Senin, 19 Oktober 2015

Menziarahi Dunia Batin Terpidana Mati

Seberat-beratnya hukuman adalah mati. Pelaku kejahatan berat konon pantas diganjar hukuman mati. Kejahatan berat tentu terkait penghilangan nyawa manusia. Hukum mati jadi preseden agar orang-orang tak ceroboh berbuat jahat.
Isu hukuman mati dikisahkan secara mengharukan dalam novel Burial Rites: Ritus-Ritus Pemakaman (2015) karya Hannah Kent, seorang novelis kelahiran Adelaide, Australia. Pengisahan novel bermula ketika tahun 1928 kegemparan melanda Islandia Utara. Agnes Magnusdottir, bersama dua temannya, divonis mati lantaran membunuh dua lelaki. Putusan ini sontak jadi perbincangan di masyarakat. Bagi mereka pembunuhan dan hukum mati adalah peristiwa luar biasa.
Hukum di Islandia kala itu tegas menyatakan:”Siapa yang memukul seseorang hingga mati, pastilah ia dihukum mati”. Pasca penetapan itu, riwayat hidup Agnes Magnusdottir tinggal menunggu masa penghabisan. Fragmen penantian eksekusi mati inilah yang kemudian dikisahkan secara dramatis oleh Hannah Kent.
Imajinasi sosok Agnes Magnusdottir berangkat dari kisah nyata. Hannah Kent mengetahui kisah tersebut setelah melancong ke Islandia dalam pertukaran pelajar Rotary Exchange. “Agnes Magnusdottir adalah orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia, setelah peran-sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Ketilsson dan Petur Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, di Semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara”.
Lewat novel ini kita diajak untuk menziarahi dunia batin sang terpidana mati. Hari berganti dalam detik yang melamban. Agnes menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah keluarga Jon Jonsson karena rumah tahanan sementara belum tersedia. Kala itu, eksekusi mati jarang sekali terjadi. Pemerintah belum sepenuhnya memfasilitasi pelbagai persiapan untuk sebuah prosesi hukuman mati. Demi sebuah eksekusi, segalanya mesti dipersiapkan dari nol.
Pada mulanya Agnes menuai protes dan penolakan dari keluarga Jon. Menjalani hari-hari bersama seorang terpidana mati tentu menyulut dugaan dan kecemasan. Margret, istri Jon, mengaku:“Betapa aneh membayangkan bahwa, tidak terlalu lama lagi, perempuan yang tidur di ranjang itu tidak sampai dari tiga meter darinya akan berada di liang kubur.” (hlm.74)
Tetapi rasa kemanusiaan sungguh tak bisa dibohongi. Lambat-laun keluarga Jon justru berkenan menerima keberadaan Agnes. Sebagai perempuan terdidik, dengan kecerdasan di atas rata-rata, serta pandai bergaul, tak pelak membuat Agnes mudah diterima di keluarga Jon.
Di rumah ini pula, Agnes didampingi Pendeta Thorvardur Jonsson dalam usahanya menghadapi eksekusi mati. Kedatangan pendeta bermisi pencerahan dan peneguhan iman. Namun kadang kuatnya iman pun tak sanggup mereda ketakutan atas kematian. Getir hidup yang dialami Agnes sejak kecil membentuknya jadi sosok pesimis. Ia ditinggal kedua orang tua sedari belia, dan mesti berjuang keras demi menghidupi diri sebagai pelayan, dari rumah ke rumah.
Memori kelam itu membuat Agnes sulit ”berdamai” dengan iman dan Tuhan. Pendeta Thorvadur Jonsson menyadari suara lantang firman Tuhan kadang tak cukup membuat Agnes bersiap menerima kenyataan. Dialog bertema ketuhanan muncul sebagai kritik atas pemahaman publik dan penguasa yang kerap menggampangkan kondisi batin si terpidana mati.
“Saya sampai pada keyakinan bahwa apabila ingin menyibak tirai yang menutupi jiwa si terpidana, yang dibutuhkan bukanlah suara tegas seorang pendeta yang menyampaikan api neraka, melainkan nada lembut dan bertanya seorang sahabat” (hlm.203). Sang Pendeta larut dan hanyut dalam kisah hidup Agnes yang misterius.
Menjelang detik-detik terakhir, Agnes justru mengabarkan fakta baru yang tak sempat ia ungkapkan di meja persidangan. Dari fakta baru tersebut, Pendeta Thorvadur Jonsson sampai pada keputusan untuk membantu menyuarakan kesaksian Agnes, yang ia harapkan bisa membatalkan putusan mati meski ia tahu hasilnya akan sia-sia.
Di titik inilah Hannah Kent menyajikan perspektifnya perihal hukuman mati. Dialog yang dibangun antara Agnes, pendeta, dan keluarga Jon membawa kita pada pemahaman sifat manusia dalam menghadapi kematian. Tak ada seorang pun manusia normal yang rela hak hidupnya dirampas.
Ketakutan dan kegelisahan selalu muncul di hari-hari Agnes yang pendek. Masa penantian justru lebih menyakitkan dari sebuah kematian. “Penantian ini membuat muak. Kenapa tidak sekarang? Kenapa tidak mengambil saja kapak itu dan melakukannya di sini…” (hlm.303). Keputusasaan menjelang eksekusi memang tak terhindarkan.
Bagi Hannah Kent, hukum mati berpotensi menutup kemungkinan untuk membongkar alasan-alasan di balik kelakuan ceroboh terpidana. Atau, tidak tertutup kemungkinan, ada kekeliruan yang tak sempat tersampaikan saat proses peradilan. Dalam novel ini hukum mati dikisahkan telah menutup dua kemungkinan tersebut.
Isu eksekusi mati memang sensitif dan kerap memicu perdebatan, terutama di Indonesia. Kita kerap menuai polemik atas putusan negara yang enteng menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Pilihan Hannah Kent mengeksplorasi novel bertema hukum mati, dengan acuan referensi sejarah yang kuat, pantas jadi alternatif membaca dan memahami dunia batin terpidana mati dari sisi kemanusiaan yang intim. Penerjemahan novel ini di Indonesia pun menemukan momentumnya yang tepat.[] 

Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, 17 Oktober 2015.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Jagat Klenik Basoeki Abdullah

Bagi seorang seniman,bisikan gaib” bisa ditafsir sebagai ide, inspirasi, atau ramalan. Tak jarang bisikan itu dimaknai sebagai “sabda” yang bakal memberi suluh atas jalan hidup di masa depan. Maka ketika pada suatu malam di tahun 1933, Basoeki Abdullah mendapat bisikan agar bertandang ke Pantai Parangtritis, ia pun tak menyanggah. Malam itu juga, disusurinya jalan sepanjang 20 kilometer dengan mengendarai sepeda. Di pantai, Basoeki bersemedi dan berdoa.
Ketika suasana makin larut dalam ketenangan, terdengar suara perempuan dari tengah debur ombak. Suara itu berpetuah, menyarankan agar Basoeki lekas pulang ke rumah. Telah datang secarik surat untuknya. Surat itu mengabarkan bahwa Basoeki bakal mendapat beasiswa belajar melukis di Belanda. Bisikan gaib” itu seperti bukan suatu kebetulan.
Lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang.
(Sumber FB Museum Basoeki Abdullah)
Lantas, siapa sebenarnya “pembisik” itu? Basoeki berkeyakinan, bisikan itu berasal dari Nyai Roro Kidul. Sebagai seorang keturunan Jawa yang sejak kecil tumbuh dalam didikan tradisi istana Kasunanan Solo, tak aneh bila Basoeki begitu percaya pada hal-hal klenik dan kebatinan. Pengalaman kebatinan itu justru jadi referensi mengolah gagasan saat melukis. Kepercayaannya pada Nyai Roro Kidul, misalnya.

