Sabtu, 13 Desember 2014

IMAJINASI KEMATIAN DAN PESAN KEMANUSIAAN

Perang dan pertikaian kerap menyisakan ingatan dan kenangan pedih bagi korban. Perang tersulut akibat fanatisme suku, ras, agama, dan politik. Kita belum lupa serentetan tragedi di negeri ini. Konflik separatisme di Aceh, konflik antarsuku di Kalimantan, serta kerusuhan disintegrasi di Timor-Timur. Di kancah internasional, pembantaian pernah terjadi di Rwanda, Bosnia Herzegovina, dan Palestina. Bahkan, sampai hari ini perang belum lelah menebar peluru di Palestina.  
Dari berbagai konflik inilah, buku kumpulan cerpen Juragan Haji karangan Helvy Tiana Rosa mencoba “menyusup” dan menampilkan petilan kisah di balik tragedi berperspektif korban. Buku yang pernah terbit tahun 2008 dengan judul Bukavu ini, seperti sengaja mengajukan cerpen-cerpen berlatar tragedi dan konflik kemanusiaan. Ada amis darah bercecer, tubuh-tubuh tertembus peluru, tangis pilu anak-anak, dan ratapan para istri ditinggal mati sang suami.  

Helvy membangun cerpennya bukan pada narasi besar di mana konflik berpusat. Cerita justru dipungut dari petilan kisah para korban, yang terkena langsung  imbas konflik. Korban kerusuhan dan perang memang tak pernah jauh dari pengalaman-pengalaman getir perihal kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Helvy mengimajinasikan “kenyataan” dalam cerpen-cerpennya dengan getir dan mengharukan tanpa kehilangan ciri khas: keberpihakan pada kemanusiaan.
Cerpen Ze Akan Mati Ditembak mengisahkan impian seorang pemuda perihal perdamaian dan pembagian wilayah di Timor Timur, pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Ze kehilangan banyak keluarga sejak konflik meletus. Ia tak kuasa jika harus semakin terpisah dari saudara, keluarga, dan teman-temannya. Dan kita pun tahu, niat baik Ze tak akan pernah terwujud. Sebuah peluru justru menyambut tubuhnya ketika hasrat menyuarakan perdamaian itu begitu besar.
“Ze mengerang. Matanya basah. Ternyata cuma seperti ini rasanya ditembak. Tidak terlalu sakit, seperti yang selalu dibayangkan” (hlm.52). Ironisme kematian. Ze mewakili satu dari sekian banyak masyarakat Timor Timur yang dulu mengimpikan perdamaian namun justru mati sia-sia. Kematian, bagi mereka yang terjepit di daerah konflik, sudah terbayangkan jauh-jauh hari. Hidup di daerah konflik seolah-olah justru lebih menyakitkan ketimbang kematian itu sendiri.
Helvy memang cenderung memberi deskripsi kematian secara dramatis dan gamblang. Sekian cerpen menempatkan kematian demi kematian sebagai jalan mengingatkan manusia. Kematian kerap disalahpahami sebagai penyelesaian oleh pihak bertikai. Mereka membunuh sebagai lampiasan emosi sekaligus pembenaran atas “apa” yang mereka yakini.
Dalam cerpen Darahitam konflik antara suku Dayak dan Madura telah membuat banyak orang-orang saling curiga, sewaktu-waktu saling bunuh hanya karena amarah sesaat. Tokoh Alawy, lelaki penolong yang dengan sukarela memberi pendidikan anak-anak korban konflik, justru jadi korban sentiman warga setempat. Simaklah petikan berikut: “Seperti ada yang meledakkan dirinya, saat ia temukan kepala lelaki itu, tepat di depan pintu rumahnya. Siapakah yang tega mengayau manusia penolong seperti lelaki itu?” (hlm.63).
Helvy kentara tekun dan berambisi menghadirkan imajinasi kematian dan ceceran darah di setiap cerpennya. Namun, lewat jalan inilah, Helvy secara eksplisit menyampaikan pesan kemanusiaan meski terkesan kontradiktif. Helvy menghadirkan kengerian tingkah polah orang-orang tak beradab dalam cerpennya demi menarik sebuah pesan spiritual-kemanusiaan.
Cerpen-cerpen Helvy bergerak cepat melintasi berbagai kisah dan tragedi. Kita dirayu untuk berimajinasi dalam kengerian dan kesedihan, dari satu kematian ke kematian selanjutnya. Langkah ini membuat pembaca hanyut dalam emosi, diaduk-aduk, digeret dalam ketegangan cerita.
Pada akhirnya, kita akan sampai di satu titik kesadaran, di mana kita seperti menonton hamparan sejarah kelam kemanusiaan yang diputar ulang. Sastrawan Budi Darma bahkan menangkap sinyal bahwa Helvy memulai menulis cerita “dengan “ancang-ancang” penelitian terlebih dahulu”. Cerpen-cerpen Helvy layak dibaca sebagai ikhtiar untuk terus-menerus menebar kesadaran kemanusiaan secara universal. []

