Sabtu, 13 Desember 2014

MEMBELA PETANI KOPI LEWAT PUISI

Seorang penyair kerap bermesraan dengan secangkir kopi. Kopi jadi santapan penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreatifitas mencipta puisi. Kopi hadir sebagai ‘teman’ sekaligus saksi. Melahirkan puisi bersama pekatnya hitam kopi. Penyair Gol A Gong berkeputusan mengeksplorasi kopi, bukan sebatas sebagai teman menulis puisi, melainkan mengangkat dunia kopi ke dalam puisi.
Keputusan itu dimulai dengan mengadakan sebuah perjalanan panjang, pelesiran menyinggahi kedai kopi ke berbagai pelosok di Sumatera. Perjalanan dimulai sejak 1 Mei hingga 23 Juni 2012, mulai dari nol kilometer di Pulau Weh, Aceh, hingga ke pelosok daerah-daerah penghasil kopi.
Merasai kopi sekaligus membaca kenyataan-kenyataan yang luput dari pandangan khalayak, perjalanan kopi memberi pengetahuan dan pemahaman tak biasa bagi Gong. Hasilnya, sebuah buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dipersembahkan sebagai bukti keseriusan Gong menekuri obrolan demi obrolan di kedai kopi, juga dengan para petani kopi.
Penggarapan kopi sebagai rujukan puisi tentu tak sebatas pamrih estetika. Gong mengajukan kopi sebagai jalan kritik, mengingat, memihak, dan melawan. Pengembaraan di sejumlah daerah penghasil kopi sengaja ditempuh demi interaksi langsung dengan petani. “Aku merasakan pahitnya kopi, pahitnya petani kopi, pahitnya kehidupan mereka si penikmat kopi yang menghabiskan malam di kedai-kedai kopi” (hlm.xii).
Pengembaraan dan pelesiran kopi menghasilkan temuan-temuan perihal penindasan dan ketidakadilan. Urusan kopi tak lepas dari isu ekonomi, politik, sejarah, nasionalisme, kapitalisme. Sejumlah 49 puisi tercipta berkat pertemuan dan obrolan dengan petani, penjaja, penikmat kopi.
Keharuman kopi produksi petani dalam negeri begitu tenar, diiklankan di televisi setiap hari. Indonesia seperti surga bagi pecinta kopi. Namun, ironisnya, kesejahteraan tak kunjung dinikmati kaum petani. Kopi sepantasnya dibaca sebagai wajah dan harga diri negara. Dalam puisi Kopi Pangku, penyair menganggap urusan kopi bisa ditautkan dengan isu kedaulatan negara.
Simaklah petikan berikut:“aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri/ (hlm.8-9). Harga diri bangsa disimbolisasikan lewat kopi. Kopi jadi identitas, merujuk hasil kekayaan asli alam negara.
Banyak petani hidup serba pas-pasan meski panen kopi selalu melimpah. Hasil panenan kerap dibayar murah oleh para tengkulak. Tak hanya itu, lahan perkebunan kopi kian hari kian tersingkir. Puisi Belajar pada Kebun Kopi mengangkat isu berkurangnya lahan perkebunan akibat semakin tergusur pembangunan. Gong menulis: “Di kampungku kebun kopi minggir tersingkir/ dikalahkan petak-petak sawah elektronik” (hlm.47). Puisi merekam keterpinggiran petani kopi atas tekanan harga murah dan menyempitnya lahan.
Sebaliknya, di negara tetangga, kebun kopi malah jadi dambaan. Dalam lawatannya ke Singapura, Gong menulis puisi Orchard Road. Berikut petikannya: ”Kau meminta mas kawin padaku/ menyulap apartemen jadi kebun kopi”. Kebun kopi lebih bernilai dari kemewahan apartemen. Singapura tentu memimpikan lahan kebun yang luas karena minimnya lahan di sana. Dari sekian kenyataan getir itulah, pantas saja seandainya aroma perlawanan begitu menyengat dalam sajak-sajaknya.
Eksplorasi kopi jadi siasat Gong menyiratkan perlawan terhadap segala rupa ketidakadilan. Fikar W. Eda, penyair sekaligus anak seorang petani kopi, menganggap pelesiran dan pengembaraan Gong adalah “perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada penghargaan dan pembelaan terhadap petani” (hlm.xvi).
Bunga rampai puisi ini kentara menyuarakan kritik, sindiran, ingatan, serta pelbagai isu tentang kedaulatan negara, nasionalisme, dan ekonomi, bertolak dari kopi. Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan tak terkabarkan, mengisahkan tragedi kopi di negeri sendiri.[]


Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.  

