Hasil pembacaan Arif Fitra Kurniawan atas buku USAI: Membaca dan
Menulis (Jagat Abjad, 2016) karya Widyanuari Eko Putra
“Buku-buku ditulis, hadir, mengada, menancapkan akar ontologisnya,
menunggu kita datang demi menghidupkan beribu-ribu kali keberadaan mereka”
---
Kutipan di atas
saya bikin sendiri, percayalah, kalian tak akan menemukan kembarannya, bahkan
ketika kalian susah payah mengetikkannya ke dalam mesin pencari semacam Yahoo
atau Google. Kalian cuma akan menemukan kutipan-kutipan lain, mungkin dari Stephen
King, atau dari Margareth Atwood atau dari Mario Vargas Llosa, atau William Faulkner
atau Jorge Luis Borges—atau, jika kau aras-arasen
dengan langgam bahasa Inggris, kau akan cukup puas mendapati kutipan dari
Mohammad Hatta atau Pramoedya Ananta Toer, dari Iwan Simatupang atau Kuntowijoyo,
yang keseluruhan dari mereka yang saya
sebut akan menyinggung-nyinggung tentang bagaimana kita mesti menyanjung buku
dan aktivitas membaca, atau bagaimana memperdalam ilmu laduni agar bisa menjadi
penulis yang nirmandek bahkan seandainya
tangan dan kakimu digerogoti kelumpuhan serta sepasang matamu dihabisi oleh
kebutaan.
Dengan membikin
kutipan di atas, sebenarnya saya sedang membuat pola melingkar, semacam rute alternatif saja agar merasa relaks, santai, mengaso sembari
melakukan beberapa peregangan otot, ancang-ancang terlebih dahulu sebelum memulai sebuah tulisan yang (agak) panjang.
Saya rasa, menulis panjang pastilah sama letih dan acap menegangkannya dengan perayaan lari maraton. Kami, baik penulis
maupun atlet lari, sama-sama butuh bekal dan persiapan matang guna menaklukkan
medan. Baiklah, sekarang setelah saya sudah benar-benar merasa siap mengetik
kelanjutan tulisan ini, kalian—kaum pembaca, dengan langkah kalem bisa mencari
tempat duduk, atau sandaran tepi jendela, kursi-kursi di tempat pemberhentian
bus, bahu pacar atau bisa leyeh-leyeh berbaring di matras kos-kosan sambil
membiarkan telinga direcoki lagu-lagu sentimentil yang menyeruak dari pelantang
alat pemutar musik.
/1/
Merasa sudah
cukup banyak memamah banyak buku lantas
menuliskan apa-apa yang ia lahap, esais
dan penulis resensi kita—Widyanuari Eko Putra, akhirnya memilih menerbitkan buku
pada medio Maret tahun 2016 ini. Sudah barang tentu, para calon pembaca tak
layak jika berharap dari buku ini cara bercocok tanam lidah buaya di atas selang hidroponik atau teknik mengembangbiakkan
cumi-cumi di air tawar, sebab buku milik penulis kita ini berisi ulasan-ulasan perihal apa dan bagaimana—dari beragam varian genre buku,
mulai buku puisi, kumpulan cerita pendek, novel, serta buku-buku berisi esai, dan apesnya, bagi para
pecinta tanaman dan binatang ternak, mereka patut sedih lantaran tak ada
satupun termaktub ulasan tentang buku-buku flora dan fauna atau agrobisnis.
Usai: Membaca dan menulis, bagi saya adalah
buku berisi kronik buku-buku. Kronik membaca. Kronik menulis. Dan pada akhirnya
menjadi kronik diskursus. Sebagai sebuah kronik, kita akan mendapatkan bermacam
pernak-pernik ensiklopedis: Buku yang
ditulis pengarang A tak lain adalah representasi kemurungan jaman kita;
Cerpen-cerpen penulis X apik, sarat
makna meski disembunyikan dalam semesta simbol dan patut dibaca jika seseorang
butuh pertimbangan absurd perkara keberadaan diri; atau—Apa yang akhirnya dapat
kita peras dari buku ZW ini, selain pertanyaan yang mesti kita
lembingkan jauh ke tanah lapang bernama
Kebudayaan?