Juara 1 Lomba Resensi Buku FLP Milad ke-18, 2015
Widyanuari Eko Putra

MEMBELA PETANI KOPI LEWAT PUISI

Seorang penyair kerap bermesraan dengan secangkir kopi. Kopi jadi santapan penggali imajinasi saat penyair bergumul dalam kreatifitas mencipta puisi. Kopi hadir sebagai ‘teman’ sekaligus saksi. Melahirkan puisi bersama pekatnya hitam kopi. Penyair Gol A Gong berkeputusan mengeksplorasi kopi, bukan sebatas sebagai teman menulis puisi, melainkan mengangkat dunia kopi ke dalam puisi.
Keputusan itu dimulai dengan mengadakan sebuah perjalanan panjang, pelesiran menyinggahi kedai kopi ke berbagai pelosok di Sumatera. Perjalanan dimulai sejak 1 Mei hingga 23 Juni 2012, mulai dari nol kilometer di Pulau Weh, Aceh, hingga ke pelosok daerah-daerah penghasil kopi.
Merasai kopi sekaligus membaca kenyataan-kenyataan yang luput dari pandangan khalayak, perjalanan kopi memberi pengetahuan dan pemahaman tak biasa bagi Gong. Hasilnya, sebuah buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dipersembahkan sebagai bukti keseriusan Gong menekuri obrolan demi obrolan di kedai kopi, juga dengan para petani kopi.
Penggarapan kopi sebagai rujukan puisi tentu tak sebatas pamrih estetika. Gong mengajukan kopi sebagai jalan kritik, mengingat, memihak, dan melawan. Pengembaraan di sejumlah daerah penghasil kopi sengaja ditempuh demi interaksi langsung dengan petani. “Aku merasakan pahitnya kopi, pahitnya petani kopi, pahitnya kehidupan mereka si penikmat kopi yang menghabiskan malam di kedai-kedai kopi” (hlm.xii).
Pengembaraan dan pelesiran kopi menghasilkan temuan-temuan perihal penindasan dan ketidakadilan. Urusan kopi tak lepas dari isu ekonomi, politik, sejarah, nasionalisme, kapitalisme. Sejumlah 49 puisi tercipta berkat pertemuan dan obrolan dengan petani, penjaja, penikmat kopi.
Keharuman kopi produksi petani dalam negeri begitu tenar, diiklankan di televisi setiap hari. Indonesia seperti surga bagi pecinta kopi. Namun, ironisnya, kesejahteraan tak kunjung dinikmati kaum petani. Kopi sepantasnya dibaca sebagai wajah dan harga diri negara. Dalam puisi Kopi Pangku, penyair menganggap urusan kopi bisa ditautkan dengan isu kedaulatan negara.
Simaklah petikan berikut:“aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri/ (hlm.8-9). Harga diri bangsa disimbolisasikan lewat kopi. Kopi jadi identitas, merujuk hasil kekayaan asli alam negara.
Banyak petani hidup serba pas-pasan meski panen kopi selalu melimpah. Hasil panenan kerap dibayar murah oleh para tengkulak. Tak hanya itu, lahan perkebunan kopi kian hari kian tersingkir. Puisi Belajar pada Kebun Kopi mengangkat isu berkurangnya lahan perkebunan akibat semakin tergusur pembangunan. Gong menulis: “Di kampungku kebun kopi minggir tersingkir/ dikalahkan petak-petak sawah elektronik” (hlm.47). Puisi merekam keterpinggiran petani kopi atas tekanan harga murah dan menyempitnya lahan.
Sebaliknya, di negara tetangga, kebun kopi malah jadi dambaan. Dalam lawatannya ke Singapura, Gong menulis puisi Orchard Road. Berikut petikannya: ”Kau meminta mas kawin padaku/ menyulap apartemen jadi kebun kopi”. Kebun kopi lebih bernilai dari kemewahan apartemen. Singapura tentu memimpikan lahan kebun yang luas karena minimnya lahan di sana. Dari sekian kenyataan getir itulah, pantas saja seandainya aroma perlawanan begitu menyengat dalam sajak-sajaknya.
Eksplorasi kopi jadi siasat Gong menyiratkan perlawan terhadap segala rupa ketidakadilan. Fikar W. Eda, penyair sekaligus anak seorang petani kopi, menganggap pelesiran dan pengembaraan Gong adalah “perjalanan yang akan mengantarkan siapa saja kepada penghargaan dan pembelaan terhadap petani” (hlm.xvi).
Bunga rampai puisi ini kentara menyuarakan kritik, sindiran, ingatan, serta pelbagai isu tentang kedaulatan negara, nasionalisme, dan ekonomi, bertolak dari kopi. Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan tak terkabarkan, mengisahkan tragedi kopi di negeri sendiri.[]