Minggu, 28 September 2014

Tragedi, Kemaluan dan Wasiat Spiritual



Nafsu menggerakkan manusia demi meraih kemodernan, kemajuan, dan kepuasan. Manusia bernafsu, maka manusia ada. Manusia bagai patung tak berguna jika nafsu tak tumbuh di jiwanya. Meski bukan yang utama, nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa manusia. 
Eka Kurniawan mengisahkan gejolak manusia dan nafsu—birahi—lewat serangkaian tragedi, trauma, dan kisah tragis. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (GPU, 2014) adalah fragmen kisah-kisah mengenaskan perihal manusia, cinta, birahi, dan kondisi zaman yang berkarib dengan kekerasan tubuh dan mental. Tokoh-tokoh dalam novel ini lahir dari trauma, hidup bersama pilihan-pilihan rawan: membunuh atau dibunuh; disakiti atau menyakiti; mengalahkan atau dikalahkan. 
Pengisahan bermula dari sepasang bocah sial, Ajo Kawir dan Si Tokek, yang tepergok mengintip dua orang polisi sedang memerkosa Rona Merah, seorang janda gila. Si Tokek beruntung sanggup melarikan diri dari kejaran polisi. Petaka justru menimpa Ajo Kawir. Ia tak kuasa menyelamatkan diri.
Kedua polisi menyeret dan memaksa Ajo Kawir menonton adegan tak lumrah itu, secara langsung, tepat di hadapannya. Seorang bocah terkutuk akibat polah manusia dewasa tak beradab. Fragmen ini memantik ingatan kita perihal sebuah rezim di Indonesia, di mana kesewenang-wenangan dan kekerasan pernah digawangi oleh oknum aparat.
Kebiadaban manusia kadang memang tak sekadar urusan bunuh-membunuh. Kekerasan mental justru memberi luka tak terperi seumur hidup. Begitulah nasib Ajo Kawir. Peristiwa kelam membekaskan trauma psikologis, awal dari rentetan petaka sepanjang hidup.
Sejak peristiwa itu, Ajo Kawir bagai kehilangan ‘nyawa’. Kelelakiannya mendadak terlelap dalam ‘tidur’ yang panjang, tak tahu kapan hendak terjaga. Eka mengeksplorasi duka Ajo Kawir sebagai hulu cerita, menawarkan kisah dan kenakalan logika.
Tetapi fiksi memang menawarkan segala kemungkinan-kemungkinan meski terkesan konyol dan pincang. Kita bakal risih dan terkejut mendapati deskripsi Ajo Kawir sanggup  menjerat keyakinan seorang perempuan bernama Iteung, hingga kemudian bersedia diperistri. Pergumulan aneh dan tak wajar. Kelelakian yang ‘lumpuh’ bukan alasan manusia tak berpasangan.
Eka mendeskripsikan hakikat pernikahan di luar konvensi kewajaran. “Mereka sama-sama ingin menikah. Tak peduli pernikahan itu akan berlangsung tanpa kemaluan…” (Hlm.91). Pernikahan adalah urusan manusia, cinta, dan birahi. Eka mengajukan logika ‘cinta tanpa logika’ dalam novel berlabel 21+ ini. Nalar pembaca diajak menerawang jauh memunguti keserbamungkinan tanpa terjerumus bombastisitas imajinasi. 
Nalar cerita sederhana meski terkesan ganjil dan tak etis. Ajo Kawir berbahagia menikahi gadis pujaan meski tak berkemampuan ‘jantan’ secara badaniah. Tetapi kebahagiaan selalu meminta syarat. Pelbagai kabar buruk mendarat di hari-hari bahagia Ajo Kawir pasca-pernikahannya. Iteung hamil, dan tentu saja, bukan buah kelelakian Ajo Kawir. Nah!
