Kamis, 12 September 2013

Biografi Keberuntungan

Penulisan otobiografi oleh seorang yang berprofesi penulis memiliki kelebihan. Terutama dalam kemahirannya memainkan bahasa, serta kecenderungan untuk menyajikan “kebenaran” secara imbang. Ia tak pernah malu-malu bercerita perihal kekeliruan dan kesalahan. Memoar tidak lagi sebatas album kenangan. Buku Wartawan Jadi Pendeta (2013) karya Putu Setia menampilkan uraian kisah tanpa terpusat pada pengupasan cerita semata.

Kisah ini menggugah tanpa terjerat label “biografi inspiratif”. Dilahirkan dari keluarga berkecukupan namun terjungkal dalam kemiskinan. Berawal dari tabiat sang ayah yang gemar berjudi, beberapa hektar tanah sawah dan kebun kopi pun ludes digerogoti rentenir. Konon, kemiskinan itu disebabkan pula oleh karma buruk keluarga karena menolak kewajiban menjadi pemangku: pemimpin upacara ritual di sebuah pura. Penulis memang lahir dan tumbuh di sebuah dusun dengan ketaatan tinggi kepada adat dan agama Hindu. Penolakan itu pun berbuah “vonis” dari masyarakat: rezeki seret dan miskin (hlm.16).

Kemiskinan merenggut harapan menunaikan sekolah menengah atas hingga khatam. Penulis mengenang masa-masa mengharukan saat baju seragam sekolahnya dijual sang ibu demi membeli makanan. Putu kecil pasrah. Betapa malunya tak bisa makan di Hari Raya Galungan (hlm.144). Impian bersekolah kandas demi urusan perut keluarganya. Namun, kegagalan meneruskan sekolah tidak membuat semangat hidup penulis tamat.

Kehidupan jalan terus. Penulis memutuskan pergi ke kota, mengadu nasib tanpa ijasah. Ia nekad melamar pekerjaan. Bisa dibayangkan, meminang pekerjaan tanpa ijasah. Keberanian itu menuai hasil, penulis diterima bekerja sebagai tukang gambar di Perusahaan Listrik Negara (PLN) sembari rutin menulis cerita pendek untuk dikirim ke koran. Ketekunan menulis justru kian menguat. Ia keluar dari pekerjaan demi fokus menekuni kepenulisan: jadi wartawan dan cerpenis.

Sungguh keputusan yang tepat. Karir wartawan kian moncer. Dari harian Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara hingga akhirnya diterima di majalah Tempo, tidak satu pun urusan ijasah/karir pendidikan mengganjal perjalanan karir penulis. Diterima tanpa pertanyaan jenjang pendidikan. “Keajaiban apakah yang ada pada seorang Putu Setia dalam meniti karirnya sebagai wartawan, kok bisa tanpa melamar?” Ya, saya tak pernah melamar, karena memang takut melamar. Ditanya soal ini soal itu, terutama pendidikan, apa yang harus saya jawab?”(hlm. 283). Putus sekolah memberi beban psikologis berkepanjangan bagi penulis. Hidup diliputi keminderan. Ia kerap disergap cemas yang hebat ketika berhadapan dengan pertanyaan jenjang pendidikan.

Kala masa jabatan sebagai Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) berakhir setelah dua kali menjabat (1991-1995, 1995-1999), rasa gundah itu kembali menguasai pikirannya. “Tiba-tiba saya merasa sudah membohongi banyak orang, bagaimana mungkin orang “berpendidikan rendah” harus memimpin dan menggerakkan roda organisasi para intelektual? (hlm. 374). Meski penulis memahami, cendekiawan tidak diukur dari pendidikan formalnya. Belenggu “status pendidikan” terlanjur menancap di jiwa seorang Putu Setia.