Pernah dimuat di Kabar Probolinggo, 16 Desember 2014.  

Senin, 24 November 2014

“Mengejek” Indonesia Secara Kritis



Karya sastra tak pernah jauh dari pengisahan manusia dan sekitarnya. Lewat imajinasi pengarang, manusia ditafsir dalam pelbagai perspektif. Kebebasan fiksional merangsang pengarang menggali nilai-nilai kemanusiaan  secara detail untuk disajikan dalam garapan puisi, cerpen, dan novel. Manusia tampil sebagai tokoh rekaan, berkelindan dalam cerita, konflik, dan pesan. Para intelektual menguak dan mempelajari manusia merujuk pada karya sastra, berpamrih membaca gejala zaman.
Buku Mengejek Indonesia: Sejumlah Kajian Sastra karangan Dr. Harjito, M. Hum adalah satu dari sekian kerja membaca manusia bersandar pada tafsir karya sastra. Pemaknaan atas simbol, dialog, pesan, konflik, dan imajinasi tokoh, jadi bekal membaca permasalahan kemanusiaan. Kajian terhadap cerpen, cerita anak, cerita rakyat, novel, berhasil memantik wacana gender, kekuasaan, dan modernitas.

Kita bisa menyimak temuan wacana gender dalam kajian berjudul Di Balik Sosok Wanita (hlm. 21). Mengajukan cerpen Makeba dan Kitti karya Pamusuk Eneste, Harjito menguak kritik tajam perihal gender dalam kedua cerpen tersebut. Kritik tertuju pada masyarakat kita yang masih melanggengkan kesadaran dominasi patriarki, mudah menyudutkan kesalahan pada pihak wanita. Seorang istri yang tak kunjung memiliki momongan akan cenderung disalahkan ketimbang pihak suami, misalnya.
Selain itu, perempuan luar negeri (baca: Barat) masih dijadikan sebagai model ideal, kiblat pemaknaan kecantikan. Dalam tulisan berjudul Cantik Itu, Harjito menganggap para perempuan masih melakoni “pemujaan tubuh didukung pesona industri media berupa citra perempuan dengan tubuh sempurna. Rambut menakjubkan, paras menawan, hidung mancung, bibir sensual, dada berisi, pinggang ramping, atau paha dan kaki yang singsat” (hlm.19). Perempuan lupa bahwa kodrat mereka sebagai manusia dari negeri Timur tentu punya citra berbeda dari perempuan Barat. Pada tahap inilah, masyarakat kita belum memiliki konsep sadar gender.
Dari karya sastra pula, kita bisa membaca konstruksi kekuasaan yang berlaku dalam pengisahan ceritanya. Imajnasi tokoh dibentuk dalam bangunan sistem kekuasaan dan mimesis. Karya sastra jadi medium ampuh menyampaikan kritik meski tesembunyi dalam kelindan fiksionalitas. Tak sedikit karya sastra sengaja dibuat sebagai wacana kritik karena sifatnya yang imajinatif.
Harjito mencomot cerpen Telor karangan Putu Wijaya sebagai cara menyuarakan sindiran sekaligus kritik terhadap kekuasaan yang menindas. Indonesia memang pernah sengsara bertahun-tahun lamanya di bawah cengkram rezim otoritarian Soeharto. Mengajukan kritik tanpa siasat dan pertimbangan yang matang adalah tindakan ceroboh dan konyol. Sangat mungkin nyawa jadi taruhan.
Cerpen Telor mengisahkan hidup seorang jendral yang disegani, yang kemudian wafat dan mewariskan sebutir telor untuk keempat anaknya. Singkat cerita, untuk membagi telor tersebut disewalah seorang konsultan asing. Dari pengisahan yang tidak masuk akal ini, pada akhirnya, Harjito menyimpulkan: “[T]eks Telor merupakan reaksi tematis atas kondisi/ tradisi dominan sang penguasa yang terjadi di Indonesia. Dalam bahasa sederhana, teks Telor merupakan upaya mengejek diri sendiri, diri bangsa Indonesia” (hlm.103).
Potensi menjadi sebuah buku kajian yang bertenaga sedemikian besar seandainya penulis tidak tergoda mengikutsertakan sekian tulisan populer, yang pada dasarnya tidak mencakup kriteria kajian. Meskipun tulisan–tulisan tersebut, menyitir pengakuan penulis dalam pengantar:“berbicara perihal manusia”, tetap saja ada bangunan konsistensi yang retak akibat hal tersebut. Kita bakal bimbang saat mendapati campur baur antara kajian analitis dan tulisan populer bersatu dalam satu bunga rampai.
Meski demikian, buku ini setidaknya berhasil mengajak kita mencicipi pelbagai teori dan disiplin ilmu guna menempuh perjalanan melelahkan dalam rangka “mengejek” Indonesia lewat pemaknaan karya sastra. Temuan perihal kritik terhadap kesetaraan gender dan konstruksi kekuasaan adalah sedikit dari apa yang dibeberkan buku ini. Kajian-kajian tersebut membuktikan permasalahan kekuasaan dan kemanusiaan di Indonesia masih belum beres.[]