Permenungan
Kisah bergerak dari satu derita ke derita selanjutnya. Ajo Kawir berkelana, berharap bisa memperpendek kesedihan. Pada sebuah pergulatan batin yang memuncak, Ajo Kawir sampai pada taraf permenungan klimaks. “Aku mulai mengerti apa yang diinginkan kemaluanku. Ia menempuh jalan para pencari ketenangan. Para sufi.  Para mahaguru. Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur lelap dalam damai, dan aku belajar darinya” (hlm123).
Eka secara cerdik mengimajinasikan sebuah dialog antara Ajo Kawir dan ‘kemaluan’. ‘Sang Kemaluan’ berpetuah, menyampaikan ajaran-ajaran bermanusia secara terhormat, mengajari hidup tanpa ambisi dan nafsu yang bergejolak. Kita bakal kesulitan menduga bagaimana adegan ‘dialog’ tersebut. Kegenitan pengarang menciptakan adegan surealistis ini membuat kisah Ajo Kawir bagai hidup di imajinasi yang entah, berdiam di antara ingatan-ingatan pelik. 
Dialog dengan ‘kemaluan’ jadi ruang permenungan, melahirkan keyakinan-keyakinan tak biasa. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala” (hlm.126). Ajo Kawir sanggup beritikad menjadi manusia bijak, lepas dari gelora nafsu dan rayuan birahi yang berkuasa.
Kemaluan menggerakkan peradaban, mengatur manusia-manusia menjauhi nalar waras dan beradab. Di bagian inilah tampaknya Eka hendak masuk dalam meditasi kedamaian, memberi ilham perihal banalitas nafsu penghamba modernitas.   
Penggarapan tema-tema kebirahian memang bukan hal baru dalam ranah novel Indonesia mutakhir. Keputusan memilih “kecacatan birahi” manusia sebagai pusat penceritaan, disertai deskripsi gejolak zaman dengan kecamuk kekerasan yang akut, juga permainan imajinasi nakal yang saut-menyaut, sehingga batas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak tersusun secara monoton, membuat novel ini menarik bukan hanya secara isi, tapi juga mengasyikkan di setiap penceritaannya.
Imajinasi dan ingatan berlompatan tak beraturan. Cerita tersaji secara tak tertib tapi masih terbingkai dalam satu lanskap utuh. Berkali-kali tawa saya meledak. Namun di antara tawa itu pula, menyembul segaris murung yang seketika berkuasa.   
Tiga tahun (2011-2014) proses penciptaan novel, saya kira setimpal dengan capaian kematangan Eka dalam menggarap eksplorasi ide, gaya, dan cerita. Membaca buku ini kita bakal mendapati kejutan demi kejutan hingga pada kalimat pamungkas.
Saya tak sampai hati menahbiskan novel ini masuk dalam jejeran roman cabul, meski potensi itu sedemikian kuatnya. Novel ini seolah hendak berwasiat: Nafsu dan kebirahian sepatutnya menuju pada hakikat kedamaian dan ketenangan jiwa manusia. Meski imajinasi pengarang justru kerap memberi godaan pada kita untuk memberi tafsiran-tafsiran ‘cabul’ di setiap deskripsinya. []

