangkan Prof. Koh Yung Hun dari Korea hanya melacak
pemikiran Pramoedya lewat kajian beberapa novel Pramoedya saja: tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, Arok Dedes,
dan Gadis Pantai. Dengan demikian,
penilaian dan kajian atas karya Pramoedya secara detail dan menyeluruh ibarat
jauh api dari ranting kering.
Ikhtiar mengkaji karya Pramoedya
tentu berkepentingan menangkis stigma yang dituduhkan rezim Orde Baru kepada
Pramoedya tentang Marxisme yang tersembunyi dalam novelnya. Meskipun, sejatinya,
ideologi apapun yang terkandung dalam karya sastra adalah sepenuhnya hak
pengarang. Sastrawan sepatutnya diberi kebebasan untuk menentukan ke mana arah
karyanya akan berbicara.
Pengisahan Pramoedya dari
perspektif seorang adik tentu saja memiliki karakteristik berbeda. Soesilo
mengalami hidup dan tumbuh bersama Pramoedya. Hasilnya, Soesilo menghadirkan
penilaian atas Pramoedya disertai sisipan-sisipan cerita dan kenangannya
bersama sang kakak, meski hal tersebut sudah dikupas habis di buku sebelumnya.
Penggarapan tema secara semi
ilmiah, kemudian diramu dengan petilan pengalaman, serta gaya bercerita yang
“meluber”, tak pelak memunculkan cita rasa tulisan seperti halnya ketika kita
sedang mengadakan obrolan dengan Soesilo. Kita bakal menganggap buku ini memang
tak dipersiapkan sebagai sebuah karya yang masuk dalam jajaran kategori ilmiah.
Maka tak sepatutnya Soesilo
berulangkali menuliskan “tulisan ini bukan merupakan tulisan ilmiah…” di dalam
teks-teksnya. Hal tersebut justru akan memunculkan kesan ada “keragu-raguan”
pada teks-teks Soesilo dalam mengisahkan Pramoedya. Penilaian atas buku sesungguhnya
mutlak ada di tangan pembaca.
Bila kita jeli, meski baru
pertama kali diterbitkan, teks dalam buku ini kentara ditulis bertahun-tahun
silam, tepatnya sebelum Pramoedya wafat. Ibaratnya, barang baru stok lama, meskipun
tetap ada penambahan referensi kontemporer. Hal ini tentu bukan perkara baru dalam
dunia perbukuan seandainya tercantum penjelasan, minimal, di pengantar buku.
Terlepas dari urusan teknis
tersebut, kesaksian dan penilaian yang diajukan Soesilo adalah ikhtiar
menempatkan Pramoedya secara lebih terang dan jelas. Petilan pengalaman yang
mengisahkan kenangan bersama sang kakak jadi siasat untuk memandang Pramoedya
sebagai seutuhnya manusia. Karena, sekali lagi, cara sterbaik menilai Pramoedya
adalah dengan menghadirkan kajian secara tuntas atas seluruh karya-karyanya. Agar
tarhindar dari kabut pemahaman. Agar Pramoedya tak lagi tertutup kelambu…. []
Dimuat Koran Tempo, 22 Maret 2015