Menanggapi cerpen Tok Mulkan dan Istrinya kreasi Delvi Yandra (Koran Tempo, 2 Februari 2014)
Siapa sajakah yang berhak
menjadi manusia kota? Manusia abad XXI tentu berhak menentukan di mana ia ingin
hidup dan bercita-cita. Manusia bersemangat untuk hidup berkat cita-cita dan
imajinasi. Cita-cita yang subur di benak manusia mengandung doa meski tak
terucap.
Kota acap mengisi imajinasi
manusia karena menjanjikan kemodernan, perubahan, dan keriuhan. Kota jadi
persembahan zaman karena menunjukan peradaban yang bergerak. Manusia tak kuasa
menahan gelitik modernitas dalam wujud menjadi manusia kota. Manusia yang
berjarak dengan kota terkesima menyaksikan kota lewat koran dan televisi.
Manusia memang tak sadar sedang beralih menjelma manusia kota lewat sandang,
pangan, dan teknologi.
Cerpen Tok Mulkan dan Istrinya kreasi Delvi Yandra (Koran Tempo, 2 Februari 2014) memberi penanda bahwa manusia sulit
lepas dari modernisme. Cerpen yang sangat pendek ini memberi penjelasan tentang
imajinasi manusia tentang kotaisme. Gejala
keterpanaan pada kota disuguhkan lewat dialog tentang angan-angan dan harapan. Simaklah:
”Tentu aku akan sangat
bangga. Kita akan memiliki sebuah rumah besar. Aku akan memakai pakaian bersih.
Coba pikirkan, aku akan duduk di kedai kopi yang mahal, menyilangkan kaki
dengan santai dan mengisap cerutu. Aku akan menjadi ayah seorang dokter. Ini memang
bukan khayalan memalukan.”
Tokoh Tok Mulkan berdialog
dengan sang istri tentang harapan dan cita-cita. Keinginan memiliki “rumah
besar”, “memakai pakaian bersih”, “duduk di kedai kopi yang mahal”, dan
“mengisap cerutu”. Ambisi berumah yang besar mirip kebiasaan di kota-kota.
Rumah besar adalah bukti kekayaan, citra sebagian manusia kota. Menjadi kaya
memang keharusan untuk menikmati hari-hari di kota, jika tidak ingin tersisih
dan disepelekan. Kita sering menjumpai pamer rumah mewah di televisi oleh
perempuan cantik mengarah pada promosi jualan. Orang kota memang harus berumah
agar tidak dituding sebagai tamu liar.
Kebiasaan membuang waktu di
kedai kopi dan mengisap cerutu jelas mengarah pada film-film modern berlatar
kota metropolitan. Imajinasi ini menarik ingatan pada kisah film Holywood.
Cerutu justru merangsang kita untuk mengingat sederet penguasa: Soekarno,
Soeharto, dan Fidel Castro. Foto-foto mereka terlihat sangar saat bercerutu.
Adegan orang-orang “bukan kota” mengisap cerutu tentu terkesan wagu. Cerutu
terlanjur melekat pada kekuasaan dan kejantanan. Orang-orang desa lebih memilih
memilin tembakau alami, manggulungnya menjadi kretek.
Identifikasi imajinasi “rumah
besar” di kota tersirat di dalam kalimat berikut:”Ya, kita akan menetap di
salah satu rumah yang besar di sana. Di pintunya ada terpajang papan nama anak
kita.” Papan nama? Kita tentu sanggup membayangkan sebuah rumah besar nan
megah, di pintu gerbangnya yang tinggi menggantung papan nama. Rumah harus
bernama agar tidak tertukar dengan tetangga sebelah. Tidak ada yang bakal
meladeni pertanyaan-pertanyaan tak menguntungkan saat hidup di kota. Berikanlah
sekadar uang rokok jika hendak bertanya alamat di kota.
Kekaguman untuk menjadi manusia
kota seutuhnya bisa terlacak dari petikan berikut:”Tentunya mereka akan
menyantap makanan mereka dengan garpu dan pisau.” Sendok dan garpu bisa dipakai
untuk membaca peradaban manusia. Aku memang belum berhasil menduga siapa
manusia Indonesia pertama yang memakai sendok dan garpu, berharap sanggup
dianggap modern. Kita mengingat kebiasaan di desa dan kampung halaman tentang
tradisi menyantap makanan menggunakan tangan, tanpa sendok dan garpu. Simaklah
orang-orang elit di restoran atau hotel-hotel mahal, jumlah sendok dan garpu
justru bisa bertambah saat prosesi santap makan.
Cerpen Tok Mulkan dan Istrinya tak perlu ditafsir sebagai kisah tentang
kejumudan orang “bukan kota” yang terkagum pada kota. Kita justru bisa
memosisikan tokoh-tokoh dalam cerpen ini sebagai pengisah optimisme dan
cita-cita. Di negeri ini urusan cita-cita dan korupsi memang akut. Masyarakat
kadang jemu bercita-cita dan berpengharapan akibat ulah negara dan birokratnya
yang sembrono, mengajarkan laku korupsi dan kebohongan. Cerpen ini tidak akan
nikmat di baca saat teringat berita korupsi. Bila pembaca berharap pada kesegaran
metafor, cerpen ini kurang sukses menyajikan hal terebut. Cerpen ini hadir
sebagai pertanda bahwa imajinasi masih sanggup membuat sejumlah manusia
berbahagia. Berimajinasi memang memunculkan kebebasan…