Apa yang menarik dari pertemuan
dengan seorang pengarang, jika kamu sendiri adalah orang yang sedang merangkak
jadi seorang pengarang? Tentu saja, aku kira, lebih banyak hal-hal menarik yang
bakal terjadi, minimal, perihal obrolan. Sudah bisa ditebak ke mana arah
obrolan itu: tulisan, bacaan, dan hal-hal tentang kepengarangan, yang
sebenarnya sudah “ada” di buku-buku para kampium sastra. Tapi, apakah yang
lebih menarik selain mengobrolkan hobi dan kesukaan?
Senja itu aku gegas dari rumah
kos ke kampus, melaju via sepeda motor, bertemu pengarang senior, S Prasetyo
Utomo. Tidak biasanya aku begitu bersemangat menemuinya. Aku percaya, selain
bertegur sapa di media massa, aku juga mesti menyempatkan bertegur sapa di
dunia nyata. Serawung itu penting.
Maka, jika kali ini aku bersemangat menemuinya, tentu saja karena aku jarang
menyapa Pak Pras di media massa, atau pun di dunia nyata. Hmmm…
Seperti sebelum-sebelumnya, obrolan
bergerak tanpa basa-basi. Senja itu memang dipersiapkan oleh teman-teman di UKM
sebagai obrolan proses kreatif. Pak Pras mulai bercerita, mengisahkan
pegetahuan agar kami, para junior, melahap semua isi omongannya. Obrolan berkisah
tentang apa saja yang mesti dimiliki pengarang agar tetap bertahan, tak tergiur
urusan di luar kepengarangan. Mirip acara motivasi di televisi, menjadi
pengarang pun punya jurus jitu. Ada empat pokok, sesuai ingatan saya, hal yang
mesti dirawat dalam diri seorang pengarang: obsesi, style, inovasi, yang terakhir aku lupa. Tapi, kalau boleh menambahkan,
tentu saja referensi. Obsesi dan referensi berkisar tentang individu, sedangkan
style dan inovesi bergerak pada teks.
Ibaratnya, inilah empat pilar kepengarangan.
Tak perlu kuceritakan bagaimana
obrolan berlangsung, dan bagaimana Pak Pras mengurai empat pilar kepengarangan
tersebut. Cukuplah aku dan teman-teman yang tahu. Obrolan bermutu ketimbang
melewatkan senja di kamar sambil menonton lawakan konyol di tivi! Duh!
***
Sehari berselang, tepat ketika aku
sudah teramat bosan, seharian berdiam diri di kamar, membolak-balik buku di
rak, menyetel musik, mengantuk, minum Kapal
Api, merokok, dan tidur antara sebentar. Malam hampir sempurna mendekati
pukul dua belas. Mata mulai berat sebelah, pinggang mulai linu untuk duduk. Sebelum
merelakan tubuh untuk tidur, kuambil buku bercorak hijau, bergambar helem
tentara. Kumcer Laki-laki Lain dalam Secarik Surat karya Budi Darma.
Romantis…
Adegan agung, berangkat tidur
dibuai sang profesor sastra. Haha. Sengaja tak kumulai membaca cerpen-cerpen
tersebut. Aku hanya berniat menyempurnakan kantukku saja. Esai pendek pengantar
buku jadi sasaran utama. Esai kalem penuh nutrisi. Esai berkisah tentang
lawatan Budi Darma di Jakarta, bertemu sejumlah pengarang dan teman-teman
pengarang. Budi Darma bertemu teman seprofesi, bertukar cerita, menambah
gagasan. Wajar jika pertemuan sesama pengarang jadi mirip ibu-ibu cerewet. Bukankah
pengarang suka mencuri-curi ide dari omongan teman-temannya yang sama-sama
pengarang? Ah, saya tidak tahu persis dengan siapa Budi Darma mengobrol. Yang
jelas, ia berkisah tentang obsesi bagi pengarang.
Seperti sebuah narasi dari
obrolan senja kemarin, Budi Darma berkisah perihal obsesi. Ya, obsesi. Betapa
vitalnya kata ini bagi pengarang. “Obsesi adalah modal”, kata Pak Pras. Budi
Darma tak ketinggalan:”… obsesi pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang
terus menerus mendorong pengarang untuk menulis”. Obsesi jadi alasan kenapa
pengarang bergerak menemukan inovasi, menyatu dengan style. Obsesi pulalah yang mendorong pengarang untuk terus menerus
menambah referensinya tanpa henti. Berhenti adalah kematian bagi pengarang. Aku
jadi teringat kalimat pamungkas Budi Darma dalam novelnya, Rafillus: Rafillus mati dua kali. Aku tak mau mati dua kali. Sekali
mati, berarti berkali-kali.
Aku pun tak jadi mengantuk. Imajinasi
bergerak mengikuti sejumlah obsesi. Aku berobsesi setiap akhir pekan tulisanku
tampil di media massa. Aku beruntung masih punya obsesi. Tak berobsesi berarti
mati. Aku terhenyak, hari ini aku belum menulis barang satu lembar. Aku
bergegas ke kamar mandi, gosok gigi lalu menyalakan rokok. Merokok sehabis
sikat gigi kadang memiliki sensasi tersendiri. Kunyalakan leptop, dan jadilah tulisan pendek ini. Tulisan
bermisi kantuk! Aku berobsesi bertemu Pak Pras dan Budi Darma dalam sebuah
diskusi hangat, di sebuah café dengan sayup-sayup iringan lagu Payung Teduh
menemani. Wah! Adegan romantis bergelimang intelektual…
Pandean Lamper, 28 November 2013