Minggu, 28 September 2014

Tragedi, Kemaluan dan Wasiat Spiritual



Nafsu menggerakkan manusia demi meraih kemodernan, kemajuan, dan kepuasan. Manusia bernafsu, maka manusia ada. Manusia bagai patung tak berguna jika nafsu tak tumbuh di jiwanya. Meski bukan yang utama, nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa manusia. 
Eka Kurniawan mengisahkan gejolak manusia dan nafsu—birahi—lewat serangkaian tragedi, trauma, dan kisah tragis. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (GPU, 2014) adalah fragmen kisah-kisah mengenaskan perihal manusia, cinta, birahi, dan kondisi zaman yang berkarib dengan kekerasan tubuh dan mental. Tokoh-tokoh dalam novel ini lahir dari trauma, hidup bersama pilihan-pilihan rawan: membunuh atau dibunuh; disakiti atau menyakiti; mengalahkan atau dikalahkan. 
Pengisahan bermula dari sepasang bocah sial, Ajo Kawir dan Si Tokek, yang tepergok mengintip dua orang polisi sedang memerkosa Rona Merah, seorang janda gila. Si Tokek beruntung sanggup melarikan diri dari kejaran polisi. Petaka justru menimpa Ajo Kawir. Ia tak kuasa menyelamatkan diri.
Kedua polisi menyeret dan memaksa Ajo Kawir menonton adegan tak lumrah itu, secara langsung, tepat di hadapannya. Seorang bocah terkutuk akibat polah manusia dewasa tak beradab. Fragmen ini memantik ingatan kita perihal sebuah rezim di Indonesia, di mana kesewenang-wenangan dan kekerasan pernah digawangi oleh oknum aparat.
Kebiadaban manusia kadang memang tak sekadar urusan bunuh-membunuh. Kekerasan mental justru memberi luka tak terperi seumur hidup. Begitulah nasib Ajo Kawir. Peristiwa kelam membekaskan trauma psikologis, awal dari rentetan petaka sepanjang hidup.
Sejak peristiwa itu, Ajo Kawir bagai kehilangan ‘nyawa’. Kelelakiannya mendadak terlelap dalam ‘tidur’ yang panjang, tak tahu kapan hendak terjaga. Eka mengeksplorasi duka Ajo Kawir sebagai hulu cerita, menawarkan kisah dan kenakalan logika.
Tetapi fiksi memang menawarkan segala kemungkinan-kemungkinan meski terkesan konyol dan pincang. Kita bakal risih dan terkejut mendapati deskripsi Ajo Kawir sanggup  menjerat keyakinan seorang perempuan bernama Iteung, hingga kemudian bersedia diperistri. Pergumulan aneh dan tak wajar. Kelelakian yang ‘lumpuh’ bukan alasan manusia tak berpasangan.
Eka mendeskripsikan hakikat pernikahan di luar konvensi kewajaran. “Mereka sama-sama ingin menikah. Tak peduli pernikahan itu akan berlangsung tanpa kemaluan…” (Hlm.91). Pernikahan adalah urusan manusia, cinta, dan birahi. Eka mengajukan logika ‘cinta tanpa logika’ dalam novel berlabel 21+ ini. Nalar pembaca diajak menerawang jauh memunguti keserbamungkinan tanpa terjerumus bombastisitas imajinasi. 
Nalar cerita sederhana meski terkesan ganjil dan tak etis. Ajo Kawir berbahagia menikahi gadis pujaan meski tak berkemampuan ‘jantan’ secara badaniah. Tetapi kebahagiaan selalu meminta syarat. Pelbagai kabar buruk mendarat di hari-hari bahagia Ajo Kawir pasca-pernikahannya. Iteung hamil, dan tentu saja, bukan buah kelelakian Ajo Kawir. Nah!