Basoeki gemar berkunjung ke “tempat-tempat suci” yang dianggap persinggahan Nyai, di antaranya Inna Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Konon, di tempat itu Basoeki pernah bertemu “Nyai dan tujuh ekor kudanya”. Pertemuan itu telah membentuk imajinasi Basoeki untuk melukis sosok Nyai Roro Kidul. Hasilnya, sebuah lukisan sesosok perempuan bermahkota mencuat dari deburan ombak yang ganas, bersama kuda pengikutnya (hal.33).
Hingga akhirnya Basoeki benar-benar menginjakkan kaki di Belanda. Di negeri kolonial itu Basoeki bersetia pada keyakinan kebatinannya. Basoeki jadi bunga bibir berkat lukisan Pangeran Diponegoro Memimpin Perang. Kenangan buruk akibat Java Oorlog (Perang Jawa) pimpinan Diponegoro membuat Belanda tercengang pada lukisan tersebut. Konon, penggambaran wajah Diponegoro dianggap oleh banyak orang persis seperti “jelmaan konkrit wajah Diponegoro, yang sebelumnya tidak pernah terekam dalam gambar resmi”.
Lukisan Diponegoro, dalam pengakuan Basoeki, dibuat setelah ia pernah dipertemukan dengan Pangeran Diponegoro di Parangtritis oleh Nyai Roro Kidul. Meski tak sempat “berdialog”, Basoeki mengaku “sempat curi-curi menatap wajahnya”(hal.50-51). Di kemudian hari, Basoeki mashur sebagai pelukis spesialis tokoh-tokoh pahlawan nasional, seperti Dr Wahidin Sudirohusodo, Moh. Yamin, Adam Malik, juga Sukarno.
Terkait Sukarno, Basoeki punya banyak kisah menarik berkat kedekatan mereka berdua. Semasa awal karir sebagai pelukis, Basoeki kerap dibantu Sukarno, terutama menyangkut promosi lukisan. Saat itu Basoeki tak berani meminta restu pada RM Sosrokartono, kakak Kartini, yang dengan suka rela telah memberinya tumpangan untuk melukis, untuk terlibat dalam pameran di sebuah pasar malam. Berkat Sukarno, Sosrokartono mau datang melihat studio Basoeki dan memberi masukan perihal lukisan apa yang sekiranya pantas dipamerkan.
Sebagai sesama penggemar lukisan, Sukarno merasa klop dengan Basoeki. Dua lelaki flamboyan itu punya kesamaan karakter: gampang tergoda perempuan cantik. Obrolan seputar perempuan dan lukisan membuat mereka selalu akrab. Banyak lukisan Basoeki dibeli Sukarno dengan “harga sahabat”. Ketika menjabat sebagai Presiden, persahabatan itu kian terjalin erat.
Perasaan galau menyerang Basoeki ketika meletus kisruh antara kubu penandatangan Manifes Kebudayaan dan blok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berkarib dengan Partai Komunis Indoinesia (PKI). Secara pribadi, Basoeki lebih sepaham dengan kelompok Manifes yang ditandatangani pada 17 Agustus 1963 itu. Ia sepakat bahwa “kebudayaan dan kesenian selayaknya tidak terseret arus politik dan seharusnya hidup independen”.
Di sisi lain, Basoeki tak enak hati dengan Sukarno yang secara tegas mendukung Lekra. Basoeki tak bisa lupa peran besar Sukarno padanya. Ia ingat pembelaan Sukarno terkait keberadaannya di Belanda saat awal revolusi kemerdekaan. ”Bila orang lain seperti saya berjuang lewat jalan politik, dengan pidato dan menggerakkan orang untuk melawan, orang seperti Basoeki bermain di jalan seni.” Beruntung  saat konfrontasi itu semakin memanas, Basoeki sedang berada di Thailand untuk melukis para petinggi kerajaan. Seandainya Basoeki berada di Indonesia, ia tentu tak bisa berkelit dari konfrontasi.
Ketidakhadiran Basoeki dalam dua momen bersejarah di Indonesia itu membuatnya kurang mendapat empati dari para seniman. Ia dianggap lebih mementingkan diri sendiri ketimbang bangsanya. Pelukis Sudjojono mengkritik lukisan Basoeki hanya meladeni selera turis. Basoeki dicap borjuis dan sombong lantaran kerap tak mau menemui tamu yang datang ke studionya. Basoeki beralasan,“orang (termasuk seniman) Indonesia lebih senang mengobrol daripada bekerja…Hal ini menyebabkan mereka tidak produktif”(hal.133).
Penerbitan buku Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (2015) karangan Agus Dermawan T jadi momentum peringatan 100 tahun Basoeki Abdullah yang jatuh tahun ini. Membaca buku ini pembaca tak bakal dibawa pada pengagungan sosok Basoeki semata. Agus, kritikus seni rupa berdedikasi itu, secara apik dan berimbang mengisahkan sosok Basoeki Abdullah sebagai manusia Jawa yang begitu percaya pada hal-hal klenik; lelaki yang gemar bertualang perempuan; serta seniman dengan kedahsyatan karya-karyanya yang legendaris. []