 Dimuat Harian Rakyat Jateng, 22 November 2014

Minggu, 26 Oktober 2014

Api Revolusi Bung Karno dalam Puisi


 
Bung Karno masih memiliki umat. Sekian puluh tahun setelah beliau wafat, ketokohannya masih menebar pesona. Potret Sang Proklamator masih terpampang di gedung-gedung, rumah, kaos, tembok, pinggir jalan. Buku-buku warisannya pernah jadi barang bernilai fantastis semasa Orde Baru. Imajinasi ketokohan Bung Karno terekam dalam foto-foto memesona, kutipan, buku, dan sekian rekaman pidato.
Bung Karno seperti berdiam dalam ingatan dan kenangan para pengagumnya. Tulisan-tulisannya kerap menginspirasi intelektual untuk menerbitkan buku berisi kajian-kajian pemikiran. Para seniman rupa tak jarang mengeksplorasi tampang Bung Karno ke dalam lukisan atau mural di tembok-tembok jalanan. Tak ketinggalan, para politikus pun kerap naif memajang foto diri bersanding dengan Bung Karno saat kampanye politik. Pesona Bung Karno belum pudar meski pernah digencet habis-habisan semasa Orde Baru. 

Pada konteks inilah, saya menyebut buku Kepada Bung Karno: Kumpulan Puisi 1960-2014 karangan Bungaran Antonius Simanjuntak, adalah satu dari sekian kerja kreatif yang lahir dari kekaguman pada Bung Karno. Puisi berisi arsip ingatan dan kenangan Bungaran saat mengalami pemerintahan Bung Karno. Buku puisi lahir sebagai persembahan kepada Sang Proklamator. Puisi-puisi mengalir sejak Bungaran mulai menapaki jalan sebagai mahasiwa.
Peristiwa menjadi mahasiswa diawali dengan adegan sendu di pelabuhan. Puisi bertajuk Di Atas KM Kangean, mengisahkan episode keberangkatan dari kampung halaman menuju tanah rantau. Puisi penuh haru dan kesedihan. Berikut petikannya: Mereka yang di geladak kapal masih menyeka air mata/ Tapi aku tidak menyeka apa-apa/ karena aku tidak diantar oleh ayah bunda/ walau negeri tujuanku adalah kota yang lama kudambakan/ Jauh di sana katanya di kaki Gunung Merapi.
Puisi bertitimangsa 17 Agustus 1960 mengisahkan adegan pilu: perpisahan saat kapal bergerak menjauhi pelabuhan. Pelabuhan memang gampang mengingatkan kita perihal pertemuan dan perpisahan. Dalam puisi ini, aku-liris merasa cemburu. Keberangkatannya menuju pulau seberang tak disertai lambaian tangan atau pun tangis perpisahan dari orang tua. Aku-lirik menuju sebuah kota “di kaki Gunung Merapi”, Yogyakarta, tempat Bungaran berkuliah.
Bungaran menempuh studi saat revolusi sedang bergejolak kencang. Indonesia di bawah rezim Bung Karno adalah negara galak dan bersuara lantang. Orasi dan pidato Bung Karno menggelegar, membakar jiwa-jiwa revolusioner mahasiswa. Bungaran seperti terjilat kobaran api revolusi. Terpukau dengan Bung Karno, semangat revolusi muncul dalam sekian puisinya.  
Dalam puisi Tri Komando Rakyat, Bungaran menulis: sekarang bung!/ kami sudah rela mati untuk bangsa/ dan negara/ sekarang bung/ kita perang ke Irian Barat. Puisi mirip pamflet pergerakan. Mahasiswa saat itu tentu minder jika tak terjun ke ranah politik. Bung Karno sebagai panutan memang berpotensi membakar jiwa-jiwa muda. Barangkali sejak saat itulah, Bungaran seperti menemukan sosok “bapak” sejati, tersihir pikiran dan kegagahan Bung Karno saat pidato di atas podium. Pilihan mengagumi Bung Karno terus mengakar pada Bungaran hingga meraih sarjana.   