Begitulah
beberapa kisaran premis dan pertanyaan
yang muncul di buku ini, selain tentunya, seri kuantitatif dari paparan diakronis yang mesti diulang untuk memberi rujukan sebagai
identifikasi buku. Penulis kita kadang akan berlaku seperti para aparat penegak
hukum yang mengetukkan palu agungnya
sembari membuat testimoni bahwa buku ini bagus dan wajib dibaca, atau buku
itu bagus namun masih ada cacat, atau
tak ada buku yang sempurna dan manusia paling terpuji dari segala jenis manusia
adalah menjadi seseorang yang mampu memaafkan akan kecacatan. Di luar itu, lewat kekuatan evokatif
bahasanya, kadang penulis kita mengajak calon pembaca lain untuk ikut sama-sama tergoda dengan isi buku, atau
paling tidak mempertimbangkan, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan sempalan,
apakah memang benar isi buku yang
dimadahkan oleh peresensi layak diamini,
atau justru dilepehkan.
Lantas, apa peran
seorang peresensi, esais, kolomnis buku bagi kita? Hermes-kah? Pendikte? Mesias? Calo
bacaan?
Saya jadi ingat, lantaran
tiga bulan ini, saya, entah karena memang tak kunjung menemukan ruang baca di
media-media Indonesia yang genah, dan khusus
mengulas buku, atau kemalasan saya saja untuk mencari akses dimana tempat
tersembunyi dari sekumpulan orang-orang yang benar-benar gandrung dengan buku,
setelah setahun ini saya kerap melangsirkan diri untuk bolak-balik menjadi pembaca Paris Review, pelan-pelan saya juga jadi
kepincut dan secara rutin mengunjungi halaman-halaman digital yang
disediakan koran The New York Times. Di sana,
ada kolom yang terbit tiap akhir pekan. Nama kolom mingguan tersebut adalah
‘Bookends’. Atau jika disulingbahasakan secara nyentrik menjadi ‘Akhir Pekan
yang Buku’. Akan ada dua orang penulis, dari total belasan kolomnis yang memang
sudah didapuk oleh empunya koran untuk silih berganti membahas secara tematik
perihal buku. Buku. Buku. Buku. Lama-kelamaan saya jadi ikut hapal dan akrab dengan
tulisan-tulisan milik Siddharta Deb, Zoe
Heller, Dana Steven, James Parker, Pankaj
Misra, atau Benjamin Moser— sebagian para kolomnis di ‘Bookends’.
Saya hendak menalikan lebih lanjut tulisan ini, dengan
sebuah diskusi tertulis antara James Parker dan Anna Holmes yang
pernah terbit di koran tersebut. Mereka berdua kelewat semangat dan blak-blakan, saling mempertanyakan,
menggunjingkan, sesungguhnya lebih baik dimasukkan ke dalam keranjang manakah, para
esais, kolomnis, dan peresensi buku. Apakah posisi mereka cuma mampu mengapung sebobot
dengan para buruh yang bergerak di
bidang pelayanan masyarakat, pekerja di lembaga-lembaga dinas sosial, ataukah layak dinaikkan
derajatnya menjadi kreator karya seni?