Dimuat di Kompas, 28 September 2014.

Minggu, 21 September 2014

Jalan Lain Menebar Optimisme


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seolah hendak menahbiskan diri sebagai presiden tak biasa. Jika kebanyakan politisi di republik ini menutup masa jabatan dengan jeratan kasus korupsi, SBY justru memberi persembahan sebuah buku kumpulan puisi.
Presiden berpuisi tentu bukan sebuah kreasi biasa. Buku berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) seolah-olah jadi rekaman pergulatan batin dan pemikiran SBY. Di sela kesibukan dan mobilitas yang tinggi sebagai presiden, SBY masih meluangkan waktu berpuisi. Kita pun membayangkan SBY menulis puisi di pesawat, di mobil, di tempat kunjungan, atau di Istana Negara.

Puisi bagi SBY jadi jalan menapaki pikiran-pikiran tak tersampaikan. Tuntutan presiden mengharuskan mentalitas SBY jadi manusia tegar dalam menghadapi serangan kritik dan hinaan. Presiden kerap jadi sasaran amarah dan hujatan kala rakyat sedang tertimpa bencana, himpitan ekonomi, serta kisruh politik. Lewat puisi SBY berkisah, melepas segala kesah. Namun tak sedikit pula puisi-puisi SBY memberi seruan dan ajakan tentang perdamaian, cinta, kasih, dan optimisme.
Optimisme
Jika dengan menulis sekian puisi sseorang layak disebut penyair, maka SBY adalah penyair optimis. Sajak-sajaknya bersuara pelan namun tegas, memberi pesan-pesan kekuatan dan kesabaran. SBY sadar posisinya sebagai presiden. Puisinya menampilkan wejangan dan penguatan kepada pembaca, yang tentu saja, ia anggap sebagai ‘rakyat’ yang mesti mendapat perhatian dan dukungan.
Puisi berjudul Demi Waktu mengagetkan kita perihal naluri estetik SBY. Puisi ini cenderung bersuasana sendu, sunyi. Simaklah:”Bulan di atas perahu/sendu//cemara di kaki gunung/termenung//…/Kutahu waktu menjanjikan berkah/Kuburu, pantang menyerah/Apalagi pasrah (hlm.14).
SBY seolah tak ingin terjebak dalam sajak-sajak bernada pesimistis. Kesadaran sebagai pemimpin panutan larut dan menyatu dalam sajak-sajaknya. Pun ketika bencana sedang melanda Indonesia. SBY tak lupa merekam pelbagai kejadian ke dalam puisi.
SBY berdoa di dalam puisi. Puisi Dalam Duka Kami Bangkit mengajak pembaca ikut merasakan kesedihan SBY sebagai manusia saat melihat negaranya tersapu bencana. Simaklah: ”Tetapi, Ya Rabbana/ kami tak pernah menyerah/ dalam pasrah, dan bukankah dalam musibah/ selalu ada berkah…” (hlm.25).
Pesan-pesan optimisme memang bertebaran dalam kumpulam puisi ini. Dalam pengantarnya, Putu Wijaya menilai “SBY telah merasakan potensi puisi, lalu memberdayakannya untuk memaparkan pikiran dan renungannya sebagai presiden dalam memimpin bangsa berjuang mengutuhkan kembali karakter yang retak”. Bait-bait puisi berisi petuah presiden kepada rakyatnya.
Politis
Di sisi lain, kita tak boleh lupa SBY adalah seorang politisi. Kiprah politik tentu merangsang gesekan kepentingan dengan lawan politik. Sebagai politisi, SBY tak lepas dari geliat kompetisi politik. Beberapa puisi menyiratkan sindiran-sindiran politis. Sindiran dalam puisi tentu tak berisi ujaran sarkastik. Medium puisi ‘memaksa’ SBY menata secara teratur kata yang hendak dipakai sebagai representasi pikirannya.
Kita mafhum, betapa kritik dan serangan politik kadang terasa begitu menusuk. Sewajarnya pula jika respons SBY dalam puisinya sarat akan satire. Kita bisa menera bagaimana kecamuk suasana hati SBY pada tanggal 28 Juli 2008. Tiga puisi lahir dalam sehari: berjudul Siapa Salah, Harus Menghujat, dan Populer, berisi satire politis yang tajam. Simaklah puisi Harus Menghujat:”Mereka menuding, keras, serempak/ “Mana tanggung jawabmu”/Mau ngomong apa kamu?’//Aku mengambil corong/ Berdiri//Mereka pergi” (hlm.98). SBY mengkritik sikap para lawan politik yang hanya mengkritik di belakang.
Begitu pula ketika sederet demonstrasi terjadi di era pemerintahannya. SBY bagai tak kuasa menahan getir di hati saat unjuk rasa berakhir bentrokan dan perusakan sarana umum. Baginya, demokrasi tak boleh berujung pada aksi vandalisme. Dalam puisi berjudul Taksi Jakarta, SBY menulis:”Inikah demokrasi/ dan kebebasan yang tidak terbatas?/ Tidak bisakah orang berunjuk rasa tanpa merusak?/ Adakah pula mereka yang beringas itu juga korban/ dari tangan-tangan serakah… (hlm. 119)
Membaca puisi-puisi SBY kita bakal dihadapkan pada peleburan kesadaran seorang presiden-politisi-manusia biasa yang merasuk-menyatu dalam sajak. Meski tak bisa dielakkan, ada sedemikian pencapaian estetik yang muncul dalam puisinya. Ketika SBY menulis tentang kerinduan dan cinta (puisi “Kangen” dan “Pelabuhan Terakhir”), misalnya.
Puisi, bagi SBY, barangkali tak didefinisikan sebagai karya seni semata. Puisi adalah penjelmaan sikap, pemikiran, rekaman kesan-kesan saat kunjungan, serta ‘jalan lain’ menyuarakan pesan selaku presiden, politisi, juga sebagai manusia tak berjabatan.
Cara terbaik menyambut kehadiran buku ini, sepatutnya, dimulai dari ‘kerelaan’ untuk tidak memusatkan penilaian pada pencapaian estetika dan imajinasi semata. Namun lebih sebagai ‘kenang-kenangan’ buah pikir SBY semasa menjabat presiden. Sependapat dengan Gus Mus, “Petinggi negeri menulis saja sudah merupakan sesuatu yang langka…”. Apalagi presiden. []

Dimuat di koran Jawa Pos, 21 September 2014

Jumat, 08 Agustus 2014

DAN PUISI MENGEKALKAN INGATAN...




