Pilihan itu ditempuh Gunawan Budi
Susanto lewat penerbitan buku Penjagal
Itu Telah Mati. Cerpennya tampil sebagai mimbar pengisahan diri, berisi
ingatan dan gugatan. Episode mengharukan berlatar kisah keluarga dalam pusaran
geger 1965 hadir sebagai cerita utama. Keputusan untuk menampilkan korban dalam
relasi keluarga tentu tak lepas dari pengalaman hidupnya.
Dalam gegeran itu, Gunawan
“kehilangan” bapaknya, dan sampai kini belum juga ketahuan di mana kuburnya.
Tentu saja bukan hal mudah baginya untuk melewati bertahun-tahun lamanya dengan
stigma “anak PKI”. Kita tahu, Orde Baru begitu buruk mencitrakan dan memandang
mereka.
Maka, empat belas cerpen dalam
buku ini bisa jadi cara Gunawan mengurangi beban berat trauma di masa lalu. Gunawan secara terang dan jelas
menahbiskan cerpennya sebagai
mimbar pengisahan dari perspektif korban. Kita bisa menelusuri imajinasi
kesedihan yang ditanggung oleh korban lewat kisahan tokoh dalam cerpen-cerpen
ini.
Buku diawali dengan cerpen Di Kubur Manakah Kautemukan Tubuhku.
Cerpen itu berkisah tentang penemuan kuburan korban geger 1965. Gunawan
menghadirkan imajinasi kegelisahan arwah seorang korban saat mengetahui kuburan
yang menyimpan jasadnya ditemukan.
Penemuan itu tak disangka
menerbitkan dilema dan kecamuk.“Namun, jangan paksa aku mengakui itulah
tubuhku. Jangan paksa aku” (hal.3). Cerpen ini menyiratkan informasi betapa
berat kekerasan yang menimpa tokoh “aku” sebelum akhirnya mati terbunuh, hingga
arwah mereka pun “enggan” mengakui jasadnya.
Kita bisa ikut membayangkan
pengimajinasian cerpen tersebut lewat sekian film dan buku. Film Jagal: The Act of Killing dan The
Look of Sillence karya Joshua Oppenheimer menampilkan dengan gamblang
betapa mengerikan kejahatan kemanusiaan terjadi saat itu. Juga buku hasil
lacakan majalah Tempo berjudul Pengakuan Algojo 1965 yang secara runtut
menarasikan bagaimana genosida terjadi, dari perspektif para pelaku.
Tak jarang apes juga menimpa
mereka yang tak terlibat. Cerpen Penjagal
Itu Telah Mati mengisahkan keterlibatan seorang awam saat gegeran itu
terjadi. Ia dijebloskan ke Pulau Buru hanya karena sebuah gumam. Ia
menyangsikan kenapa “penjagal” itu melibas semua orang yang dianggap bagian
dari “kaum merah”. “Mereka pun mengenal Tuhan?” Gumamnya saat menyaksikan
pembantaian itu terjadi. Masa itu, bergumam perihal orang-orang komunis bisa
membuat siapa pun masuk bui.
Jejak
Kesaksian
Lewat kumpulan cerpen inilah kita
bisa membaca jejak-jejak kesaksian Gunawan dalam mengisahkan kembali apa yang
ia rasakan sebagai korban. Sekian cerpen secara khusus berkisah tentang
pencarian tokoh “bapak”. Dalam cerpen Luka
Itu Terperam Dalam-dalam kita seperti membaca ungkapan batin pribadi
Gunawan.“Bahkan sekarang pun saya belum bisa menjawab pertanyaan anak saya,
yang tak mengerti kenapa kami tak pernah nyekar ke makam kakek mereka”
(hal.107).
Begitu pula dalam cerpen Sudahi Saja Kisah Lapuk Itu. Cerpen ini
berkisah tentang tokoh “aku” yang kerap menerima komentar bernada ancaman
setiap mengunggah pengalaman hidupnya, terkait bapak yang “hilang”, di media
sosial. “Ya, ya, justru ketika aku berterang-terang menyatakan Bapak mati
dibunuh dan sampai sekarang kami tak pernah tahu di mana dikuburkan, mereka
menatapku dengan pandangan entah jijik, ngeri, nanar, atau penuh kebencian”
(hal.138).