Dimuat Jawa Pos 11 Oktober 2015

Sabtu, 26 September 2015

Orang Jawa Memaknai Nama


Kelahiran seorang manusia selalu diikuti dengan ritus pemberian nama. Nama itu penanda, pengingat dan pemberi identifikasi diri. Nama jadi acuan untuk memberi sapaan dan panggilan. Pemberian nama untuk bayi yang baru lahir pun kerap dibarengi doa, harapan, dan kebanggaan.
Di Jawa, orang-orang tak percaya pada ungkapan klasik “apalah arti sebuah nama.” Bagi orang Jawa, pemilihan nama selalu menjurus pada pemaknaan filosofis, religius, linguistis, kultural, hingga ideologis. Mereka merangkai dan memilih nama dari pelbagai referensi.
E.M Uhlenbeck (1982) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Jawa, nama bisa dipungut dari cerita wayang populer, kalender Jawa, bahasa Jawa kuno, karya sastra, hari dalam sepekan, Alquran, bahkan bunga, tanaman, dan hewan. Sebagai pertimbangan, orang Jawa biasa meminta rujukan nama dari orangtua, “orang pintar”, dukun, dan kyai
Konon, nama bisa memengaruhi takdir manusia. Tak pelak, bila di kemudian hari dirasakan ada kekeliruan atau kekurangserasian, mengganti nama bisa ditempuh sebagai usaha perbaikan nasib. Penggantian itu bisa disebabkan oleh peristiwa tertentu, seperti menikah, sembuh dari sakit keras, atau karena mendapat pekerjaan baru.
Kisah Sukarno
Prosesi mengganti nama pun tak bisa semena-mena. Ada ritual khusus yang mesti ditunaikan, seperti meminta restu orangtua dan pemimpin agama/adat. Tak lupa mereka membagikan bubur beras merah ke para tetangga, yang disertai pemberitahuan atas perubahan nama tersebut.
Kisah penggantian nama pernah dialami oleh Presiden Sukarno. Semula, nama kecil Sukarno adalah Koesno. Semasa kecil, Koesno dicap sebagai anak berpenyakitan. Ia kerap terserang malaria, disentri, dan penyakit lainnya. Ayahnya berkeyakinan nama itu tidak cocok dan mesti diganti.   
Ayah Koesno mengisahkan:“Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam tjerita mahabarata....Dalam bahasa Djawa huruf “A” mendjadi “O”. Awalan “Su” pada kebanjakan nama kami berarti baik, paling baik. Djadi Sukarno berarti pahlawan jang baik” (Cindy Adams, 1966:35-36).
Penggantian nama itu terbukti manjur. Sejak menyandang nama baru, masa Sukarno tak lagi gampang sakit-sakitan. Keputusan memilih nama bereferensi tokoh wayang justru menerbitkan kepercayaan diri dan kebanggan bagi Sukarno. Di kemudian hari, Sukarno sempat memakai nama samaran “Bima” saat menulis esai-esai bermisi nasionalisme. Kedua nama itu manjur, mengiringi masa-masa penuh bahaya saat giat sebagai pemikir dan aktivis kemerdekaan.
Sikap Politik
Nama juga bisa dianggap sebagai penegas sikap politik dan ideologi. Dalih tersebut dipilih Ki Hajar Dewantara untuk berkeputusan mengganti namanya, hingga dua kali. Lahir dari keluarga kerajaan, ayahnya, Pangeran Suryaningrat, yang tak lain putra sulung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III, memberinya nama Raden Mas (RM) Suwardi.
Nama beraroma ningrat itu pun tak awet. Memasuki sekolah Belanda Europeesche Lagere School, RM Suwardi justru memilih berganti nama menjadi Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Pergantian itu dipicu hasrat untuk setara dengan anak-anak Belanda, yang mencantumkan nama keluarga sehingga menjadi lebih panjang (Dewantara, 1981:36). Bisa disebut, penggantian nama adalah sebentuk perlawanan Suwardi dalam menolak diremehkan oleh bangsa kolonial. 
Suwardi pun tumbuh sebagai pemuda melek politik. Melangkah dewasa, Suwardi terlibat gerakan politik bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dalam Indische Partij. Meski begitu, pergerakan Suwardi justru lebih bertumpu pada usaha-usaha di bidang pendidikan dan pengajaran. Idealisme Suwardi benar-benar tercurah saat mendirikan perguruan Taman Siswa.
Di saat inilah Suwardi kembali berganti nama. Penggantian nama berdalih kepentingan idealisme dan sikap politik. B.S.Dewantara dalam buku Ki Hadjar Dewantara Ayahku menjelaskan alasan penggantian tersebut:”Juga bagaimana seorang Ningrat…dapat mendekati rakyat yang dicintainya selama ia berpamor ningrat?”
Di era kolonial, status “ningrat” memang berisiko menimbulkan jarak dan segan. Karib Suwardi, Douwes Dekker, menerangkan bahwa penggantian itu demi menghilangkan kesan feodal dan aristokrasi Jawa yang ia sandang. Nama Ki Hajar Dewantara pun resmi dipakai sejak tanggal 23 Februari 1928 (Soeratman, 1983). Kini, kita mengenalnya sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Tak Sekadar Identitas
Doa tokoh kenamaan di Jawa itu punya pemaknaan khusus perihal nama. Nama jadi manifestasi alam pikiran dan sikap individu. Bagi Ki Hajar Dewantara, kesetaraan bisa dimulai dari sebuah nama. Sedangkan bagi Sukarno, nama adalah pemberi kebanggan.
Dari senarai tersebut, tercatat bahwa urusan nama memang tak sekadar identitas. Selalu ada alasan dan pemaknaan bermisi ideologis, politis, religius, hingga nasionalisme di balik pemilihan sebuah nama.
Fenomena nama-nama “unik” yang beberapa waktu lalu sempat menyedot perhatian publik betapa memilih nama memang urusan pelik, apalagi bagi orang Jawa. Manusia memerlukan kejelian, keinsyafan, dan pemahaman agar tak keliru saat merangkai atau memaknai sebuah nama. []