 Sebuah puisi memungkinkan untuk dibaca sebagai representasi imajinasi, daya intelektual, pemikiran, dan ingatan sang penyair.  Puisi bisa jadi hasil dari pergulatan batin dan permenungan, atau hanya sebatas medium bagi penyampaian gagasan semata.
                Adalah sebuah kepuasan bagi penyair untuk sanggup  memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam rapor bakat dan kemampuannya, ke dalam bentuk  puisi (Kleden, 2004). Niat “memberikan isi dan makna” terbaca dari upaya penyair memasukkan pelbagai referensi dan ingatan ke dalam bait-bait puisi ciptaannya.
                Demikian pula dengan sejumlah puisi karangan Arif Fitra Kurniawan yang terhimpun dalam Eskapis (2014). Semacam kerja menelusuri pelbagai eksplorasi interteks, mengacu daya intelektual dan kesanggupan menghadirkan imaji dan referensi. Kerja ingatan, mengingat, diajukan sebagai tema besar dalam puisi-puisinya.
                Puisi adalah  hamparan ingatan. Penyair mengajak pembaca larut ke dalam tema-tema sejarah, waktu, masa kecil, dongeng, peribahasa, dan tokoh-tokoh besar. Eksplorasi referensi yang mendalam, menggoda kita untuk menduga kerja penyair  tak sebatas berimajinasi, mengisap rokok, atau menghabiskan bercangkir-cangkir kopi. Penyair menekuri kerja mengolah referensi sebelum masuk dalam proses penciptaan. Penyair yang baik adalah juga seorang pelahap buku yang rakus. Puisi diciptakan bukan dari ruang yang mengawang tak berisi.
                Tokoh-tokoh kartun, dongeng, dan beberapa peribahasa mengajak pembaca bernostalgia.  Puisi berjudul “Beberapa Peribahasa Yang Memperpanjang Umur Ingatan Kita” memberi gairah untuk membuka kembali memori saat menjadi remaja pembelajar , masa di mana sekolah mengajarkan peribahasa  dan petuah.
                Sejumlah  peribahasa jadi lahan olahan puitik tanpa terkesan klise dan didaktis. Puisi “Kecil-Kecil Anak, Sudah Besar Menjadi Onak”,“Pecah Menanti Sebab, Retak Menanti Belah”, atau “Sudah Nasib Nasi Menjadi Bubur”, misalnya.  Peribahasa ditahbiskan sebagai pintu gerbang memasuki medan puisi namun tak memberi harapan bagi pembaca menemukan makna konvensionalnya.
                Simaklah potongan puisi “Air Di Daun Talas” berikut: yang bernama ular adalah engkau// yang berwujud air adalah aku//sepasang panjang inisaling memistarkan. Jika konvensi makna peribahasa yang dipakai sebagai judul adalah “orang yang tak punya pendirian”, puisi ini justru sama sekali jauh dari pemaknaan konvensionalitasnya. Personifikasi “ular” dan “air” yang “saling memistarkan”, menyiratkan imaji tentang “sesuatu yang bersejalan”, terlepas dari tautan makna “tak berpendirian”.

Efek Percakapan

Penyair tak menakik makna peribahasa, atau serta merta memformulasikan peribahasa ke dalam puisi.  Penyair justru  mengimajinasikan keberadaan subyek peribahasa,dan menampilkan permenungannya ke dalam puisi.  Pilihan ini tentu memberi efek percakapan antara pembaca dengan teks tidak berlangsung sederhana. Ada tawaran-tawaran tafsir dari penyair kepada pembaca atas peribahasa yang dicomotnya.
                Penyair juga menghadirkan sejumlah tokoh kartun dan tokoh bersejarah. Puisi berangkat dari penafsiran atas ucapan, sifat, kisah, biografi tokoh. Puisi “Nobita”ditulis dengan gelora sinisme, menampilkan kritik atas lelaku tokoh dalam dunia kartun. Simaklah petikan puisi berikut: “aku bodoh, maka dari itu aku ada”.Ungkapan klasik khas  Descartes justru diintertekstualisasikan  ke dalam adagium sarat kritik. Eksplorasi terhadap tokoh-tokoh kartun tidak selinear saat eksplorasi terhadap peribahasa.
                Penggarapan puisi dengan memberi rangsang atas ingatan-ingatan memang  memberi kemudahan bagi pembaca untuk memulai sebuah percakapan dengan teks.  Pembacaan lebih mudah terpantik emosionalitasnya  ketika pembacaan sanggup menarik keluar pelbagai kenangan dari benak pembaca. Tekstasi pembaca memungkinkan untuk lebih mudah tercapai.
                Gerak zaman begitu cepat. Manusia disuguhi informasi dan teknologi namun terjebak dalam pikatnya. Modernitas justru melemahkan ingatan manusia. Publik gampang lupa dan abai pada historisitas diri. Eskapis jadi semacam ikhtiar menggali kembali historisitas ingatan  pembaca agar tersegarkan.
                Beberapa hal mungkin pernah dijumpai pembaca semasa kanak-kanak.  Ingatan saat guru mengajarkan peribahasa;tokoh-tokoh kartun yang pernah digemari; dongeng yang masih terngiang; semua terendap dalam ingatan. Puisilah yang kemudian beritikad menggali ingatan yang berdiam di ruang sunyi itu. Kadang, melawan lupa tidak melulu harus diisi orasi, selebaran, dan demonstrasi. Ingatan justru terkukuhkan lewat polesan puisi.
                Penggunaan sekitar tiga puluh kata “ingatan/mengingat” dalam puisi-puisi Arif memberi penegas betapa penyair memberi perhatian lebih perihal kerja ingatan/mengingat. Petikan puisi “Yang Kau Panggil Namanya Sambil Berlari” menggenapi keyakinan penyair atas rapuhnya ingatan menghadapi waktu dan gerak zaman. “betapa mustahilnya mengembalikan waktu/dan menjagasegala ingatan yang pernah erat memeluk/ tubuhnya—tubuhmu
Menekuri puisi Arif Fitra Kurniawan, dengan kesadaran untuk mencoba menarik satu pengikat dari sekian puisi-puisinya, tidak bisa tidak,saya teringat petilan sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad (2004). “ sesuatu yang kelak retak/dan kita membikinnya abadi”.
                Dalam resepsi saya, lewat sekumpulan puisinya, Arif seolah berbisik lirih kepada kita tentang sebuah aforisma: sesuatu yang kelak lupa, dan puisi membikinnya ingat. Jagat puisi adalah jagat ingatan. Bagi penyair, mengingat, barangkali, adalah semacam kata lain dari puisi.

