Ada begitu banyak buku yang
mengajari kita bagaimana kiat-kiat menulis puisi yang baik. Tetapi setiap
penyair selalu punya cara tersendiri. Di masa lalu, penyair mungkin sekadar mengandalkan imajinasinya untuk
berpuisi. Melamun dan merenung antara sebentar, menyulut kretek, menyesap kopi,
lalu mulai menulis. Dan jadilah sebuah
puisi. Namun, ada pula penyair yang mesti melakoni “ritual” khusus sebelum
menulis. Penyair itu,
mungkin saja, mesti mendatangi tempat-tempat kumuh, ikut merasakan orang-orang
kelaparan, barulah bisa mencatatkan pengalaman itu ke dalam bentuk puisi.
Semua cara itu sah. Tak
terkecuali dengan apa yang Triyanto Triwikromo lakoni. Laku berpuisinya bermula dari
pergumulan dengan teks-teks yang telah ia baca. Teks itu bisa berupa
novel, buku sejarah, atau epos. Dari persinggungan itu, ia mengajukan
dialog, tafsir, hingga penceritaan ulang. Enam tahun silam, Triyanto
menerbitkan buku berjudul Pertempuran
Rahasia: Buku Puisi (2010) yang bertolak dari penafsirannya atas epos Mahabharata dan Ramayana.
Lima tahun berselang, ia kembali dengan buku puisi Kematian
Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini menarasikan fragmen hidup sosok
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam pengertian yang berbeda dengan sejarah
versi negara.
Kini, masih dalam etos yang sama,
Triyanto menyuguhkan buku terbarunya yang berjudul Selir Musim Panas: Sehimpun Puisi (2016). Ia menulis puisi bertolak dari
sekian literatur, juga film, bertema (kesejarahan) Cina, sejak akhir abad XVIII
hingga awal abad XIX. Sejak era Dinasti Ch’ing sampai meletus Tragedi
Tiananmen. Beberapa
novel tertera sebagai rujukan, sebut saja Gunung
Jiwa (Gao Xinjian), Sorgum Merah
(Mo Yan), dan film Reign of Assasins.
Juga dua novel sejarah yang tak Triyanto cantumkan judulnya tapi masih mudah kita tebak, yaitu Orchid Empress dan The last Empress karya novelis Cina Anchee Min. Pembaca yang belum sempat bersentuhan
dengan referensi itu, tentu bakal berkerut kening dan terserang kesemutan saat hendak
memasuki puisi-puisi Triyanto. Pembaca mungkin takut tak paham konteks waktu
dan peristiwa.
Tetapi tunggu dulu, pembaca tak
usah terburu-buru cemas. Penyair Sapardi
Djoko Damono (2010) pernah menyarankan agar dalam menikmati puisi-puisi
Triyanto, pembaca sebaiknya “menerima saja kisah dan renungan” yang ia hadirkan.
Selain karena “telah disampaikan dengan pengucapan yang baik”, Sapardi juga
meyakinkan bahwa “kita bisa saja membaca sajak-sajak ini berdasarkan bahasa
penyampaiannya, yang dalam puisi bisa lebih penting dari apa yang
disampaikan”.
Saran Sapardi itu ada benarnya.
Terkadang, untuk menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca hanya perlu menikmati bagaimana bait demi
bait disusun dengan begitu padu, berbunyi, dan di saat yang bersamaan, menyitir
komentar penyair Zen Hae, “menampilkan dunia ajaib yang berlebihan”. Pembaca pun
bisa lekas membuktikan dengan membaca puisi
Enigma. Puisi ini hadir di urutan pertama. Simak
petikannya:”Siapakah aku? Jagal manis 3.000 kisah. Sembilan/ tahun tetes darah.
Tetapi kau selalu menyebutku/ sebagai 20 gerombolan burung funiks, jantung/
dunia, tentara musim dingin, pemilik kota/ yang disembunyikan”.
Tak sampai di situ, pembaca juga
disilakan untuk menikmati ungkapan-ungkapan khas Triyanto. Narasi-narasi
puitik yang mencampuradukkan ungkapan “canggih”, objek-objek ganjil, serta
metafor, yang tak jarang, mencekam. Ada baiknya pembaca menyiapkan teh hangat
untuk melemaskan urat saraf saat mulai memasuki rimba raya metafor di buku ini,
di antaranya:“Turis pukul 02.13 yang resah”(Enigma);“Lalu
ayam berkaki tujuh pun lahir di salju salah waktu”(Kuil Kesedihan Wu Chao);“seekor kodok/ menelan Tuhan/ demi
mendapatkan semesta/ kehampaan”(Teka-teki
Desa Mati).
Lebih dalam, Triyanto bahkan
melakukan “pemanggungan ulang” atas cerita-cerita dalam novel, teks sejarah,
atau film. Di puisi Tiananmen Miao Deshun,
misalnya. Puisi ini menggambarkan situasi tragedi bersejarah-berdarah di Cina
tahun 1989 silam. Bait pembukanya begini:“3.000? Bukan. 5.000? Lebih.
Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu
congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke
jalan-jalan”. Puisi mengisahkan tragedi, mengimajinasikan peristiwa sepenuhnya.
Hal itu tentu menjauhkan asumsi bahwa Triyanto
hanya mencomot saja fragmen novel atau teks sejarah sebagai pondasi
puisi-puisinya. Ia pun piawai mengoperasikan teks-teks referensi ke dalam puisi menjadi lebih performatif. Dalam puisi
panjang berjudul Bandit Manis: Kisah lain
Sorgum Merah Mo Yan, Triyanto memuisikan novel Sorgum
Merah ke dalam 35 fragmen. Bagi yang pernah membaca novel itu, ada semacam
letupan sensasi puitik saat pengalaman membaca novel berkelindan dengan proses
pembacaan puisi. Di saat bersamaan, puisi-puisi Triyanto ibarat “menghidupkan”
kembali teks-teks
referensi itu ke dalam alam imaji pembaca.
Triyanto kentara ingin pembacanya ikut mengerti
bagaimana proses puisi-puisinya diolah dan ditulis. Secara tersirat, puisi-puisinya
mengajak, bahkan merayu, pembaca untuk tergerak menelusuri teks-teks rujukan
yang ia hadirkan. Dengan begitu kita pun mafhum: betapa bagi Triyanto menulis
puisi memang tak sekadar mengandalkan lamunan. []
Jawa Pos, 28 Agustus 2016