Pada mulanya, dangdut itu
penghiburan. Mendatangi panggung musik dangdut berarti berharap menikmati suara
merdu dan goyangan menggoda dari sang biduan. Menonton musik dangdut, sembari
ikut berjoget bersama penonton lain, dianggap sebagai cara ampuh melepas penat.
Alunan musik dangdut yang ringan dan mudah diingat membuat dangdut kerap
digemari masyarakat dari pelbagai lapisan. Kita terbiasa menyebut dangdut
sebagai musik rakyat.
Panggung musik dangdut memang tak
pernah sepi dari penonton. Dangdut juga tak mesti digelar di lapangan besar
saat pasar malam berlangsung. Orang-orang biasa menyewa kelompok orkes dangdut
untuk tampil di acara hajatan, resepsi pernikahan, hingga di kelab hiburan
malam. Di era kekinian, orang cukup datang ke bilik penyewaan karaoke, yang
kini jamak bertebaran di kota besar maupun daerah pinggiran. Di desa-desa, orang
biasa memanfaatkan musik dangdut dengan cara menyetel keras-keras sebagai tanda
suatu hajatan sudah di mulai.
Ketenaran dangdut sebagai musik
rakyat inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai siasat menjaring perhatian.
Kita biasa melihat gempita pentas dangdut menjelang pemilihan umum. Para politisi
memanfaatkan pikat musik dangdut demi meraih dukungan massa. Pentas dangdut
disertai penampilan artis biduan dihadirkan sebagai pembuka sebelum kandidat
politik berkampanye dan berpidato. Kita pun bingung melihat ulah penonton:
mereka datang untuk terlibat politik atau sekadar tergoda pada pukau biduan
cantik dan alunan musik dangdut?
Pada suatu masa, Indonesia pernah
mengisahkan narasi politiknya lewat musik dangdut. Petinggi partai politik
merasa perlu mengaku sebagi penggila dangdut agar setiap kedatangannya di
panggung kampanye diminati banyak orang. Raja Dangdut Rhoma Irama jadi sorotan
publik di era Orde Baru.
Rhoma adalah pendakwah sekaligus juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejak 1973, Rhoma dan grup
Soneta bentukannya
menebar pukau dakwah lewat nyanyian dangdut. Dakwah lewat dangdut tentu lebih
diminati orang Indonesia ketimbang ceramah. Lagu ciptaan Rhoma memang berisi
ajakan dan pesan-pesan islami. Lagu-lagu macam Judi, Mirasantika, Darah Muda, mengingatkan kita agar terjauh
dari laku kurang beradab. Berdakwah
jadi amalan agama, dan kampanye jadi ikhtiar meniti garis politik dan kekuasaan.
Foto: www.suluttoday.com |
Rhoma berkeputusan menjaga khitah
dangdut dalam relnya dakwah dan kebersahajaan. Ia bahkan tak segan memberi seruan dan kritik atas
ulah Inul Daratista saat itu mencoba meracik dangdut dengan goyang “ngebor”
andalannya. Bagi Rhoma, goyang itu dianggap mencederai sakralitas dangdut.
Dangdut itu transportasi dakwah, tak pantas diriasi goyang erotis. Di televisi,
Inul menangis tersedu meminta maaf pada “Bang Haji”. Nama besar sang Raja
Dangdut tentu jadi alasan kenapa Inul tak berani mengajukan konfrontasi. Inul
kalah meski tak sedikit pula yang membela.
Zaman terus bergerak, kiprah
dangdut perlahan menjauh dari lintasan politik. Para politisi tak lagi berambisi
menggelar pentas dangdut dalam lawatan kampanyenya. Tahun 2009 silam, Susilo
Bambang Yudhoyono memilih menggandeng grup band Andra And The Backbones, The
Changcuters, dan Ungu. SBY memilih menyenandungkan lagu ciptaan sendiri, di
antaranya Berjuang untuk Rakyat (Wisnu Nugroho, 2010). Begitupun kemenangan
Joko Widodo pada pemilu 2014 silam, yang disokong langsung oleh band rock Slank
dan penyanyi rap JFlow. Di media, Jokowi nyaris tak pernah tercitrakan dekat
dengan musik dangdut.
Kini, kita justru disuguhi dangdut
dengan beragam wajahnya yang kian majal. Dangdut ibarat Indonesia koplo,
menadakan kisah-kisah nakal dan banal. Penciptaan lagu dangdut seolah tak memerlukan
bidikan pesan dan misi kebersahajaan. Lantunan musik dangdut kontemporer melulu mengumbar umpatan, kisah
perselingkuhan, romantika cinta picisan. Sindiran bermetafor binatang bertebaran
menghiasi judul-judul lagu dangdut: Keong
Racun, Tokek Belang, Buaya Buntung, Wedus….
Beberapa
waktu silam, dangdut
menyita perhatian kita berkat penampilan baru Rhoma Irama bersama Partai Islam,
Damai, Aman (Idaman) bikinannya. Di Tugu Proklamasi, Rhoma menyanyikan visi dan
misi partai dalam senandung lagu dangdut. Kelima lagu itu adalah Kita adalah Satu, Bersatulah, Reformasi, Indonesia, dan Pembaharuan. Melalui dangdut, Rhoma hendak berpolitik sekaligus
menampilkan Islam yang rahmatan lil
alamin serta mengamalkan Pancasila dalam segala lini kehidupan.
Lewat Partai Idaman, dangdut
benar-benar diseret ke ranah politik: berlaku sebagai organ vital di dalam
mesin partai. Rhoma memang orang lama dalam panggung politik Indonesia meski
kerap dicap sebagai penghibur saat kampanye. Politik menjauhkan dangdut sebagai
ajang penghiburan dan joged. “Jangan berjoget karena ini penyampaian visi-misi,”
ucap Rhoma di atas panggung (Suara Merdeka,
15 Oktober
2015). Pergeseran
citra dangdut terus terjadi, dari waktu ke waktu. Dangdut tak lagi
bergoyang, malah berpolitik.[]
Dimuat koran Wawasan, 27 Oktober 2015