(Suara Merdeka, Minggu 3 Agustus 2014)

Kamis, 19 Juni 2014

Lebih Dalam dari Sekadar Pergundikan

Sejarah adalah teka-teki yang tak pernah utuh. Buku-buku sejarah menampilkan narasi bertabur peristiwa dan orang-orang besar. Kita membaca sejarah bereferensi tokoh, tempat, peperangan, heroisme, dan perjanjian-perjanjian. Buku sejarah menyapa lewat kisah, data, fakta, dan perspektif.

Tapi ini bukan buku sejarah. Judul buku bisa menipu seandainya kita tidak lekas membaca beberapa pengakuan para pesohor di kover belakang. Buku Semua untuk Hindia (KPG, 2014) karangan Iksaka Banu adalah sehimpunan cerpen bereferensi sejarah. Tema-tema sejarah Hindia Belanda, sejak kedatangan Cornelis de Houtman hingga era kemerdekaan, tidak berpusat pada tokoh dan peristiwa besar. Cerpen Iksaka Banu justru lahir dari petilan-petilan kisah persinggungan manusia Belanda dan bumiputera, yang menaut pada fragmen-fragmen kesejarahan. Cerita bergema justru dari pinggiran sejarah.

Persentuhan bumiputera dan Belanda tak mesti berisi intrik dan permusuhan. Sebagai individu, mereka tetaplah manusia yang saling memerlukan. Pekerja Belanda datang ke Hindia tanpa memboyong serta keluarga. Mereka bagai tiba-tiba menjadi orang penting saat mendarat di Hindia. Tuntutan biologis mendorong mereka menjalin hubungan dengan bumiputra. Bukan sebuah hubungan pernikahan, tapi sebatas piaraan (baca: pergundikan); pelampiasan nafsu semata. Pandangan Belanda menganggap pernikahan resmi hanya bagi sesama totok.

Pergundikan memunculkan fenomena kaum nyai di Hindia. Para nyai kerap diperlakukan semena-mena, bisa diusir kapan pun si totok mau. Cerpen Stambul Dua Pedang, sebaliknya, mengisahkan pergundikan tak biasa. Cinta Matthijs Adelaar van Rijk benar-benar subur kepada Sarni, gadis bumiputera, istrinya. Ia bahkan rela berduel secara jantan dengan lelaki bumiputera yang diketahuinya menjalin hubungan gelap dengan Sarni.

Van Rijk mengakui:”..tak banyak orang Belanda memanggil pasangan pribuminya dengan sebutan ‘istri’. Kupanggil kau ‘istri’ karena sejak awal aku mencari istri … Kuabaikan pandangan menghakimi para sejawatku”. Van Rijk bagai “menyatu” bersama Hindia Belanda, berkat cintanya pada Sarni. Cerpen ini mengejawantahkan sisi lain dari kisah cinta pergundikan. Tak semua totok berkelakuan sembrono.

Pengarang terus menggali dan mengeksplorasi tema pergundikan agar tak semata berkisah perihal percintaan ‘liar’ bumiputera-Belanda. Ada misi harga diri dan pengukuhan identitas. Melalui pendekatan nalar kemanusiaan, cerpen Gudang Nomor 012B mengkritik sikap para totok yang kerap melecehkan anak hasil pergundikan. Hans Peterverblekken mendapat kritik dari atasan, Komiaris Gijs, karena pandangannya yang memihak tradisi bumiputera.

Hans memang seorang peranakan, dan tumbuh di sekitar uluran tangan para bumiputera. Komisaris Gijs menilai Hans tak mewarisi watak Belanda yang cekatan dan hemat. Cercaan membawa Hans pada satu titik di mana ia berani mempertanyakan kembali keberadaban Belanda yang diagung-agungkan atasannya itu.”Tidak dibutuhkan setetes pun darah Belanda untuk menjadi ‘orang beradab’. Sering terjadi sebaliknya. Ayahku totok, tapi tanpa beban menghamili tujuh gadis pribumi…”. Gugatan Hans menjadi ajakan untuk mengabarkan keberadaban manusia tanpa menilai asal-usul. Pengarang kentara meracik dialog sarat kritik, namun tak abai pada pesan dan makna.