Dimuat koran Wawasan, 26 September 2015

Sabtu, 27 Juni 2015

Rumah dalam Pengisahan Hidup Pramoedya



“Ia tetap tak menjawab pertanyaanku, tetapi sebaliknya… Ia menangis! Ia tersedu-sedu dan menutup mukanya beberapa waktu lamanya. Aku biarkan ia melepas perasaannya. Dan ketika akhirnya tangisnya reda, ia mengusap air mata yang bercucuran di pipinya,” tulis Soesilo Toer, mengutip catatan harian Koesalah Soebagjo Toer yang belum sempat terpublikasi dalam bukunya terdahulu.
Begitulah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Bertahun-tahun lamanya mengalami apes di penjara tak membuat ia berairmata. Tetapi, sesaat setelah membaca surat dari salah seorang adiknya, benteng pertahanan Pramoedya pun runtuh. Surat berisi usulan agar rumah warisan orangtua di Blora dijual. Ingatan dan kenangan atas rumah itu pun seketika muncul. Bagai layar yang tiba-tiba terkembang namun sedetik kemudian menurun dan jatuh.
Rumah di Blora telah mengisi celah-celah penting dalam hidup Pramoedya. Di sana ia dilahirkan, dan di sana pula kelak ia berencana “menghabiskan masa tua sembari menulis dan bekerja.” Pramoedya ingin menjadikan rumah tersebut sebagai museum, bermaksud “mengenang jasa-jasa dan juga mengabadikan nama bapak”. Meski penjualan rumah urung dilakukan, kekecewaan Pramoedya pada salah seorang adiknya tetap tak terpadamkan.
Bagi Pramoedya, rumah adalah mata sejarah. Rumah mengisahkan peran dan ketokohan Mastoer, sang ayah, sebagai kepala keluarga maupun tokoh pergerakan di Blora. Mastoer seorang aktifis pergerakan Boedi Oetomo. Kepada Pramoedya, juga anak-anaknya yang lain, Mastoer adalah pendidik yang keras dan tegas.
Kenangan Pramoedya bersama ayah dan rumah terimajinasikan secara komplit dalam novel Bukan Pasar Malam (2010). Lewat novel ini, pembaca bisa menangkap pemaknaan rumah dari perspektif Pramoedya. ”Apabila rumah rusak, yang menempatinya pun rusak,” tulisnya. Rumah adalah representasi para penghuni. Rumah tak bisa dianggap urusan sepele.
Dari rumah itu, telah lahir sosok penulis dan intelektual hasil didikan Mastoer. Ernst Ulrich Kratz dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi mencantumkan nama Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagio Toer, Soesilo Toer, dan Waloejadi Toer, pernah mengisi lembar majalah sastra di Indonesia. Toer bersaudara tampil dengan sekian tulisan prosa.
Pramoedya tampil lebih awal sebagai pengarang kondang pengibar bendera realisme sosialis. Koesalah, kita kenal sebagai penerjemah buku-buku ampuh macam Anna Karenina dan Kebangkitan karya Leo Tolstoi, serta Pengakuan karya Anton Chekov. Dan Soesilo, beberapa tahun terakhir ini, getol menerbitkan ulasan-ulasan terkait Pramoedya meski semasa muda pernah menerbitkan sekian cerita pendek. Sedangkan Walujadi “gugur” melanjutkan etos menulis sebab tak kuasa mengalami didikan keras Pramoedya.