Tentu, saya tak
akan membawa serta sepaket keruwetan cara berpikir mereka dalam melakukan upaya-upaya terminologis tentang esais buku, tentang
peresensi, atau kolomnis secara hisroris maupun tesaurusnya. Saya justru ingin langsung membawa gunting
pemotong rumput guna memangkas, lantas merogoh dari kantong dan menawarkan afirmasi,
jika kaum peresensi ingin menaikkan derajatnya agar tidak lagi sekadar dengan
pekerja sosial, maka unsur-unsur sebagai penanda yang menuntut dan yang ada dalam estetika penulisan mesti mereka
rengkuh. Jadilah, membalikkan permukaan sisi resensi yang acap bersinonim dengan bantuan
kerja kreatif yang datar juga keseragaman sebagai acuan agar semua yang dilayani
mendapatkan fitur-fitur kemudahan tentunya tidak cuma upaya dalam batas meredifinisi
identitas. Pekerjaan raksasa tersebut
pada akhirnya membutuhkan semangat-semangat yang dimiliki para martir, konsekuensi
untuk meminjam kesejatian berpikir yang
pernah bermukim di batok-batok kepala segelintir pejuang
avant-garde kesusastraan.
Setelahnya, lagi-lagi
kita akan diseret ke arah pemahaman, bahwa
tanpa laku yang keras kepala untuk terus membobok dan menggrowongi beton-beton tebal, tabir-tabir pekat dari
kabut yang diciptakan oleh kemalasan, kesesat pikiran, kediletantisme-an, juga jouissance
palsu hasil rakitan para pelaku sastra bermental
menyek-menyek dan semenjana, semua itu akan jadi pamlet-pamlet utopis belaka.
Yang gambarnya megah dalam besutan warna
merah menyala namun kita cuma bisa memandangnya dari seberang
pulau nun jauh.
Penulis kita, Widyanuari, tentunya juga
memiliki semangat nggetih untuk
menaikkan martabat resensinya, semangat untuk membebaskan tulisan-tulisannya dari stereotip dibundel bersama-sama dengan katalog-katalog
di toko yang menyediakan mesin dinamo dan perkakas pertukangan. Simaklah tulisannya, dan kita akan menemukan
ruh pemberontakan tersebut. Lantas, sebagai pembaca yang, paling tidak semestinya juga kecipratan semangat avant-garde-nya, akankah kita sekadar menjadi pembaca bebal yang
leha-leha, yang tidak memiliki hasrat untuk menimbang, menguji, mempertanyakan,
seberapa jauh dan seberapa terang semangat tersebut terepresentasikan melalui teks-teks di buku USAI ini? Celaka
dan terkutuklah jika itu yang kita pilih.
/2/
Penulis kita,
Widyanuari, menuliskan esai dan resensi
atas rupa-rupa puisi dari buku puisi, rupa-rupa cerita pendek dari
kumpulan cerita pendek, novel dan juga beberapa buku esai. Dari puisi-puisi Triyanto Triwikromo, (mantan) presiden
SBY, Radhar Panca Dahana, Gola Gong, Rendra,
hingga Wiji Thukul. Dari prosa relijius milik Helvi Tiana Rosa, Eka
Kurniawan, cerpen-cerpen Rio Johan,
Ryunnusuke Akutagawa, sampai novel Dorothea Rosa Herliany. Ia ulas pula
esai-esai budaya populer dari
Ariel Heryanto, sejumlah kajian sastra anggitan Harjito, cerita-cerita dibalik
kartu pos dari O. J Raap, Pramoedya
Ananta Toer, sampai Hisanori Kato yang
mencoba memberikan alternatif kisahan tentang Islam di Indonesia.
Ada baiknya kita
memberikan pujian terlebih dahulu, atas bacaan penulis kita yang bervariatif,
dan dari ulasan-ulasannya, kita tahu, bagaimana semestinya mempertanggung
jawabkan apa-apa yang sudah kita
baca. Setelahnya, kita mari tempatkan, teks-teksnya sebagai sesuatu yang
terpisah dari pembacaan, bahwa yang
sekarang kita hadapi adalah
produk teks dari sebuah seni menulis, seni menciptakan.