Bisa dimaklumi jika banyak dari puisi Bungaran menghadirkan “Bung Karno” sebagai tempat berkeluh dan mengadu. Bungaran kerap mengingat Bung Karno penuh nostalgia. Puisi berjudul Laporan Kepada Bung Karno mengawetkan kerinduan itu: aku merindukan kelantanganmu itu/ acungan tanganmu yang kokoh/ dengan kacamata hitammu/ belanda tahu kau tidak gertak sambal.
Pemimpin memang harus berani bersuara lantang dan berjiwa pemberani. Di antara krisis kepemimpinan dan praktik korupsi yang menjangkiti para wakil rakyat, siapa saja bakal merindui sosok pemimpin berwibawa. Selain sikap kepemimpinan, Bungaran mengidolakan Bung Karno sebagai individu yang tak berambisi menguras uang negara.
Dalam puisi berjudul Sukarno Apa Pun Kata Mereka, Bungaran menulis: ada yang menyamakanmu dengan Soeharto/ katanya sama-sama otoriter, diktator/ mungkin benar/… aku tak peduli/ karena kau tak kaya/ tak korupsi. Pengaguman bersifat personal, mengarah pada sifat individu Sang Proklamator. Laku koruptif memang bisa merobohkan segala wibawa dan jasa.
Kekaguman Bungaran pada Bung Karno tentu tak berpamrih politik. Membaca sajak-sajak Bungaran, kita tak akan mendapati tendensi-tendensi politis. Kita justru bakal diajak berenang dalam ingatan-ingatan, kecintaan, kerinduan, serta pembelaan Bungaran kepada Bung Karno. Nostalgia bersama Bung Karno lewat puisi tentu lebih beradab ketimbang kegemaran politisi memajang foto diri besar-besar bersama Bung Karno, riasan ampuh pencitraan diri. Puisi-puisi Bungaran telah mengisahkan Bung Karno secara santun dan beradab. []

Dimuat Koran Jawa Pos 26 Oktober 2014

Jumat, 24 Oktober 2014

Bacaan Anak Mengisahkan Indonesia


 
Biografi dan kisah anak pernah jadi tema utama penggarapan novel dan buku bacaan untuk anak-anak di Indonesia. Buku diterbitkan dalam jumlah banyak dan beredar secara gratis di sekolah dasar. Buku bacaan terbit tak berpenampilan ‘mewah’, berilustrasi sederhana serta tak terlalu tebal, mengisahkan lika-liku kehidupan anak di desa dan di kota.
Buku berlabel “bacaan anak” di pojok kanan atas cover depan, memuat keterangan: “Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tidak Diperdagangkan Inpres Nomor...”. Buku-buku terbit tahun 1970 hingga 1990an, semasa era Orde Baru. Buku tersebut kini tertumpuk lesu di lapak-lapak buku bekas dan perpustakaan sekolah. Tumbangnya Orde Baru menggerus era keberadaan bacaan anak bermuatan politis-ideologis. Sejatinya bacaan anak bisa diajukan sebagai referensi pembentukan identitas dan imajinasi anak semasa Orde Baru.
Kita bisa melacak bagaimana pengisahan anak lewat sejumlah tema dan cerita dalam buku. Cerita dikemas dalam balutan semangat kebersekolahan, nasionalisme, keberpihakan pada pemerintah, optimisme, keberimanan, kemandirian, dan pengamalan Pancasila. Novel dikarang untuk menghadirkan idealitas tokoh anak menurut negara.
“Desaisme”