Permenungan
Kisah bergerak dari satu derita ke derita selanjutnya. Ajo Kawir berkelana, berharap bisa memperpendek kesedihan. Pada sebuah pergulatan batin yang memuncak, Ajo Kawir sampai pada taraf permenungan klimaks. “Aku mulai mengerti apa yang diinginkan kemaluanku. Ia menempuh jalan para pencari ketenangan. Para sufi.  Para mahaguru. Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur lelap dalam damai, dan aku belajar darinya” (hlm123).
Eka secara cerdik mengimajinasikan sebuah dialog antara Ajo Kawir dan ‘kemaluan’. ‘Sang Kemaluan’ berpetuah, menyampaikan ajaran-ajaran bermanusia secara terhormat, mengajari hidup tanpa ambisi dan nafsu yang bergejolak. Kita bakal kesulitan menduga bagaimana adegan ‘dialog’ tersebut. Kegenitan pengarang menciptakan adegan surealistis ini membuat kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah, berdiam di antara ingatan-ingatan pelik. 
Dialog dengan ‘kemaluan’ jadi ruang permenungan, melahirkan keyakinan-keyakinan tak biasa. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala” (hlm.126). Ajo Kawir sanggup beritikad menjadi manusia bijak, lepas dari gelora nafsu dan rayuan birahi yang berkuasa.
Kemaluan menggerakkan peradaban, mengatur manusia-manusia menjauhi nalar waras dan beradab. Di bagian inilah tampaknya Eka hendak masuk dalam meditasi kedamaian, memberi ilham perihal banalitas nafsu penghamba modernitas.   
Penggarapan tema-tema kebirahian memang bukan hal baru dalam ranah novel Indonesia mutakhir. Keputusan memilih “kecacatan birahi” manusia sebagai pusat penceritaan, disertai deskripsi gejolak zaman dengan kecamuk kekerasan yang akut, juga permainan imajinasi nakal yang saut-menyaut, sehingga batas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak tersusun secara monoton, membuat novel ini menarik bukan hanya secara isi, tapi juga mengasyikkan di setiap penceritaannya.
Imajinasi dan ingatan berlompatan tak beraturan. Cerita tersaji secara tak tertib tapi masih terbingkai dalam satu lanskap utuh. Berkali-kali tawa saya meledak. Namun di antara tawa itu pula, menyembul segaris murung yang seketika berkuasa.   
Tiga tahun (2011-2014) proses penciptaan novel, saya kira setimpal dengan capaian kematangan Eka dalam menggarap eksplorasi ide, gaya, dan cerita. Membaca buku ini kita bakal mendapati kejutan demi kejutan hingga pada kalimat pamungkas.
Saya tak sampai hati menahbiskan novel ini masuk dalam jejeran roman cabul, meski potensi itu sedemikian kuatnya. Novel ini seolah hendak berwasiat: Nafsu dan kebirahian sepatutnya menuju pada hakikat kedamaian dan ketenangan jiwa manusia. Meski imajinasi pengarang justru kerap memberi godaan pada kita untuk memberi tafsiran-tafsiran ‘cabul’ di setiap deskripsinya. []