Apa yang membuat
segala sesuatu menjadi membosankan? Salah satu piranti penyusun dari kebosanan
adalah kemonotonan. Kau bisa mempraktekkan cara-cara mekanis untuk
membuktikannya, dengan misalnya, membuka dan menutup pintu atau daun jendela atau tutup panci tiap dua menit sekali dengan gerakan lengan yang sama terus menerus sehari penuh, dan kau akan muntah-muntah sesudahnya. Saya
yakin, garis kausal antara kebosanan dan kemonotonan itu juga akan berlaku di area teks. Saya mulai bertanya-tanya, kemonotonan yang
saya dapati di buku ini jangan-jangan, atau bisa jadi, adalah sisi bopeng dari ketidakberdayaan penulis kita dalam meluaskan
jangkauan pengetahuannya, penempatan definisi dalam teks yang tak tepat akibat
surplusnya makna, atau—semoga ini tidak, sebuah laku pabrikasi teks yang timbul
dari kurangnya ‘waktu senggang’*.
Ada beberapa hal
yang mesti saya uraikan, salah satunya adalah kesembronoan penulis kita dalam
menempatkan terma yang bersifat polidefinisi. Kita mulai saja dari, siapa yang
bisa memberikan tafsir yang benar-benar tunggal atas terma seperti
Kebudayaan? Siapa yang bisa menegakkan secara lurus makna Posmodern?
Pertanyaan semacam itu juga akan kita tambahkan pada terma Kemanusiaan, Licensia Poetica, Peradaban, Imajinasi,
Komunikasi, dan banyak lagi deretan objek realitas yang memang justru akan bias jika kita
menggeretnya ke dalam pemaknaan tunggal.
Dari titik itulah
kritik sebagai pembaca saya lesakkan. Bagaimana penulis kita menuliskan:
(-) Sebuah puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi,
daya intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair. (hlm 9: Dan
Puisi Mengekalkan Ingatan...)
(-) Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai
dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi
semata. (hlm 16: Jalan Lain Menebar Optimisme)
(-) Mata pisau seorang penyair berkuasa membedah
narasi sejarah menjadi repihan tafsir dan penyulut imajinasi (hlm 17: Kala Penyair Menafsir Kartosoewirjo)
(-) Kopi jadi santapan
penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreativitas penciptaan
puisi. (hlm 20: Membela Petani Kopi Lewat
Puisi)
(-) Radhar mengimajinasikan
anggota dewan sebagai manusia beretos “kurakura”: bercangkang keras sekaligus
lambat dalam bergerak. (hlm 29: Puisi
Menarasikan Politik)
(-) Keberanian mengeksplorasikan
gagasan dan imajinasi adalah pertaruhan besar bagi pengarang agar jamaah
pembaca tak bosan. (hlm 43: Eksperimen
Cerpen Meyakinkan Pembaca)
(-) Begitulah ciri khas karya Ryunosuke Akutagawa, sastrawan antik
dari Jepang. Penulis novel dan cerita pendek dengan kecenderungan imajinasi
kelam dan mencekam (hlm 48: Halusinasi Neraka Ala Ryunosuke)
(-) Helvy mengimajinasikan
“kenyataan” dalam cerpen-cerpennya dengan getir dan mengharukan tanpa
kehilangan ciri khas: keberpihakkan pada kemanusiaan (hlm 50: Imajinasi Kematian dan Pesan Kemanusiaan)
(-) Kita bisa membayangkan, dari toilet, imajinasi dan ide
berjejalan minta diperhatikan. (hlm 54: Kejujuran
dari Dinding Toilet)
(-) Sejarah diurai secara jeli, meski sebenarnya kedaulatan
imajinasi pengarang sepenuhnya berkuasa. Kecenderungan ini membuat pengarang
“seringkali membulatkan kisahnya dengan serba-kebetulan”. (hlm 60: Lebih Dalam dari Sekadar Pergundikan)
(-) Novel tak mesti berisi imajinasi
