“Ia tetap tak menjawab
pertanyaanku, tetapi sebaliknya… Ia menangis! Ia tersedu-sedu dan menutup
mukanya beberapa waktu lamanya. Aku biarkan ia melepas perasaannya. Dan ketika
akhirnya tangisnya reda, ia mengusap air mata yang bercucuran di pipinya,”
tulis Soesilo Toer, mengutip catatan harian Koesalah Soebagjo Toer yang belum
sempat terpublikasi dalam bukunya terdahulu.
Begitulah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006).
Bertahun-tahun lamanya mengalami apes di penjara tak membuat ia berairmata.
Tetapi, sesaat setelah membaca surat dari salah seorang adiknya, benteng pertahanan
Pramoedya pun runtuh. Surat berisi usulan agar rumah warisan orangtua di Blora
dijual. Ingatan dan kenangan atas rumah itu pun seketika muncul. Bagai layar
yang tiba-tiba terkembang namun sedetik kemudian menurun dan jatuh.
Rumah di Blora telah mengisi
celah-celah penting dalam hidup Pramoedya. Di sana ia dilahirkan, dan di sana
pula kelak ia berencana “menghabiskan masa tua sembari menulis dan bekerja.” Pramoedya
ingin menjadikan rumah tersebut sebagai museum, bermaksud “mengenang jasa-jasa
dan juga mengabadikan nama bapak”. Meski penjualan rumah urung dilakukan, kekecewaan
Pramoedya pada salah seorang adiknya tetap tak terpadamkan.
Bagi Pramoedya, rumah adalah mata
sejarah. Rumah mengisahkan peran dan ketokohan Mastoer, sang ayah, sebagai kepala
keluarga maupun tokoh pergerakan di Blora. Mastoer seorang aktifis pergerakan
Boedi Oetomo. Kepada Pramoedya, juga anak-anaknya yang lain, Mastoer adalah
pendidik yang keras dan tegas.
Kenangan Pramoedya bersama ayah
dan rumah terimajinasikan secara komplit dalam novel Bukan Pasar Malam (2010). Lewat novel ini, pembaca bisa menangkap
pemaknaan rumah dari perspektif Pramoedya. ”Apabila rumah rusak, yang
menempatinya pun rusak,” tulisnya. Rumah adalah representasi para penghuni.
Rumah tak bisa dianggap urusan sepele.
Dari rumah itu, telah lahir sosok
penulis dan intelektual hasil didikan Mastoer. Ernst Ulrich Kratz dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam
Majalah: Drama, Prosa, Puisi mencantumkan nama Pramoedya Ananta Toer,
Koesalah Soebagio Toer, Soesilo Toer, dan Waloejadi Toer, pernah mengisi lembar
majalah sastra di Indonesia. Toer bersaudara tampil dengan sekian tulisan
prosa.
Pramoedya tampil lebih awal
sebagai pengarang kondang pengibar bendera realisme sosialis. Koesalah, kita
kenal sebagai penerjemah buku-buku ampuh macam Anna Karenina dan Kebangkitan
karya Leo Tolstoi, serta Pengakuan
karya Anton Chekov. Dan Soesilo, beberapa tahun terakhir ini, getol menerbitkan
ulasan-ulasan terkait Pramoedya meski semasa muda pernah menerbitkan sekian
cerita pendek. Sedangkan Walujadi “gugur” melanjutkan etos menulis sebab tak
kuasa mengalami didikan keras Pramoedya.
Soesilo melanjutkan kisahannya
perihal Pramoedya di rumah tumpangan di kampung Kebon Jahe Kober. Rumah sempit
dan kumuh tetapi dipaksa menampung sekian kepala. Kala itu, Pramoedya jengkel
dengan ketiadaan sumber air bersih di kampung. Ulah sebagian warga yang tak
acuh terhadap kebersihan kampung semakin membuatnya geram.
Pramoedya pun mengirim tulisan ke
sebuah majalah di Jakarta sebagai kritik dan protes. Protes itu ternyata berbuah
petaka. ”Mereka (warga kampung) berpuluh kali melempari rumah Pramoedya dengan
batu yang cukup untuk memecahkan genting plentong”
(hal.69). Warga menganggap tulisan Pramoedya justru telah membuka aib kampung.
Begitulah serpihan kenangan dan
pengalaman Soesilo bersama Pramoedya tersaji apik dalam buku Pram dalam Bubu (2015). Apa itu bubu? Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976)
susunan W.J.S Poerwadarminto menjelaskan kata “bubu” berarti “alat untuk menangkap
ikan yang dipasang di dalam air”, dan terbuat dari bambu.
Penggunaan metafor “bubu” tentu
terkait hal-hal yang “memerangkap” Pramoedya, bisa keluarga, rumah, anak-anak,
lingkungan, atau mungkin ambisinya dalam menulis dan bekerja. Menulis, membaca,
membakar sampah, juga mengkliping, adalah dunia yang “memerangkap” Pramoedya
sehingga membuatnya sanggup menelurkan karya-karya besar.
Pelbagai informasi dalam seri
ketiga buku pengisahan Pramoedya ini, dari lima yang direncanakan, kian
menggenapi pemahaman kita atas Pramoedya. Namun, seperti kita tahu, tidak ada
buku sempurna sama seperti tidak ada ideologi sempurna. Di luar pengisahan
Pramoedya dan rumah, dan hal-hal yang “memerangkapnya”, menurut saya, buku ini
justru menampilkan sekian pengulangan informasi dari buku terbitan sebelumnya.
Kenangan berteman dengan Taufiq
Ismail; kegagalan anak-anak Pramoedya melanjutkan etos menulis; serta kehidupan
Pramoedya dan keluarganya, telah muncul di buku sebelumnya tapi masih saja ditampilkan
(entah sengaja atau tidak) di buku ini. Puncaknya adalah pengikutsertaan tulisan
Benee Santoso (putra Soesilo Toer) berjudul Dari
Estadio ke Bojong Gede. Tulisan sepanjang 56 halaman ini berkisah tentang
perjalanan Benee di Jakarta, dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Meski
sesekali menyinggung karya Pramoedya, bagi saya sebatas tempelan saja. Ada
baiknya tulisan tersebut dibukukan tersendiri.
Pertaruhannya kemudian adalah
pada dua buku lanjutan yang direncanakan akan segera terbit. Apabila pelbagai
kekurangan di atas kembali terjadi di buku berikutnya, risikonya, tentu saja
pembaca bakal menganggap seri buku ini tak lebih sekadar proyek ambisius dari
Soesilo, tanpa ada kemauan untuk mempersiapkannya secara matang dan serius. []
Dimuat Jawa Pos, 28 Juni 2015