Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) seolah hendak menahbiskan diri sebagai presiden tak
biasa. Jika kebanyakan politisi di republik ini menutup masa jabatan dengan
jeratan kasus korupsi, SBY justru memberi persembahan sebuah buku kumpulan
puisi.
Presiden berpuisi
tentu bukan sebuah kreasi biasa. Buku berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) seolah-olah jadi rekaman
pergulatan batin dan pemikiran SBY. Di sela kesibukan dan mobilitas yang tinggi
sebagai presiden, SBY masih meluangkan waktu berpuisi. Kita pun membayangkan
SBY menulis puisi di pesawat, di mobil, di tempat kunjungan, atau di Istana
Negara.
Puisi bagi SBY jadi
jalan menapaki pikiran-pikiran tak tersampaikan. Tuntutan presiden mengharuskan
mentalitas SBY jadi manusia tegar dalam menghadapi serangan kritik dan hinaan.
Presiden kerap jadi sasaran amarah dan hujatan kala rakyat sedang tertimpa
bencana, himpitan ekonomi, serta kisruh politik. Lewat puisi SBY berkisah,
melepas segala kesah. Namun tak sedikit pula puisi-puisi SBY memberi seruan dan
ajakan tentang perdamaian, cinta, kasih, dan optimisme.
Optimisme
Jika
dengan menulis sekian puisi sseorang layak disebut penyair, maka SBY adalah
penyair optimis. Sajak-sajaknya bersuara pelan namun tegas, memberi pesan-pesan
kekuatan dan kesabaran. SBY sadar posisinya sebagai presiden. Puisinya
menampilkan wejangan dan penguatan kepada pembaca, yang tentu saja, ia anggap
sebagai ‘rakyat’ yang mesti mendapat perhatian dan dukungan.
Puisi berjudul Demi Waktu mengagetkan kita perihal naluri
estetik SBY. Puisi ini cenderung bersuasana sendu, sunyi. Simaklah:”Bulan di
atas perahu/sendu//cemara di kaki gunung/termenung//…/Kutahu waktu menjanjikan
berkah/Kuburu, pantang menyerah/Apalagi pasrah” (hlm.14).
SBY seolah tak ingin
terjebak dalam sajak-sajak bernada pesimistis. Kesadaran sebagai pemimpin
panutan larut dan menyatu dalam sajak-sajaknya. Pun ketika bencana sedang
melanda Indonesia. SBY tak lupa merekam pelbagai kejadian ke dalam puisi.
SBY berdoa di dalam
puisi. Puisi Dalam Duka Kami
Bangkit mengajak pembaca ikut
merasakan kesedihan SBY sebagai manusia saat melihat negaranya tersapu bencana.
Simaklah: ”Tetapi, Ya Rabbana/ kami tak pernah menyerah/ dalam pasrah, dan
bukankah dalam musibah/ selalu ada berkah…” (hlm.25).
Pesan-pesan optimisme
memang bertebaran dalam kumpulam puisi ini. Dalam pengantarnya, Putu Wijaya
menilai “SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk
memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa
berjuang mengutuhkan kembali karakter yang retak”. Bait-bait puisi berisi
petuah presiden kepada rakyatnya.
Politis
Di sisi lain, kita
tak boleh lupa SBY adalah seorang politisi. Kiprah politik tentu merangsang
gesekan kepentingan dengan lawan politik. Sebagai politisi, SBY tak lepas dari
geliat kompetisi politik. Beberapa puisi menyiratkan sindiran-sindiran politis.
Sindiran dalam puisi tentu tak berisi ujaran sarkastik. Medium puisi ‘memaksa’
SBY menata secara teratur kata yang hendak dipakai sebagai representasi
pikirannya.
Kita mafhum, betapa
kritik dan serangan politik kadang terasa begitu menusuk. Sewajarnya pula jika
respons SBY dalam puisinya sarat akan satire. Kita bisa menera bagaimana
kecamuk suasana hati SBY pada tanggal 28 Juli 2008. Tiga puisi lahir dalam
sehari: berjudul Siapa Salah, Harus Menghujat, dan Populer, berisi satire politis
yang tajam. Simaklah puisi Harus
Menghujat:”Mereka menuding, keras, serempak/ “Mana tanggung jawabmu”/Mau
ngomong apa kamu?’//Aku mengambil corong/ Berdiri//Mereka pergi” (hlm.98). SBY
mengkritik sikap para lawan politik yang hanya mengkritik di belakang.
Begitu pula ketika
sederet demonstrasi terjadi di era pemerintahannya. SBY bagai tak kuasa menahan
getir di hati saat unjuk rasa berakhir bentrokan dan perusakan sarana umum.
Baginya, demokrasi tak boleh berujung pada aksi vandalisme. Dalam puisi
berjudul Taksi Jakarta,
SBY menulis:”Inikah demokrasi/ dan kebebasan yang tidak terbatas?/ Tidak
bisakah orang berunjuk rasa tanpa merusak?/ Adakah pula mereka yang beringas
itu juga korban/ dari tangan-tangan serakah… (hlm. 119)
Membaca puisi-puisi
SBY kita bakal dihadapkan pada peleburan kesadaran seorang presiden-politisi-manusia
biasa yang merasuk-menyatu dalam sajak. Meski tak bisa dielakkan, ada
sedemikian pencapaian estetik yang muncul dalam puisinya. Ketika SBY menulis
tentang kerinduan dan cinta (puisi “Kangen” dan “Pelabuhan Terakhir”), misalnya.
Puisi, bagi SBY, barangkali
tak didefinisikan sebagai karya seni semata. Puisi adalah penjelmaan sikap,
pemikiran, rekaman kesan-kesan saat kunjungan, serta ‘jalan lain’ menyuarakan
pesan selaku presiden, politisi, juga sebagai manusia tak berjabatan.
Cara terbaik menyambut
kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan
penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. Namun lebih sebagai
‘kenang-kenangan’ buah pikir SBY semasa menjabat presiden. Sependapat dengan
Gus Mus, “Petinggi negeri menulis saja sudah merupakan sesuatu yang langka…”.
Apalagi presiden. []
Dimuat di koran Jawa Pos, 21 September 2014