Demikian pula saat berlangsung ritual penobatan pendeta. Pidato Ketua Parisada Dharma Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana saat penyambutan pendeta baru membuat penulis gamang tak karuan. Pidato panjang itu mengulas tentang maraknya pendeta yang lahir dari kalangan sarjana, S2, S3, hingga profesor. “Ingin rasanya saya mengambil mic yang dipakai berpidato itu, dan saya umumkan kepada hadirin bahwa pendeta yang lahir nanti adalah pendeta yang tak punya ijasah SMA , pendeta yang hanya lulusan SMP.” (hlm. 381).

Bagi Putu Setia, tekad menunaikan “utang” keluarga memang sudah begitu bulat. Karir sukses dan nasib baik diyakini buah dari kesediaan penulis menunaikan kewajiban keluarga sebagai pemangku. Tidak tanggung-tanggung, tidak hanya menjadi pemangku, penulis sekaligus hendak menjadi pendeta: gelar keagamaan tertinggi dalam umat Hindu!

Bagaimana mungkin seseorang yang tidak lulus sekolah menengah atas bisa menyandang gelar pendeta? Inilah pencapaian tertinggi dalam hidup Ida Pandita Mpu Jaya Prema (nama Putu Setia setelah dinobatkan jadi pendeta). Sebuah lakon panjang tentang keyakinan dan keberuntungan. Benar bila Goenawan Mohamad dalam pengantar menganggap buku ini merupakan sebuah ucapan rasa syukur dan sekaligus rasa berutang—dan penanggungan jawab mengapa itu perlu.


Kemampuan penulis dalam mendeskripsikan kisahnya tak perlu diragukan. Namun, bagi pembaca yang mengikuti tulisannya di koran, buku ini terasa jauh dari kesan eksentrik. Cita rasa humor memang masih bisa pembaca rasakan. Hanya saja, dalam merespons setiap momen-momen hidupnya, tidak ada taburan kata penuh kritik ataupun satire tajam yang biasa penulis ungkapkan dalam setiap tulisannya.  Buku ini hanya sebuah “penanggungan jawab” dan ungkapan kebersyukuran penulis atas hidup yang penuh keberuntungan. Lain, tidak.

Jumat, 06 September 2013

Englishman in New York karya Sting: Ihtiar Menjaga Budaya Asal

I’m an alien
I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York


(Englishman in New York, Sting)


Studi kebudayaan, tentulah tidak serta merta dilacak melalui produk kebudayaan yang ada. Namun, berbagai macam karya seni juga bisa dipelajari dan ditelaah. Karya seni merupakan hasil pemikiran manusia yang berasal dari budaya tertentu. Kongkritnya, hasil karya seni dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda, akan menghasilkan saripati yang berbeda pula. Karya seni menampilkan wajah kebudayaan dalam berbagai rupa dan nilai. Pendekatan melalui karya seni dalam mempelajari kebudayaan tertentu diharapkan mampu menguak estetika dan pesan yang terkandung.

Melalui sebuah lagu, kita dapat menelisik sejauh mana pesan dan makna sebuah lagu dalam membaca kebudayaan. Sebuah lagu berjudul Englishman in New York karya Sting, adalah potret cross cultural case yang bisa kita pelajari. Lagu ini disajikan secara unik—dibalut dengan irama Jazz yang kental, liukan saxophone menyayat ala blues—mengungkap sebuah problematika hidup atas dasar permasalahan budaya dalam lingkup manusia yang mengungkapkan minuman sebagai penanda (baca: identifikasi budaya tertentu).

 
Lagu ini bercerita tentang seorang lelaki berkewarganegaraan Inggris yang sedang berada di New York. Dengan pergulatan budaya yang ada, ia tetap percaya pada keakuannya: ia merasa seorang Inggris yang juga harus menjunjung tinggi keinggrisannya. Juga, sebagai lelaki dewasa, ia harus mampu menaklukan permasalahan terkait adaptasi dan kebudayaan.