Dan keberadaban pulalah pusat dari derajat seorang manusia. Cerpen Semua untuk Hindia mengisahkan kontradiksi kemanusiaan. De Witt, wartawan De Locomotief berkebangsaan Belanda, adalah saksi tragedi Perang Puputan di Bali. Di hadapan De Witt pembantaian besar-besaran terjadi. Bangsa yang ia agungkan berkat kemodernan pikiran justru tak ubahnya bangsa penindas dan pembunuh. Fragmen ini mengguncang jiwa dan nurani De Witt. ”Benarkah kehadiran kami di sini atas nama pembawa peradaban modern, diperlukan?” Modernitas mendapat kritik akibat kelakuan manusia-manusia penghamba kekuasaan.

Jeli
Dalam pengantarnya, Nirwan Dewanto menangkap kekukuhan pengarang untuk tetap berlaku ilmiah. “Ia tidak menyelundupkan unsur-unsur fantastik ke dalam pengisahan”. Sejarah diurai secara jeli, meski sebenarnya kedaulatan imajinasi pengarang sepenuhnya berkuasa. Kecenderungan ini membuat pengarang “seringkali membulatkan kisahnya dengan serba-kebetulan”.

Beberapa cerpen secara eksplisit justru menampilkan tarikh cerita, merujuk pada tautan peritiwa bersejarah. Pengarang bagai tak ingin tergelincir dalam anakronisme. “Aku-tokoh” menjelaskan, menegaskan, dan menceritakan konteks cerita, yang sesekali dilengkapi keterangan penjelas agar pembaca tak ‘tersesat’. Simaklah beberapa tarikh yang muncul sebagai acuan cerita: 20 September 1906 (Semua untuk Hindia, tentang Perang Puputan Bali); 3 Mei 1830 (Pollux, tentang pengasingan Pangeran Diponegoro ke Maluku), dan 8 Oktober 1740 (Bintang Jatuh, tentang pembantaian kaum Tionghoa oleh Belanda).

Kisah bertarikh dalam cerpen memungkinkan pembacaan kritis, merujuk ke peristiwa bersejarah. Pembaca bakal terangsang menjelajahi buku-buku sejarah demi mencapai tekstase cerita. Buku ini pantas jadi referensi memahami Hindia agar kita tak mewarisi pemahaman sejarah yang ‘hitam-putih’, bermisi keberadaban manusia, dari masa ke masa. Gugatan-gugatan kecil menetes dari celah sejarah, menjauhkan dari ‘penghakiman’ atas kesalahan dan kesembronoan pelaku sejarah di masa lalu. []

dimuat di Jawa Pos ( 8 Juni 2014)

Rabu, 14 Mei 2014

Dari Avonturir (Sastra) Dunia untuk Desa



Untuk ke sekian kalinya, beberapa hari silam, saya berkunjung ke rumah Sigit Susanto di Boja, Kendal. Tidak setiap hari saya bisa menemuinya. Ia menetap di Swiss, dan hampir setiap tahun menyempatkan pulang demi sebuah hajatan sastra tahunan yang ia gagas bersama rekan-rekannya. Kepulangannya pun tak sebatas melepas kerinduan. Parade Obrolan Sastra tahun ini memasuki sesi ke VII. Beberapa tokoh sastra kenamaan pernah menghabiskan malam dalam acara ini, sebut saja Saut Situmorang, D. Zamawi Imron, Agus Noor, Ahmad Tohari, Martin Aleida, F. Rahardi, I Wayan Sunarta, dan Remy Sylado. Setiap tahun acara selalu menarik, namun yang lebih menarik bagi saya justru sosok Sigit Susanto, tokoh di balik agenda bermanfaat ini. 

Saya berkesempatan menghabiskan malam  bersamanya, mengobrolkan pengalamannya bertualang, sekaligus mengobrolkan tokoh-tokoh sastra yang ia gemari. Saya lebih menyebut Sigit sebagai avonturir sastra. Sejak hijrah ke Swiss, ia sudah bertualang di hampir 36 negara. Pengembaraannya bukan sebatas uforia turisme. Sigit memprioritaskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menurutnya memiliki memori sejarah, atau berkaitan dengan para tokoh sastra dunia. Alasannya: di Eropa, bukan hal baru membicarakan sastra dalam buku panduan wisata. Selain itu, Sigit menyadari gairah membaca sastra di Indonesia mulai bergeliat, dengan demikian perlu adanya perkenalan lebih jauh perihal sastra dan satrawan dari negeri yang ia kunjungi. Catatan perjalanan tersebut tertuang dalam tiga jilid buku yang ia sudah terbitkan: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. 
 
Pengetahuan dan kecintaannya pada karya sastra dunia, serta para nobelis sastra, membuat tujuan tempat yang ia kunjungi selalu berdasarkan pertimbangan kaitan dengan sastrawan tertentu. Sigit begitu sumringah ketika mengunjungi tempat yang dulunya sempat disinggahi para sastrawan dunia. Alhasil, di rumahnya berderet buku karangan nobelis, yang mayoritas berbahasa asing, dan pernah ia kunjungi tanah kelahirannya. Apa saja buku nobelis sastra yang ada di sana, tak perlu saya sebutkan. Tapi saya kira lumayan lengkap. Perpustakaan ini gratis bagi siapa pun yang ingin pinjam. 