Lakon anak dalam novel dan bacaan anak seperti tak pernah jauh dari pengisahan desa. Imajinasi desa sebagai sumber lahirnya tokoh-tokoh besar dibentuk lewat sejumlah novel, mengisahkan bocah-bocah sukses dan teladan dari desa. Kita tentu belum lupa, Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto pernah mengikrarkan diri sebagai bocah yang tumbuh dan dibesarkan dari desa. Desa bagi kedua Presiden tentu ikut mengantar karakter dan pemikiran. Bacaan anak jadi pengabar realitas desa dan anak-anak di Indonesia.

Ninin Kurniasih dalam Desa, Sekolah, dan Benderaku (PN Balai Pustaka, 1984) menceritakan kondisi desa di Kota Garut dalam sebuah esai sederhana. Buku memuat sekumpulan karangan perihal kesan dan imajinasi desa dari anak-anak penyandang cacat. Pada mulanya, desa memang tak tersentuh pembangunan. Berkat pemerintah, program pengembangan desa, berupa kursus, dan pembangunan mulai masuk desa. Pemerintah menahbiskan diri dalam buku sebagai penyelamat.
Ninin berikrar:”Aku bercita-cita memajukan desaku kelak sesudah aku tamat sekolah. Aku ingin mengajar orang-orang yang belum berpengetahuan”. Desa identik dengan tempat orang tak berpengetahuan. Namun, dari desa justru terbit generasi pemimpin dan pembaharu. Ninin yang hendak membangun desanya, semisal. Kondisi kekurangan tak memupus niat bocah desa memajukan negaranya. Bocah dihadirkan sebagai agen pembangun negara. Cita-cita bocah semata-mata demi negara.
Lukas Palinggi Tana mengisahkan kondisi desanya di Toraja. Desa dalam kondisi penuh penderitaan karena pembangunan belum merata. Berkat program pembangunan pemerintah, desa mulai menapaki perubahan meski sedikit demi sedikit. “…Dengan adanya hasil rencana pembangunan lima tahun yang diadakan pemerintah Republik Indonesia, maka masyarakat di desa-desa telah mengalami perkembangan dan keinginan di berbagai bidang walau hanya nampak secara pelan-pelan”. Desa donobatkan sebagai subjek yang terus menerus mengejar kemajuan demi kehidupan seperti kota.
Bocah desa pun hadir sebagai penggembala, anak petani, anak orang miskin, serta pembelajar. Bocah di desa hidup berdekatan dengan laku menanam, memanen padi di sawah, bermain di sungai, berlari-lari di kebun, atau memanjat pohon. Pengalaman bocah di desa merangsang pembaca menginsyafi desa sebagai Tanah Air. Desa adalah Tanah Air sebenarnya. Kemajuan desa dipropagandakan sebagai tugas nasional bagi para bocah di desa.
Novel Di Relung Gunung (1983) karya Hudoyo MZ mengajukan lakon bocah penggembala sebagai pusat penceritaan. Desa memang identik dengan kambing, sapi dan binatang ternak lain. Menggembala hewan ternak tentu pekerjaan biasa tapi mengandung kearifan lokal dan pengamalan tradisi.
Alkisah, Lano seorang penggembala tapi tak berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah. Pendidikan justru terjadi di sawah, di kebun, dan di tepi sungai. Setiap hari Lano bertungkus-lumus dengan rumput dan sawah, menggembala sambil menikmati masa-masa bermain. Meski tak bersekolah, Lano adalah pribadi cerdik pandai. Tak bersekolah bukan alasan bagi Lano tak membaca buku. Lano meminjam buku teman-temannya yang bersekolah. Novel ini merangsang pembaca untuk tetap tekun belajar meski tak berkesempatan bersekolah.
Imajinasi desa dalam bacaan anak dibentuk melalui optimisme dan kecintaan pada negaranya. Lakon bocah di desa diisi dengan perwatakan tekun, rajin belajar, cerdik, pandai, serta bercita-cita tinggi. Novel dan bacaan anak menarasikan desa penceritaan tokoh-tokoh panutan. Idealitas tokoh anak sengaja dibentuk dalam novel agar ditiru serta jadi rangsangan para pembacanya. Tokoh Lano tentu mengharukan, tapi justru membanggakan: semangat belajar meki tak bersekolah.
Guru