tinggi-tinggi. (hlm 64: Bersetia itu
Berisiko)
(-) Secara kekayaan data
dan referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi
perihal kondisi sosial-kultural masyarakat di Papua secara meyakinkan. (hlm 74:
Mengorek Luka Perempuan Papua)
(-) Imajinasi sosok Agnes
Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. (hlm 76: Menziarahi Terpidana Hukuman Mati)
(-) Kegenitan pengarang menciptakan adegan surealistis ini membuat
kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah, berdiam di antara
ingatan-ingatan pelik. (hlm 88: Tragedi,
Kemaluan, dan Wasiat Spiritual)
(-) Pertemuan itu telah
membentuk imajinasi Basoeki untuk melukis sosok Nyai Roro Kidul. (hlm
101: Jagat
Klenik Basoeki Abdullah)
(-) Karya sastra tak pernah jauh dari pengisahan manusia dan
sekitarnya. Lewat imajinasi
pengarang, manusia ditafsir dalam pelbagai perspektif. (hlm 115: Mengejek Indonesia secara Kritis)
(-) Setelah bertemu dengan pelbagai tokoh itu, imaji dan pemikiran Kato perihal Islam di Indonesia
kian bervariatif. (hlm 128: Orang Jepang Menafsir Islam di Indonesia)
(-) Kenangan Pramoedya bersama ayah dan rumah terimajinasikan
secara komplit dalam novel Bukan Pasar Malam (2010). ( hlm 131: Rumah dalam Pengisahan Hidup Pramoedya)
Barangkali saya
luput dalam mencatat keseluruhan termin ‘imajinasi’
yang begitu banyak sekali,
berulang-ulang diunggah dalam buku ini, yang pasti, dengan sajian data
tersebut, kita bisa urun rasa was-was, mencurigai, memperkirakan, mengapa
penulis bisa sebegitu mudahnya menarik garis dari banyak wacana yang muncul
dalam teks yang dibaca menjadi satu tonggak termin: imajinasi. Seolah-olah jika
kita mendapati teks puisi yang mengawang, subtil, maka tak ada jalan
lain selain menggiring identitas teksnya
ke kandang imajinasi, jika ada tokoh-tokoh dalam sebuah cerita pendek atau novel yang liar dan
penuh kejutan, maka kita cuma akan berdecak dan mengangguk-ngangguk, bahwa
tokoh-tokoh tersebut adalah produk imajinasi. Begitu juga sikap penulis kita
ketika menghadapi wacana yang, barangkali jauh dari teritori wacana fiksional, ia seolah membabi-buta
hendak mengalungkan ‘imajinasi’ ke dalam
ulasannya.
Sedikitnya
ada 150an varian definisi kebudayaan yang dikemukaan oleh para pemikir ilmu sosiologi
dan filsafat dan ilmu-ilmu eksakta. Ada
dua ratusan definisi untuk termin ‘komunikasi’ yang dikemukakan oleh
banyak pakar, dari pakar ilmu hitung sampai pakar dunia klenik. Dan, untuk
imajinasi sendiri, memang secara terminologi ia terwujud dari nalar dan
citraan, tapi sejauh ini, orang-orang tak mampu membikin definisi tunggal dari
imajinasi. Bahkan—lewat Josef Pieper
yang merangkum buah pikir dari para ahli filsafat, kita tahu, yang ada selama
ini cuma mentok menjadi tawaran
kemungkinan dalam mengurai imajinasi. Pertama,
imajinasi sebagai kemampuan dalam memproduksi kesan-kesan yang menghubungkan
kembali kombinasi-kombinasi baru yang terpisah dari peristiwa aktualnya dalam
realitas. Kedua, proses menghidupkan kembali persepsi sebagai gambar-gambar,
mengubah dan menyusunnya kembali ke pelbagai pola atau kesatuan yang baru.
Ketiga, kemampuan untuk mengidealisasikan atau untuk mengobjektivitasikan
pengalaman-pengalaman. Keempat, aktivitas menyusun gagasan (konsep, gambar,
mode) yang memberikan pemahaman tentang gejala-gejala yang menjelaskannya.
