Sejauh mana sebuah cerpen
menangkap dan menyajikan keadaan sebuah masyarakat tertentu? Cerpen, —karena kependekannya—barangkali tidak mampu
menghadirkan totalitas telisik dan pantauan atas sebuah peristiwa. Cerpen
akhirnya memungut serpihan peristiwa, dan mewartakannya kepada pembaca. Daya
ungkap dan imaji sang cerpenis sanggup
memergoki ketragisan, kemunafikan, dan kebohongan sebuah perkara, kemudian menghidangkannya
sebagai cerita.
Laku dan konflik masyarakat Tionghoa berhasil
dihadirkan secara jeli dalam jagad fiksionalitas melalui sekumpulan cerpen bertajuk Sulaiman
Pergi ke Tanjung Cina (Komodo Books, 2012) gubahan Hanna Fransiska.
Kumpulan cerpen ini menghentak lewat suguhan cerita keterasingan, kepicikan,
hipokrit, kebusukan birokrasi, dan kekalahan.
Sembilan cerpen dalam buku ini ditulis dalam getir dan nyinyir. Tiga cerpen
ditulis di Singkawang, selebihnya di Jakarta. Pembaca dibujuk untuk sedih,
tertawa miris, geram dan marah. Lakon masyarakat Tionghoa menjadi landasan imaji demi mengangkat beberapa fakta dan
peristiwa menjadi mozaik cerita pelik. Hanna sebagai seorang Tionghoa,
mengungkap sejarah diri, kenangan, serta lingkungannya ke dalam cerita pendek.
Hanna hadir sebagai juru cerita
yang tidak berangkat dari sekedar riset. Pengarang lahir dan tumbuh di Singkawang, Kalimantan
Barat. Daerah mayoritas dihuni kaum Tionghoa. Alhasil, kisah dan imaji yang
disuguhkan dalam buku ini kuyub biografi diri si Pengarang. Cerpen-cerpen,
seperti Kuburan Kota Bunga, Hari Raya Hantu, Kungkung, begitu lekat dan dekat dengan pengarang.
Masa kecil pengarang yang
pernah hidup berdampingan dengan makam, memunculkan kisah kritis yang menyoroti
sengketa pemindahan makam. Pemindahan makam ke atas bukit, sebanding dengan
kompensasi yang diterima Ahli Waris, meski akhirnya dicerca masyarakat penganut
tradisi. Simak petikan berikut:”bahkan mayat saja tak mungkin bisa menolak uang
ganti rugi semacam itu, apalagi yang masih hidup?” Sementara ratusan yang lain
menolak sambil berjaga siang malam, dan tak
henti menyumpahi mayat-mayat yang diangkut dengan upacara besar dengan sebutan,
“mayat-mayat orang usiran”. Kutipan tersebut merepresentasikan hasrat pengarang
mewartakan kebobrokan sebagian
masyarakat karena menjual keyakinan leluhur.
***
Hanna Fransiska mewartakan
Tionghoa secara masif: budaya, tradisi, dan bahasa. Pembaca diajak mengenal
secara akrab perihal Tionghoa. Ikhtiar menampilkan budaya Tionghoa kentara
lewat penggunaan bahasa Hakka Singkawang: Kungkung
(Kakek), Sukkung (adik laki-laki dari
kakek), Kiu-kiu (adik atau abang dari
Ibu), Ngoisong (keponakan), Bosong (orang yang punya ilmu
kebatinan), dsb. Pengarang mengekalkan mitos dalam tertib cerita. Pembaca luruh
dalam pikat penyampaian cerita. Meski disana-sini muncul bahasa adat, pembaca
tidak sampai dibuat tersesat.
Sensitifitas pembaca
diaduk-aduk. Nalar cerita merangsang emosi dan permenungan. Tragedi seorang
ayah menukar anak gadisnya dengan hidangan kaki babi dan uang, hadir dalam
cerpen Sembahyang Makan Malam.
Penyesalan tokoh Ayah membawa pembaca luruh dan haru dalam penyesalan tiada
tara. Hasrat perayaan Imlek yang lebih baik, dibayar dengan raibnya anak dan istri.
Puncak kekalahan dan
keterpinggiran muncul dalam cerpen yang sekaligus dipatok sebagai judul buku Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina.
Kekalahan dan penyesalan akut ditimpakan pada sosok Zhu yang teraniaya oleh
aparat. Sulaiman hilang dalam sebuah tragedi pembakaran dan penculikan. Kisah
ini buntut pergolakan petani kopi yang dituduh merusak hutan. Pengarang lihai
memungut kisah Tionghoa pelik. Referensi pengarang tak diragukan. Pembaca
seolah diperbolehkan melacak pelbagai khasanah literasi pengarang.
***
Menulis bagi Hanna
Fransiska tak lain upaya menangkal frustasi. Pasca terbit kumpulan puisinya
yang perdana Konde Penyair Han (2010)
dan disusul Benih Kayu Dewa Dapur
(2012), Pengarang sukses merangsang perhatian khalayak. Ikhtiar mengangkat tradisi
dan mitologi Tionghoa lewat cerpen, berhasil mengukuhkan keberimanan seorang
Hanna Fransisca. Meski harus diakui, secara alur, bebeapa cerpen masih terkesan
“dipaksakan”. Kejelian Pengarang mengeksplorasi mitos cerita dan gaya bercerita
yang detail, menjadikan buku ini layak dijadikan ajang permenungan atas kisah
pelik masyarakat Tionghoa. Cerpenis sufi Danarto menganggap tema dan jalan
cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama dari cerita pendek adalah
cara bertutur kata. Di tangan Hanna, semua
persoalan penting dituturkan dengan cara
yang anggun dan memikat. Dan pembaca musti membuktikannya.[]