Lakon bocah dalam novel anak tentu tak luput bercita-cita. Sekian cita-cita jadi rangsangan bagi tokoh untuk bersemangat menjalani hari-hari belajar di ruang sekolah meski penuh keterbatasan. Kondisi desa memang belum menyediakan ruang kelas penuh fasilitas. Guru justru dijadikan acuan bagi tokoh anak untuk menggali ajaran dan petuah. Pesan dan ajaran guru diingat dan diteladani sebagai panduan hidup si bocah agar tidak tersesat.
Novel Cintailah Bumi di Negerimu (Balai Pustaka, 1983) karangan Manto mengesahkan sosok guru sebagai panutan bagi bocah-bocah. Keterbatasan segala arus informasi membuat ajaran guru mesti diingat dan diteladani. “Segala pesan dan nasehat guru, akan saya jadikan cambuk untuk menempuh jalan hidup”.
Ajaran adalah cambuk. Anak-anak memaknai ajaran guru sebagi cambuk yang bersetia mengingatkan anak-anak saat hendak tersesat dalam pergaulan. Jalan hidup anak-anak dilakoni dengan berpegang teguh pada nasehat guru. Kita malu mengakui perilaku guru abad ini. Televisi mewartakan perilaku bejat para guru gemar menganiaya dan berbuat cabul. Guru-guru modern terjebak pragmatisme, gila harta tapi tak berobsesi menambah wawasan dan membeli buku. Bacaan anak mencoba menampilkan guru di masa Orde Baru sebagai penunjuk jalan anak-anak memetik cita-cita.
Dalam novel Butir-Butir Mutiara (Balai Pustaka, 1992) karangan Imam Hidayat pesan guru merangsang imajinasi perihal penemuan baru, kemajuan tehnologi, kemodernan, serta ilmu pengetahuan. Anak-anak di desa tentu sedikit saja berkesempatan melihat pemandangan di kota. Tokoh Udin mengingat cerita sang guru saat mengimajinasikan kemajuan desa berubah jadi kota.
“Tetapi Udin teringat lagi akan cerita Pak Guru. Jika ia menemukan sesuatu yang baru, dan kemudian desanya dibangun menjadi kota, kawan-kawan sekolahnya tentu akan seperti anak-anak sekolah yang dilihatnya di kota itu.” Sang guru tentu pernah bercerita tentang anak sekolah di kota. Cerita merangsang anak-anak untuk memajukan desanya agar seperti kota yang diceritakan sang guru. 
Cita-cita
Anak-anak bercita-cita setelah tergoda oleh cerita atau dongeng sang guru perihal berbagai profesi. Guru bercerita tentang berbagai profesi agar anak-anak terangsang menentukan masa depan dan cita-cita. Remy Sylado dalam novel Ketua Kelas Kita (Pustaka Indah, 1985) berpetuah perihal cita-cita lewat pesan ibu guru. “Pesan ibu kepada kalian semua, janganlah patah semangat. Cita-cita tidak selamanya ditempuh mudah. Kalau cita-cita mudah kalian raih, tentu cita-cita bukanlah lagi bernama cita-cita.”
Penjelasan Remy Sylado memberi seruan sekaligus motivasi. Cita-cita tentu jauh di ujung jangkauan, tapi bukan berarti tak dapat diraih. Cita-cita adalah tujuan berkehidupan. Anak-anak diajari untuk mengerti betapa cita-cita itu sulit dicapai, tapi bukan tidak mungkin. Penjelasan cita-cita ini berisiko membentuk imajinasi cita-cita sebagai tujuan agung dan mulia, serta jauh mengawang di langit, bagi anak-anak.
Manto (1983:37) menulis: “Ada yang ingin menjadi anggota ABRI, dokter, insinyur, pegawai negeri, pedagang, petani, peternak dan sebagainya. Kesemuanya itu pada umumnya bertujuan sama, yaitu agar hidupnya bagi dirinya, bangsa dan negaranya serta agamanya.” Penjelasan tentang “berguna bagi bangsa dan negara” tentu melekat erat dalam setiap buku bacaan. Keterangan tersebut mengesahkan misi negara dalam pebaiatan cita-cita dalam setiap deskripsi buku.
Novel bermisi merangsang pemahaman anak tentang cita-cita yang baik, sesuai harapan negara. Bacaan berlabel “Inpres” ini tentu tak mengharap ada deskripsi cita-cita berseberangan dengan visi dan misi negara. Negara mengharap cita-cita mulia diangankan oleh para bocah. Cita-cita dalam novel menganjurkan profesi ABRI, pengusaha, petani, pegawai negeri, insinyur, dokter, orang kaya, dan insinyur.
