Para penyair kerap menempuh
pelbagai cara kreatif agar puisi ciptaannya tak sekadar mengulang apa yang
pernah ditulis oleh para pendahulu. Dari membaca sebanyak mungkin referensi
hingga melakukan “pembongkaran” atas konvensi berpuisi yang pernah ada. Sekian
penyair mengutak-atik tema. Bahkan ada yang sampai memilih untuk mengembalikan
hakikat puisi kepada mantra. Harapannya, tentu untuk menghasilkan puisi yang
menawarkan kesegaran puitik maupun estetik.
Triyanto Triwikromo bisa dikategorikan
sebagai penyair yang getol melakukan eksplorasi dan mencari “kesegaran”. Meski satu
dekade terakhir ini ia lebih banyak menerbitkan buku kumpulan cerpen, Triyanto
tetaplah seorang penyair. Sejak akhir tahun 1980-an, Triyanto sudah berpredikat
penyair tapi baru pada
tahun 2010 kita bisa
menikmati kumpulan puisi perdananya yang berjudul Pertempuran Rahasia. Di buku puisi itu, Triyanto tampil memukau dengan
sajian puisi bertema wayang, bertolak dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Selang
beberapa tahun kemudian, Triyanto menerbitkan buku puisi kedua berjudul Kematian Kecil Kartosoewirjo: Sehimpun Puisi
(2015). Buku ini menarasikan “suara-suara lain” dari sosok kontroversial Sekarmadi
Maridjan Kartosoewirjo.
Kini, sang penyair kembali menyapa
pembaca lewat penerbitan kumpulan puisi Selir
Musim Panas (2016). Judul buku begitu menggoda. Kita mungkin bakal tergerak untuk mulai
melacak maksud penggunaan kata “selir”, menaut pada riwayat kesejarahan kisah
raja-raja di Nusantara, sebelum menelusuri puisi demi puisi. Sayang sekali,
dugaan ini meleset ketika kita sadar bahwa frasa “musim panas” sulit mendapati sambungan imajinasi jika mengacu keberadaan musim di negara ini. Perlahan,
pembaca mulai tercerahkan saat mendapati Triyanto telah menyisipkan pelbagai
“petunjuk” di beberapa puisinya, sebagai suluh agar pembaca tak tersesat.
Triyanto menghadirkan puisi-puisi yang bertolak dari referensi berkonteks
Tiongkok di masa lalu. Puisi-puisi berkelindan dan mewujud bersama deretan
peristiwa dan tokoh-tokoh bersejarah.
Di bagian awal, kita disuguhi puisi
Tiananmen Miao Deshun. Puisi berkisah
tentang peristiwa tragis di lapangan Tiananmen tahun 1989, yang menelan korban
rakyat dan mahasiswa. Membaca puisi ini, kita diajak menziarahi salah satu
peristiwa berdarah yang paling dikenang dunia tentang sejarah Tiongkok. Begini
kutipan puisinya: 3.000? Bukan. 5.000?
Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping
begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke
jalan-jalan. Triyanto berpuisi tapi mirip pencerita sejarah. Pembaca diajak
mengingat sejarah Tiongkok, mengarah pada peristiwa-peristiwa berdarah.
Di puisi-puisi lainnya, Triyanto
mencoba “menuliskan kembali” novel yang pernah ia baca. Judul novel itu tertera
sebagai penuntun bagi pembaca: Bandit
Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan, dan Teka Teki Desa Mati: Setelah 12 Tahun membaca Gunung Jiwa Gao Hing Jian. Bahkan dua novel karangan
penulis Cina modern Anchee Min, yaitu Empress
Orchid (2011) dan The Last Empress
(2011), melatari sebagian besar puisi-puisi di buku ini. Dua novel ini
bercerita seputar sejarah Tiongkok era Dinasti Ch’ing di bawah pimpinan Ratu
Anggrek.
Puisi Reinkarnasi Cheng Ho, misalnya, bertolak dari cuplikan novel The Last Empress halaman 96-97, yang menceritakan
kematian janggal budak kepercayaan Ratu Anggrek. Simak petikannya: Pada
september 1872/ kepalamu memang dipenggal, An-te-hai. Permaisuri/ Nuharoo,
Kaisar, Pangeran Kung, dan Gubernur Ting/ bersekongkol membunuhmu//”Kasim brengsek telah mati,” teriak
seseorang./“Burung selingkuhan Ibu Permaisuri tak bisa lagi/ berkicau,” kata
orang istana. (hal.49).
Puisi tak kehilangan jejak-jejak
literer dalam novel, tapi bercitarasa khas ala Triyanto. Tak bisa disebut teks yang
sma sekali baru namun juga tak bisa dipandang sebagai semacam tafsir biasa.
Tersebab lewat kepiawaiannya, Triyanto seperti menulis ulang teks-teks
referensi itu menjadi puisi. Bahkan dalam puisi berjudul Bandit Manis: Kisah Lain Sorgum Merah Mo Yan,
pembaca masih merasakan alur dalam novel tetapi efek dari puisi ini sama sekali
berbeda seperti saat kita membaca novelnya. Triyanto memuisikan novel (dalam
versi terjemahan bahasa Indonesia) setebal 543 halaman ke dalam 35 fragmen
puisi.
Apa yang dilakoni Triyanto dalam
buku ini sebenarnya tak jauh berbeda
dengan dua buku puisi sebelumnya. Hanya saja, dalam buku ini, upaya meramu
referensi menjadi teks puisi, patut diakui, benar-benar kompleks. Puisi
menjadi semacam jalan tafsir atas hasil pembacaan. Ada pelbagai macam konteks
waktu, peristiwa, konflik, dan karakter tokoh, dari sekian novel, yang mesti
benar-benar ia pahami. Meski menggubah ulang ke dalam bentuk puisi, Triyanto
masih menjaga agar konteks cerita tetap terjaga.
Hasilnya, sebuah buku yang sanggup mengajak kita mengingat sekaligus
bertualang menyinggahi khasanah literatur Tiongkok, yang barangkali, sudah mapan—untuk
tak menyebut “mati”—sebagai novel. Dan Triyanto mulus “menghidupkannya” kembali
sebagai puisi. []
Dimuat
Majalah Basis edisi November – Desember 2016