Soesilo melanjutkan kisahannya perihal Pramoedya di rumah tumpangan di kampung Kebon Jahe Kober. Rumah sempit dan kumuh tetapi dipaksa menampung sekian kepala. Kala itu, Pramoedya jengkel dengan ketiadaan sumber air bersih di kampung. Ulah sebagian warga yang tak acuh terhadap kebersihan kampung semakin membuatnya geram.
Pramoedya pun mengirim tulisan ke sebuah majalah di Jakarta sebagai kritik dan protes. Protes itu ternyata berbuah petaka. ”Mereka (warga kampung) berpuluh kali melempari rumah Pramoedya dengan batu yang cukup untuk memecahkan genting plentong” (hal.69). Warga menganggap tulisan Pramoedya justru telah membuka aib kampung.
Begitulah serpihan kenangan dan pengalaman Soesilo bersama Pramoedya tersaji apik dalam buku Pram dalam Bubu (2015). Apa itu bubu? Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S Poerwadarminto menjelaskan kata “bubu” berarti “alat untuk menangkap ikan yang dipasang di dalam air”, dan terbuat dari bambu.
Penggunaan metafor “bubu” tentu terkait hal-hal yang “memerangkap” Pramoedya, bisa keluarga, rumah, anak-anak, lingkungan, atau mungkin ambisinya dalam menulis dan bekerja. Menulis, membaca, membakar sampah, juga mengkliping, adalah dunia yang “memerangkap” Pramoedya sehingga membuatnya sanggup menelurkan karya-karya besar.
Pelbagai informasi dalam seri ketiga buku pengisahan Pramoedya ini, dari lima yang direncanakan, kian menggenapi pemahaman kita atas Pramoedya. Namun, seperti kita tahu, tidak ada buku sempurna sama seperti tidak ada ideologi sempurna. Di luar pengisahan Pramoedya dan rumah, dan hal-hal yang “memerangkapnya”, menurut saya, buku ini justru menampilkan sekian pengulangan informasi dari buku terbitan sebelumnya.  
Kenangan berteman dengan Taufiq Ismail; kegagalan anak-anak Pramoedya melanjutkan etos menulis; serta kehidupan Pramoedya dan keluarganya, telah muncul di buku sebelumnya tapi masih saja ditampilkan (entah sengaja atau tidak) di buku ini. Puncaknya adalah pengikutsertaan tulisan Benee Santoso (putra Soesilo Toer) berjudul Dari Estadio ke Bojong Gede. Tulisan sepanjang 56 halaman ini berkisah tentang perjalanan Benee di Jakarta, dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Meski sesekali menyinggung karya Pramoedya, bagi saya sebatas tempelan saja. Ada baiknya tulisan tersebut dibukukan tersendiri.
Pertaruhannya kemudian adalah pada dua buku lanjutan yang direncanakan akan segera terbit. Apabila pelbagai kekurangan di atas kembali terjadi di buku berikutnya, risikonya, tentu saja pembaca bakal menganggap seri buku ini tak lebih sekadar proyek ambisius dari Soesilo, tanpa ada kemauan untuk mempersiapkannya secara matang dan serius. []

Dimuat Jawa Pos, 28 Juni 2015