Dibuka dengan: “I don’t drink coffee/I take tea my dear/I like my toast done on the side”, lagu ini berpotensi membawa ekspetasi akan pergulatan tokoh “aku lirik” dalam menyikapi permasalahan sepele: memilih minuman! Aku lirik memberi identifikasi lewat sebuah pilihan minuman: kopi dan teh. Pembaca dibawa pada suasana ringan namun mengandung pemaknaan eksistensialisme. Seseorang dengan perbedaan budaya dan rentang wilayah yang teramat jauh: Inggris dan Amerika.

Judul Englishman in New York seolah menjadi petunjuk mutlak. Pilihan atas minuman mampu jadi penanda budaya. Ya, seorang Inggris berada di kota New York, dan mencoba mempertahankan eksistensinya sebagai seorang Inggris. Hal tersebut diungkap dalam lirik pembuka. “Englishman” cenderung memilih minum teh ketimbang kopi. Teh menjadi pilihan seorang Inggris yang santai, dewasa. Berbeda dengan New York yang memilih kopi. Kopi seolah mengabsahkan New York sebagai kota yang tak tidur. Begitu pula dengan pilihannya pada kopi. Kopi menjadi teman bagi masyarakat New York. Kehidupan yang rutin dan terus menerus sekiranya menjadi alasannya memilih kopi.

Pada bait berikutnya:”Manners maketh man”, adalah pengakuan aku-lirik yang meyakini adanya kebiasaan yang membentuk kepribadian.
Aku-lirik memahami akan posisinya di negeri orang. Dan, ini pula yang membuatnya teguh dengan eksistensinya sebagai seorang Inggris. Pilihannya pada teh memberi kesan identifikasi kultural pada sosok seorang Inggris. ”Englishman” menyukai teh karena lebih bersifat santai.

Coba perhatikan bagian reffrain lagu ini: I’m an alien/ I’m a legal alien/ I’m an Englishman in New York. Aku lirik merasa benar-benar seperti seorang Alien. Ia benar-benar merasa asing dengan kondisi sekitar, layaknya Alien. Ya, Alien yang sah, mempunyai surat keterangan yang memadai (baca: legal). Keakuannya sebagai Englishman tetaplah dijaga. Dan, ketika lagu ini kita telaah secara keseluruhan tekstual, tampak sekali aku-lirik ingin berkata bahwa sebagai lelaki maupun perempuan, harus siap dengan pelbagai perbedaan budaya.

Pada akhirnya: pemahaman budaya liyan tanpa tercerabut akar kultural budaya sendiri. Dengan demikian, meski merasa bagai Aliaen Legal, ”Englishman” kukuh berdiri sebagai pribadi Inggris. Penghormatan atas budaya dan pribadi sekaligus. Manusia, sebaiknya, bisa melestarikan budaya lokal, tanpa alergi berbaur dengan budaya asing.

Lagu Englishman in New York ingin menyampaikan sebuah pemahaman tentang pentingnya menjaga budaya asal yang kelak kita bawa ketika sedang berada di daerah yang bukan menjadi wilayah budaya sendiri. Aku-lirik mencoba berpikir tenang ala orang Inggris, meski sedang di New York. Bahwa lebih baik menjaga diri dengan tidak mengganggu dan mengusik budaya lain, namun tetap menjaga keakuan budaya sendiri. Lagu ini berhasil menampilkan konflik hidup dalam lintas budaya secara individu. Dari lagu ini pula, tentulah, permasalahan cross cultural, minimal, bisa ditampilkan ke khalayak. Semoga, karya seni yang sanggup mengungkap perihal kebudayaan semakin banyak lahir. Begitu pula apresian karya seni yang semakin kritis dan peduli. Sehingga imitasi budaya serta impotensi budaya lokal bisa terus diminimalisir. Semoga.***

(Tulisan ini saya buat satu tahun silam. Kebetulan pernah tampil di Buletin Keris edisi 9 Maret 2012. Ah, rasanya ada yang ”beda” membaca tulisan lama)