Membaca
puisi adalah membaca keberagaman tafsir dan makna. Sebuah puisi yang dibaca
oleh sepuluh orang bisa jadi memunculkan sepuluh penafsiran yang berbeda pula.
Puisi adalah hamparan makna, simbol, lambang, ironi, metafor, dan estetika. Puisi
kerap membuat pembaca “tersesat” dan “tak berdaya” dalam rimbunan kata bila
gegabah dalam menafsir dan mengartikan.
Keberagaman
tafsir itulah yang disadari Sapardi Djoko Damono sebagai pokok dan utama dari
proses pembacaan puisi. Keberagaman adalah jalan memartabatkan puisi, karena
dalam perbedaan tafsir itu puisi membuktikan kekuatan bahasa dan kata-katanya. Lewat
buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014) Sapardi mengajak pembaca berasyik-masyuk menyingkap setiap selubung
makna yang tersembunyi di balik puisi, lewat ikhtiar apresiasi.
Apresiasi
berarti mencari dan memahami “nilai” dari sebuah puisi hingga ceruknya yang
terdalam. Mereka yang berkeputusan mengapresiasi puisi tentu harus siap
berhadapan dengan medan imajinasi dan kata. Di balik sebuah puisi bersembunyi
gagasan, pikiran, pesan, dan sikap yang, sadar atau tidak, sengaja atau tidak,
ditulis oleh penyair.
Ada
tahap-tahap yang harus dilalui pembaca sebelum mencoba mengapresiasi puisi.
“Huruf-huruf yang tercetak di atas kertas itu berubah menjadi bunyi terlebih
dahulu dalam pikiran kita sebelum menjelma makna” (hal.22). Dari tahap membaca,
“membunyikan”, menebak-nebak “sesuatu’ yang mungkin ada di balik pilihan kata, hingga
mengendapkan puisi di dalam pikiran.
Untuk
itu komunikasi dengan teks, bagi Sapardi, adalah tahap yang sepenuhnya vital
bagi pembaca. Komunikasi adalah upaya membaca dengan penuh curiga. Apa yang kita
tangkap sekilas dari sebuah puisi mungkin hanya permukaan atau lapis pertama saja
dari apa yang tampak. Kita bisa saja hanya menyibak sesuatu yang sejatinya ”di
luar” puisi, sesuatu yang tidak benar-benar disuarakan oleh puisi.
“Membaca
puisi adalah proses komunikasi yang rumit”(hal.33). Kerumitan puisi bisa kita
lacak dari pelbagai kontradiksi antara maksud si penyair dalam puisinya dengan
apa yang ditangkap oleh pembaca. Sapardi mengajak kita menelusuri pemikiran penyair
karena apa yang terbaca dari sebuah puisi, bisa jadi berkebalikan dengan apa
yang dimaksudkan oleh si penyair.
Namun,
bukan berarti untuk memahami puisi kita harus bertemu dan menanyakan langsung
pada si penyair. Hal tersebut justru sebaiknya dihindari. Apresiasi sepenuhnya
urusan komunikasi pembaca dengan teks. Memahami alam pikiran penyair adalah satu
di antara strategi menguak pesan di balik puisi.
Ketika
penyair memutuskan memilih sebuah kata, misalnya. Penyair yang menciptakan
puisi dengan mencomot diksi dari benda-benda alam, bukan berarti ia ingin
menunjukkan kekaguman pada alam, seperti lazimnya pemahaman khalayak. Sapardi
menegaskan:”Rasa ingin tahu seperti itulah yang selalu ada dalam diri kita
kalau menghadapi benda seni apa saja—tidak terkecuali karya sastra (hal.50).
Sapardi menebar kecurigaan kepada setiap teks puisi agar tak terjerat dalam
apresiasi dan penilaian klise.
Posisi
Sapardi sebagai penyair sekaligus kritikus memang memberi sapuan khas dalam penilaian
dan tulisan-tulisannya--perspektif dan eksplorasinya terkesan sangat personal.
Sapardi sepenuhnya mengerti apa yang berkelindan dan yang lepas dari sebuah
puisi. Pengalamannya bercumbu dalam proses kreatif ia gabungkan dengan ketajaman
mata pisau kritiknya. Alhasil, meski menghadirkan apresiasi puisi, tulisannya
sanggup mendedah yang “tersembunyi” dan yang “misteri” dari sebuah puisi secara
terperinci, mendekati sebuah kritik.
Sapardi
menyodorkan pelbagai jenis puisi, dari yang ia terjemahkan sendiri, seperti
Manuel Bandeira, Rumi, hingga penyair gaek Nusantara, sebut saja Amir Hamzah,
Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, F Rahardi, Hartojo Andangdjaja, Remy Sylado,
dan Joko Pinurbo, untuk menjelaskan pelbagai pembahasan apresiasi puisi.
Satu
per satu puisi dibedah dari perspektif gaya bahasa, citraan, lapis makna,
tipografi, konvensi, tema, sikap penyair, hingga intertekstualitas. Kita diajak
untuk tak sekadar menjadi pembaca pasif tetapi dituntun dalam pilihan sikap
untuk terus-menerus bercuriga pada teks.
Namun
sangat disayangkan dalam buku ini kita tak menemukan nama-nama penyair muda
Indonesia mutakhir untuk dicomot puisinya sebagai bahasan. Kita bakal mendapati
penyair “langganan” yang, entah sudah berapa kali, berulang-ulang dibahas oleh
para kritikus maupun apresiator karya sastra. Kita tak tahu apakah Sapardi lupa
bahwa penyair dan puisi yang ia pilih sebagai bahasan, justru sudah bertebaran
di buku-buku apresiasi sastra sebelumnya, bahkan dibicarakan secara rutin di
sekolah-sekolah setiap tahunnya.
Tetapi,
bukan Sapardi jika tak sanggup menyajikan sebuah kumpulan tulisan dengan cita
rasa yang renyah dan “mudah dikunyah”. Meski mengupas puisi yang pelik, Sapardi
tak tergoda mengumbar penjelasan sarat teori dan bahasa yang terlalu ilmiah. Tidak
tertutup kemungkinan, teori sudah luruh dan menyatu dalam tulisan-tulisannya.
Buku
Bilang Begini, Maksudnya Begitu memperpanjang
catatan atas ketangguhan Sapardi dalam menyuntuki puisi. Sapardi memang semakin
menua, tubuh yang renta, rambut yang memutih, serta kaca mata yang kian menebal.
Bagi Sapardi, kerja puisi adalah pengabdian tak mengenal tua.[]
Dimuat di Jawa Pos 11 Januari 2015