Intinya, jika
penulis kita ingin mengunggah menghubungkan
sebuah wacana dengan imajinasi, ia harus tahu persis, dan dengan kepresisian
milik seorang tukang las kapal tangker dalam mengguratkan, menempelkan definisi
yang dipilihnya secara tepat. Perkara ini sama riskannya ketika penulis kita, dan sepertinya memang perlu
kita telisik lebih jauh apakah motifnya, ketika mengunggah termin Kebudayaan.
Begitu juga ketika diskursus Kemanusiaan. Kemanusiaan semacam apa? Lelucon
sarkasnya, pastilah tidak ada yang tidak bisa ditarik ke arah ‘kemanusiaan’
apa-apa yang ditulis manusia, seperti halnya tidak ada yang tidak bisa ditarik
ke bagan imajinasi jika itu sudah berkaitan dengan nalar. Kau cuma akan
mendapatkan kesukaran menarik wacana dari apa yang kau baca ke arah perbincangan tentang ‘kemanusiaan dan kebudayaan’ ketika memang
ada sebuah buku berhasil ditulis oleh
seekor lutung atau ayam kate.
Gayam, Maret 2016.
(ditulis untuk kepentingan diskusi pada helatan bedah buku dan
‘ngangsu kawruh’, atas pembacaan buku USAI: Menulis dan Membaca karya Widyanuari
Eko Putra, di Progdi S2 Universitas PGRI- Semarang)
* Saya tertarik menggunakan
ulang frasa ‘waktu senggang’ yang digunakan Yunan Setiawan, seorang penulis
esai dan resensi yang aktif di Kelab Buku Semarang, pada teks resensinya atas buku USAI yang terbit
di Solopos pekan lalu. Kalimat utuhnya:
Membaca tak lagi sebagai mengisi waktu senggang,
namun sebagai bagian rutinitas hidup.
Dan resensi semacam kerja mengabadikan pengalaman membaca buku.
Saya tak hendak memperbincangkan, yang sebenarnya bisa saja perlu,
tentang blunder penulisan kata ‘mengisi’ yang seharusnya adalah ‘pengisi’, atau
jika Yunan ingin variasi dengan tetap menggunakan ‘mengisi’, ia harus
menempatkan kata ‘aktivitas untuk’ sebelum kata ‘mengisi’, dan meletakkan lema
‘menjadi’ di antara kata ‘lagi’ dan ‘sebagai’. Saya hendak mempersoalkan
keterburuannya menggunakan ‘waktu senggang’, dan menjadikannya sebagai bukti
kesalahkaprahannya memahami waktu senggang dengan menempatkannya sebagai
aktivitas yang negatif, yang tak memiliki guna apa-apa selain pengisi waktu
ketika menunggu, simbol dari keberleha-lehanan. Hal-hal seperti ini, mestinya
ditelisik ulang oleh Yunan, bahwa, sama seperti kita sudah latah ketika
menggunakan kata ‘nyinyir’, dan dengan begitu sudah membelokkan makna dari ‘nyinyir’
yang berarti “..perintah/nasehat yang diulang-ulang” menjadi salah pemaknaan
ketika kita secara massal membengkokkan artinya. Kasusnya jadi sama dengan
waktu senggang, bahwa sebenarnya, waktu senggang justru waktu di mana seluruh
pikiran jernih kita terfokus, jam-jam di mana contemplatio hadir. Waktu senggang didirikan di atas pondasi pembebasan
(liberation) dan (festify). Pembebasan
dari kungkungan target mekanik, perayaan atas subur dan mekarnya segala bentuk
imajinasi, buah pikir, gagasan. Bahkan seorang Thomas Aquinas mencetus:
kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang, dan kehilangan
kejedaan menyebabkan pengulkultusan terhadap kerja, karena kerja hanya
dipandang sebagai kerja semata. Sepertinya Yunan perlu sekali membaca catatan
kaki dalam tulisan ini.