Dimuat di Kompas, 28 September 2014.

Minggu, 21 September 2014

Jalan Lain Menebar Optimisme


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seolah hendak menahbiskan diri sebagai presiden tak biasa. Jika kebanyakan politisi di republik ini menutup masa jabatan dengan jeratan kasus korupsi, SBY justru memberi persembahan sebuah buku kumpulan puisi.
Presiden berpuisi tentu bukan sebuah kreasi biasa. Buku berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) seolah-olah jadi rekaman pergulatan batin dan pemikiran SBY. Di sela kesibukan dan mobilitas yang tinggi sebagai presiden, SBY masih meluangkan waktu berpuisi. Kita pun membayangkan SBY menulis puisi di pesawat, di mobil, di tempat kunjungan, atau di Istana Negara.

Puisi bagi SBY jadi jalan menapaki pikiran-pikiran tak tersampaikan. Tuntutan presiden mengharuskan mentalitas SBY jadi manusia tegar dalam menghadapi serangan kritik dan hinaan. Presiden kerap jadi sasaran amarah dan hujatan kala rakyat sedang tertimpa bencana, himpitan ekonomi, serta kisruh politik. Lewat puisi SBY berkisah, melepas segala kesah. Namun tak sedikit pula puisi-puisi SBY memberi seruan dan ajakan tentang perdamaian, cinta, kasih, dan optimisme.
Optimisme
Jika dengan menulis sekian puisi sseorang layak disebut penyair, maka SBY adalah penyair optimis. Sajak-sajaknya bersuara pelan namun tegas, memberi pesan-pesan kekuatan dan kesabaran. SBY sadar posisinya sebagai presiden. Puisinya menampilkan wejangan dan penguatan kepada pembaca, yang tentu saja, ia anggap sebagai ‘rakyat’ yang mesti mendapat perhatian dan dukungan.
Puisi berjudul Demi Waktu mengagetkan kita perihal naluri estetik SBY. Puisi ini cenderung bersuasana sendu, sunyi. Simaklah:”Bulan di atas perahu/sendu//cemara di kaki gunung/termenung//…/Kutahu waktu menjanjikan berkah/Kuburu, pantang menyerah/Apalagi pasrah (hlm.14).
SBY seolah tak ingin terjebak dalam sajak-sajak bernada pesimistis. Kesadaran sebagai pemimpin panutan larut dan menyatu dalam sajak-sajaknya. Pun ketika bencana sedang melanda Indonesia. SBY tak lupa merekam pelbagai kejadian ke dalam puisi.
SBY berdoa di dalam puisi. Puisi Dalam Duka Kami Bangkit mengajak pembaca ikut merasakan kesedihan SBY sebagai manusia saat melihat negaranya tersapu bencana. Simaklah: ”Tetapi, Ya Rabbana/ kami tak pernah menyerah/ dalam pasrah, dan bukankah dalam musibah/ selalu ada berkah…” (hlm.25).
Pesan-pesan optimisme memang bertebaran dalam kumpulam puisi ini. Dalam pengantarnya, Putu Wijaya menilai “SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengutuhkan kembali karakter yang retak”. Bait-bait puisi berisi petuah presiden kepada rakyatnya.
Politis
Di sisi lain, kita tak boleh lupa SBY adalah seorang politisi. Kiprah politik tentu merangsang gesekan kepentingan dengan lawan politik. Sebagai politisi, SBY tak lepas dari geliat kompetisi politik. Beberapa puisi menyiratkan sindiran-sindiran politis. Sindiran dalam puisi tentu tak berisi ujaran sarkastik. Medium puisi ‘memaksa’ SBY menata secara teratur kata yang hendak dipakai sebagai representasi pikirannya.
Kita mafhum, betapa kritik dan serangan politik kadang terasa begitu menusuk. Sewajarnya pula jika respons SBY dalam puisinya sarat akan satire. Kita bisa menera bagaimana kecamuk suasana hati SBY pada tanggal 28 Juli 2008. Tiga puisi lahir dalam sehari: berjudul Siapa Salah, Harus Menghujat, dan Populer, berisi satire politis yang tajam. Simaklah puisi Harus Menghujat:”Mereka menuding, keras, serempak/ “Mana tanggung jawabmu”/Mau ngomong apa kamu?’//Aku mengambil corong/ Berdiri//Mereka pergi” (hlm.98). SBY mengkritik sikap para lawan politik yang hanya mengkritik di belakang.
Begitu pula ketika sederet demonstrasi terjadi di era pemerintahannya. SBY bagai tak kuasa menahan getir di hati saat unjuk rasa berakhir bentrokan dan perusakan sarana umum. Baginya, demokrasi tak boleh berujung pada aksi vandalisme. Dalam puisi berjudul Taksi Jakarta, SBY menulis:”Inikah demokrasi/ dan kebebasan yang tidak terbatas?/ Tidak bisakah orang berunjuk rasa tanpa merusak?/ Adakah pula mereka yang beringas itu juga korban/ dari tangan-tangan serakah… (hlm. 119)
Membaca puisi-puisi SBY kita bakal dihadapkan pada peleburan kesadaran seorang presiden-politisi-manusia biasa yang merasuk-menyatu dalam sajak. Meski tak bisa dielakkan, ada sedemikian pencapaian estetik yang muncul dalam puisinya. Ketika SBY menulis tentang kerinduan dan cinta (puisi “Kangen” dan “Pelabuhan Terakhir”), misalnya.
Puisi, bagi SBY, barangkali tak didefinisikan sebagai karya seni semata. Puisi adalah penjelmaan sikap, pemikiran, rekaman kesan-kesan saat kunjungan, serta ‘jalan lain’ menyuarakan pesan selaku presiden, politisi, juga sebagai manusia tak berjabatan.
Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. Namun lebih sebagai ‘kenang-kenangan’ buah pikir SBY semasa menjabat presiden. Sependapat dengan Gus Mus, “Petinggi negeri menulis saja sudah merupakan sesuatu yang langka…”. Apalagi presiden. []

Dimuat di koran Jawa Pos, 21 September 2014