Tentang pengarang asal Irlandia itu, Sigit mengaku sudah menamatkan seri Ulysses jilid 1-3 bersama Reading Group Yayasan James Joyce di Zurich sebanyak dua kali, dan bahkan, hendak mengulang membaca kembali untuk ketiga kalinya. Ketekunan membaca Ulysses selama 6 tahun lebih, meski menurut saya justru sangat lambat, membuatnya begitu menguasai detail dan makna novel ini. Sigit menganggap karya Joyce begitu detail dan sangat ensiklopedis. Sigit juga kesengsem pada Frans Kafka. Dari kecintaannya, ia tuntas menerjemahkan Proses karya Frans Kafka, yang meski sudah dibeli penerbit besar di Indonesia, belum juga terbit. Terhadap nasib terjemahannya itu, Sigit tampak sedikit murung.  

Buku dan “Pembalasan Dendam”
Saya hampir menghabiskan sebungkus kretek ketika Sigit mulai bercerita tentang buku-buku murah yang ia beli di negeri asing. Di negara mana pun yang ia tuju, buku selalu jadi incaran menggiurkan. Membeli buku murah kerap mengingatkannya pada masa ketika ia harus menjual sepasang sepatu demi membiayai hidup saat mahasiswa. Namun, hasil berjualan sepatu itu terpaksa berkurang saat ia menjumpai buku Agatha Cristie di loakan. Buku lebih menggiurkan ketimbang sepiring nasi. Ia pun membelinya tanpa menyesal.

Hasil dari avonturnya ke pelbagai negara, Sigit memboyong buku-buku kelas nobel ke desanya. Sebuah rumah tak istimewa disulap menjadi rumah buku, bernama Pondok Maos Guyub. Sigit menerangkan, hasratnya mengumpulkan buku dan membuat perpustakaan adalah sebuah obsesi “balas dendam” sebagai anak desa. Sigit mengenang masa di mana ia nekat membuka perpustakaan di bekas warung jualan bubur ibunya. Buku didapat dari sumbangan warga desa. Pun pada akhirnya perpustakaan itu tutup karena keterbatasan dana dan tidak ada buku baru. Obsesi mendirikan perpustakaan kemudian terwujud pasca menetap di Swiss dan justru semakin berkembang.

Meski mayoritas perpustakaannya berisi buku berbahasa asing, sedikit pun Sigit tak risau. Ia yakin, kehadiran buku-buku bakal menularkan hasrat berliterasi, membaca ataupun menulis. Buku kerap memberi sihir intelektualisme. Bersama beberapa rekan, Sigit sudah menggagas Reading Group. Novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hermingway dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, di antaranya. Jarak bahasa tak menyurutkan gairah menghidupi literasi di desanya.  

Tahun ini, salah satu cita-citanya kembali terwujud. Setelah Pondok Maos Guyub, forum tahunan Parade Obrolan Sastra, Perpustakaan Rumah Pohon kini berdiri. Sebuah angan-angan yang lahir setelah menyaksikan betapa di negara yang ia kunjungi, banyak berdiri rumah pohon bagi anak-anak untuk menghabiskan waktu sambil membaca. Saya berkesempatan merasakan kedamaian di perpustakaan pohon miliknya. Saya tidak tahu obsesi apalagi yang hendak Sigit ciptakan demi memekarkan hasrat berliterasi di desanya. 

Terasa begitu cepat obrolan itu berlalu. Subuh sudah di depan mata. Perbincangan malam itu belum menampakan tanda-tanda kebosanan. Di antara obrolan yang menyusup ke pelbagai wilayah dan tokoh dunia itu, saya justru bersolilokui di dalam hati. Kehidupan kesusastraan hari ini memang sangat memerlukan orang semacam Sigit Susanto. Di antara arus kapitalistik dan teknologiisme yang menggerus minat berliterasi; kesulitan mengakses buku-buku berkualitas; serta dominasi pusat dalam kesusastraan, gerakan literasi di desa dan di rumah-rumah adalah sebuah angin segar demi menggeliatkan etos berliterasi. Etos menggerakkan literasi tak perlu mengandalkan uluran birokrat dan pejabat, yang kita semua tahu, melulu berpamrih politis. Spirit yang terkumpul dari kunjungannya ke sudut negara, spirit non-kapitalistik yang kini berbuah di sebuah desa yang sejuk, sesejuk aroma literasi yang menguar dari perpustakaan milik Sigit Susanto. 

Pagi pun semakin mendekati terang, saya pamit untuk tidur meski Sigit masih bernafsu untuk berbagi cerita. Di dalam tidur, tiba-tiba saja saya memimpikan kampung halaman saya…[]
5 Mei 2014, Suara Merdeka