Cita-cita dibentuk sebagai penopang kepentingan negara. Cita-cita harus merujuk pada semangat pembangunanisme. Simaklah pengakuan Ninin Kurniasih dalam Desa, Sekolah, dan Benderaku: ”Aku bercita-cita memajukan desaku kelak sesudah aku tamat sekolah. Aku ingin mengajar orang-orang yang belum memiliki ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan cita-citaku menjadi kenyataan”. Membangun desa tentu keinginan mulia. Desa, dengan ketertinggalan pembangunan, mesti melahirkan anak-anak berorientasi membangun. Presiden Soeharto memang pengidola pembangunan mesti gagap menyeimbangkan sumber daya manusia dan hasil pembangunan.
Di sisi lain, profesi pegawai negeri jadi gelar terhormat. Menjadi pegawai negeri ibarat mendermakan diri kepada negara. Pemahaman klise. Pegawai negeri, hari ini, justru diidolakan para sarjana berdalih hidup santai tapi bergaji besar. Pengidolaan profesi pegawai negeri diilhami pengisahan dalam novel. Tokoh Sutarno dalam Cintailah Bumi di Negerimu merasa bangga ketika Halimah, teman kecilnya, diangkat jadi pegawai negeri. “Sutarno tertarik akan pengalaman Halimah itu. Kemudian Sutarno merasa kagum. Ia bangga, karena merasa ada di antara sahabat wanitanya yang berani dan berhati mulia mau mendarmabaktikan dirinya di tengah-tengah hutan yang sunyi demi perjuangan meningkatkan taraf hidup bangsanya.”
Menjadi pegawai negeri dengan konsekuensi hidup di tengah hutan tentu pilihan mulia. Kita bisa mengaggap pilihan menjadi pegawai negeri mesti diimbangi kerelaan hidup di pelosok pedalaman. Berbeda dengan hari ini. Menjadi pegawai negeri demi pamrih gaji dan hidup enak. Etos pembelajar dan pengabdi usang bersama rayu gaji melimpah.
Rayu gaji dan uang sempat tertera dalam Butir-Butir Mutiara, menomorduakan hasrat menempuh jalan hidup di dunia seni. Cita-cita seperti tak layak mendekati ranah kesenian. Imajinasi cita-cita digiring ke persepsi kekayaan dan harta. Anak harus bercita-cita menjadi orang kaya. “Janganlah kamu jadi pelukis, katanya. Lebih baik, jadilah orang yang kaya, sehingga kelak dapat membeli lukisa dengan harga yang mahal.” Membeli karya seni berharga mahal tentu berpamrih kebanggan. Bukankah menghasilkan karya seni berharga tinggi juga lebih mulia dan membanggakan? Kita paham maksud pengarang. Ajakan menjadi seniman kurang direstui negara.
 Buku mengisahkan anak-anak  agar menginspirasi pembaca. Buku diterbitkan guna mengasah niat baca sedari bocah. Nafsu membaca tentu diharapkan mampu melahirkan intelektual. Melalui buku anak-anak dibentuk menjadi manusia pembelajar, berkeyakinan optimis, tekun, berjiwa nasionalisme, serta pantang menyerah. Segala anjuran dan ajaran tumpah ruah dalam novel ataupun buku bacaan terbitan negara.
Bacaan anak menghadirkan imajinasi desa, guru, dan cita sebagai pembentukan watak anak. Membaca buku bacaan anak kita bakal disuguhi lakon bocah desa. Mereka bermain di kebun, di sungai, menggembala, bersekolah di sekolah dasar, pelesiran, bersawah, serta tekun dan giat mencari ilmu.
Watak tokoh anak tak beranjak dari karakter patuh pada guru dan orang tua, suka belajar, lugu, suka membantu orang tua, tak gemar bermain, mencintai bangsa dan negara. Bacaan anak sepatutnya menjadi referensi memahami lelaku bocah desa era Orde Baru. Membuka kembali tumpukan buku berlabel “Inpres”/“bacaan anak” kita seolah sedang membaca sejarah pembentukan Indonesia dari seorang bocah desa. Dari pucuk pohon, dari pinggiran sawah, sampai ruang kelas yang sempit dan sederhana…. []

Diterbitkan dalam buku Desa dan Kota: Menjemput Imajinasi (TBJT-Bilik Literasi, Solo, 2014)