Sabtu, 27 Juni 2015

Rumah dalam Pengisahan Hidup Pramoedya



“Ia tetap tak menjawab pertanyaanku, tetapi sebaliknya… Ia menangis! Ia tersedu-sedu dan menutup mukanya beberapa waktu lamanya. Aku biarkan ia melepas perasaannya. Dan ketika akhirnya tangisnya reda, ia mengusap air mata yang bercucuran di pipinya,” tulis Soesilo Toer, mengutip catatan harian Koesalah Soebagjo Toer yang belum sempat terpublikasi dalam bukunya terdahulu.
Begitulah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Bertahun-tahun lamanya mengalami apes di penjara tak membuat ia berairmata. Tetapi, sesaat setelah membaca surat dari salah seorang adiknya, benteng pertahanan Pramoedya pun runtuh. Surat berisi usulan agar rumah warisan orangtua di Blora dijual. Ingatan dan kenangan atas rumah itu pun seketika muncul. Bagai layar yang tiba-tiba terkembang namun sedetik kemudian menurun dan jatuh.
Rumah di Blora telah mengisi celah-celah penting dalam hidup Pramoedya. Di sana ia dilahirkan, dan di sana pula kelak ia berencana “menghabiskan masa tua sembari menulis dan bekerja.” Pramoedya ingin menjadikan rumah tersebut sebagai museum, bermaksud “mengenang jasa-jasa dan juga mengabadikan nama bapak”. Meski penjualan rumah urung dilakukan, kekecewaan Pramoedya pada salah seorang adiknya tetap tak terpadamkan.
Bagi Pramoedya, rumah adalah mata sejarah. Rumah mengisahkan peran dan ketokohan Mastoer, sang ayah, sebagai kepala keluarga maupun tokoh pergerakan di Blora. Mastoer seorang aktifis pergerakan Boedi Oetomo. Kepada Pramoedya, juga anak-anaknya yang lain, Mastoer adalah pendidik yang keras dan tegas.
Kenangan Pramoedya bersama ayah dan rumah terimajinasikan secara komplit dalam novel Bukan Pasar Malam (2010). Lewat novel ini, pembaca bisa menangkap pemaknaan rumah dari perspektif Pramoedya. ”Apabila rumah rusak, yang menempatinya pun rusak,” tulisnya. Rumah adalah representasi para penghuni. Rumah tak bisa dianggap urusan sepele.
Dari rumah itu, telah lahir sosok penulis dan intelektual hasil didikan Mastoer. Ernst Ulrich Kratz dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi mencantumkan nama Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagio Toer, Soesilo Toer, dan Waloejadi Toer, pernah mengisi lembar majalah sastra di Indonesia. Toer bersaudara tampil dengan sekian tulisan prosa.
Pramoedya tampil lebih awal sebagai pengarang kondang pengibar bendera realisme sosialis. Koesalah, kita kenal sebagai penerjemah buku-buku ampuh macam Anna Karenina dan Kebangkitan karya Leo Tolstoi, serta Pengakuan karya Anton Chekov. Dan Soesilo, beberapa tahun terakhir ini, getol menerbitkan ulasan-ulasan terkait Pramoedya meski semasa muda pernah menerbitkan sekian cerita pendek. Sedangkan Walujadi “gugur” melanjutkan etos menulis sebab tak kuasa mengalami didikan keras Pramoedya.
Soesilo melanjutkan kisahannya perihal Pramoedya di rumah tumpangan di kampung Kebon Jahe Kober. Rumah sempit dan kumuh tetapi dipaksa menampung sekian kepala. Kala itu, Pramoedya jengkel dengan ketiadaan sumber air bersih di kampung. Ulah sebagian warga yang tak acuh terhadap kebersihan kampung semakin membuatnya geram.
Pramoedya pun mengirim tulisan ke sebuah majalah di Jakarta sebagai kritik dan protes. Protes itu ternyata berbuah petaka. ”Mereka (warga kampung) berpuluh kali melempari rumah Pramoedya dengan batu yang cukup untuk memecahkan genting plentong” (hal.69). Warga menganggap tulisan Pramoedya justru telah membuka aib kampung.
Begitulah serpihan kenangan dan pengalaman Soesilo bersama Pramoedya tersaji apik dalam buku Pram dalam Bubu (2015). Apa itu bubu? Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S Poerwadarminto menjelaskan kata “bubu” berarti “alat untuk menangkap ikan yang dipasang di dalam air”, dan terbuat dari bambu.
Penggunaan metafor “bubu” tentu terkait hal-hal yang “memerangkap” Pramoedya, bisa keluarga, rumah, anak-anak, lingkungan, atau mungkin ambisinya dalam menulis dan bekerja. Menulis, membaca, membakar sampah, juga mengkliping, adalah dunia yang “memerangkap” Pramoedya sehingga membuatnya sanggup menelurkan karya-karya besar.
Pelbagai informasi dalam seri ketiga buku pengisahan Pramoedya ini, dari lima yang direncanakan, kian menggenapi pemahaman kita atas Pramoedya. Namun, seperti kita tahu, tidak ada buku sempurna sama seperti tidak ada ideologi sempurna. Di luar pengisahan Pramoedya dan rumah, dan hal-hal yang “memerangkapnya”, menurut saya, buku ini justru menampilkan sekian pengulangan informasi dari buku terbitan sebelumnya.  
Kenangan berteman dengan Taufiq Ismail; kegagalan anak-anak Pramoedya melanjutkan etos menulis; serta kehidupan Pramoedya dan keluarganya, telah muncul di buku sebelumnya tapi masih saja ditampilkan (entah sengaja atau tidak) di buku ini. Puncaknya adalah pengikutsertaan tulisan Benee Santoso (putra Soesilo Toer) berjudul Dari Estadio ke Bojong Gede. Tulisan sepanjang 56 halaman ini berkisah tentang perjalanan Benee di Jakarta, dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Meski sesekali menyinggung karya Pramoedya, bagi saya sebatas tempelan saja. Ada baiknya tulisan tersebut dibukukan tersendiri.
Pertaruhannya kemudian adalah pada dua buku lanjutan yang direncanakan akan segera terbit. Apabila pelbagai kekurangan di atas kembali terjadi di buku berikutnya, risikonya, tentu saja pembaca bakal menganggap seri buku ini tak lebih sekadar proyek ambisius dari Soesilo, tanpa ada kemauan untuk mempersiapkannya secara matang dan serius. []

Dimuat Jawa Pos, 28 Juni 2015