Dari pengisahan cerpen-cerpennya,
kita tentu menduga Gunawan menulis cerpen sepenuhnya bereferensi pengalaman
hidupnya yang pahit, sebagai korban. Seolah tahu pembaca bakal mengajukan dugaan tersebut, Gunawan sigap
memberi “jawaban” yang terselip di dalam dialog sebuah cerpen berjudul Luka Itu Terperam dalam-dalam. “Cerpen
saya memuat sedikit saja fakta yang kami atau orang-orang yang kami kenal alami
sebagai basis penceritaan. Semua saya ungkap dari sudut pandang korban: yang
dikalahkan dan terus-menerus disalahkan” (hal.106).
Satu
hal yang perlu kita catat dari kisah-kisah dalam buku ini: Betapa sulit bagi
siapa pun untuk berkata jujur kepada publik, untuk sekadar mengaku bahwa ia
adalah termasuk korban dari peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia ini.
Bukankah sampai hari ini masih saja kita temui kelompok yang tak menghendaki adanya
rekonsiliasi?
Namun,
berangkat dari kisah nyata atau pun tidak, jika terkait pembacaan sebuah
cerpen, hal itu sebenarnya tak terlalu menjadi soal. Cerita yang menarik tak
ditentukan oleh karena hal itu nyata atau tidak. Toh, menukil Radhar Panca Dahana
(2001), “pembaca sebenarnya diam-diam,
disadari atau tak, lewat sejarah membacanya, ia telah menyusun strategi,
kuda-kuda bahkan pamrih yang—kadang—berlebih ketika mengapresiasi karya
sastra.”
Bagi
pembaca yang menaruh perhatian pada isu-isu sejarah dan hak asasi manusia, buku
ini tentu wajib dibaca dan dikabarkan ke publik sebagai bagian dari misi
kemanusiaan. Berbeda dengan pembaca yang menganggap gaya, cerita dan eksplorasi
imajinasi adalah kenikmatan utama dalam membaca sebuah cerpen ketimbang pesan
yang disampaikan pengarang. Buku ini, tentu saja, kurang begitu menarik, juga
monoton.
Hal
itu lantaran 14 cerpen dalam buku ini sepenuhnya berkutat pada
paragraf-paragraf berisi cerita-cerita merindingkan perihal keganasan sebuah
rezim dan perilaku paling purba manusia pada sesama. Bahwa
menulis cerpen dengan gaya memoar adalah strategi Gunawan menumpahkan kesaksian
dan pengalaman hidupnya, itu tidak jadi soal. Pertaruhannya kemudian, dapatkah
cara menulis seperti itu sanggup memadukan antara kesaksian dan pengalaman
hidup, untuk kemudian mengolahnya dalam satu olahan imajinasi, kesegaran
berbahasa, serta siasat bercerita yang memikat, sehingga menghasilkan citarasa
cerita yang menarik, tidak hanya dari segi isi, juga bagaimana cerita itu
dikemas. Tentunya agar kesaksian dan ingatan itu tak sekadar jadi monumen
kesedihan belaka.
Tak
mudah, memang. Dan, karena buku ini dimaksudkan sebagai kumpulan cerpen, di
sinilah kelemahan Gunawan. Hasrat untuk mengajukan kisah kesaksian dalam
perspektif korban ternyata melebihi kesadaran untuk mempertimbangkan, betapa
cerpen tak semata isi dan pesan yang mesti disampaikan kepada pembaca. Tak menjadi
soal bahwa cerpen-cerpen Gunawan dimungkinkan untuk dijadikan sebagai “varian rekonsiliasi pada tataran
antarindividu”. Tetapi, tentu saja, pembaca punya kebebasan untuk bersepakat,
atau menolaknya. []
Diedarkan dalam bundel Kelab Buku edisi 8, Oktober 2015.