Anak-anak yang tidak mendapat
pendidikan yang baik dan tepat akan menjadi ancaman di masa depan. Watak anak
yang mudah menerima ajaran dan didikan memungkinkan mereka bisa dibentuk ke
dalam pelbagai karakter. Penanaman nilai dan pembentukan mental yang diberikan
sejak anak-anak akan lebih mengakar ketimbang dimulai saat remaja.
Pemahaman inilah yang menjadi
alasan kenapa proses pendidikan harus dimulai sejak masa anak-anak, terutama
sekali di usia dini. Di tahap ini anak sedang melakukan proses imitasi terhadap
apa pun yang ia lihat dan dengar. Hal itu pulalah yang kemudian mendasari
kenapa anak sering dijadikan sasaran penanaman indoktrinasi ajaran tertentu.
Kasus penyusupan ajaran bermuatan radikal dalam buku bacaan anak TK yang
terjadi beberapa waktu silam membuktikan betapa anak masih rawan mendapat
penyesatan lewat buku.
Anak-anak lugu itu mungkin tak
menyadari bahwa buku yang mereka baca itu justru memberi ajakan-ajakan berbau
kekerasan dan intoleransi. Buku bacaan seharusnya merangsang imajinasi dan
memberi godaan kreativitas pada anak. Sebaliknya, buku bacaan yang telah
disusupi itu justru jadi ajang perebutan pengaruh ideologis. Buku tak memberi
terang malah mengusung misi indoktrinasi, ideologisasi, dan idealisasi.
Sejak
dulu, buku bacaan kerap dijadikan ladang persemaian ideologis. Dari satu
penguasa ke penguasa lainnya, buku bacaan anak tak pernah luput dari incaran
pengarahan misi-misi politik. Di era Orde Baru, pembentukan nasionalisme
bercorak militeristik jadi tema utama penggarapan buku bacaan anak di
Indonesia. Buku-buku itu dicetak ribuan eksemplar dan sengaja dipasok ke
sekolah-sekolah. Buku proyek pemerintah itu berlabel buku Inpres:“Milik
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan”. Buku terbit
kisaran tahun 1970-an hingga 1990an.
Kita
bisa menyimak buku tipis berjudul Cintailah
Bumi di Negerimu (1983) karya Manto. Buku berisi kisah sederhana,
menawarkan ilustrasi dan imajinasi yang mengarah pada garis politik ala
Presiden Soeharto: militerisme. Uraian di dalam buku secara eksplisit memberi
pengutamaan atas posisi militer sebagai suri tauladan. Anak-anak dianggap teladan
jika bercita-cita sebagai tentara. Simak kutipan berikut:“Sebenarnya cita-cita
saya ingin menjadi ABRI, ingin menjaga Tanah Air kita ini terhadap segala kejahatan”(hal.51).
Buku-buku
itu secara tidak langsung menganjurkan agar cita-cita anak mesti bersejalan
dengan ikhtiar mendermakan diri kepada negara. Idealisasi cita-cita anak versi
Orde Baru adalah tentara (ABRI). Kita bisa menganggap kelakuan Orde Baru
termasuk dalam upaya “penyusupan” ajaran negara secara tersamar.
Selain
buku, kita juga bisa melacak bacaan anak lainnya sebagai sumber pembentukan
watak anak, yaitu majalah. Majalah sanggup menarik minat baca anak-anak karena
menyajikan gambar menarik, misalnya kartun. Dede Lilis Ch dalam buku Media Anak Indonesia: Representasi Idola
Anak dalam Majalah Anak-Anak (Obor, 2014) membongkar bagaimana majalah anak
ikut berperan besar merepresentasikan idola anak.
Secara
mendalam, Dede mengkaji salah satu majalah anak paling populer, yaitu Majalah
Bobo, dari pelbagai macam edisi. Salah satu temuannya, anak-anak dianggap
sebagai komodifikasi (children as
comodity) dan pembeli (children as
consumer). Anak jadi lahan persemaian idealisasi yang cenderung mengarahkan
mereka agar menjadi terkenal, gemar bermain di tempat mahal, serta menjadi
selebritas.
Temuan
itu memperpanjang daftar ketidakkuasaan anak dalam menghadapi “serangan” indoktrinasi,
kekerasan, penindasan, hingga jerat kapitalisme tersamar. Buku bacaan anak memang
sepantasnya memberi hamparan cakrawala pengetahuan, imajinasi, dan transfer
nilai. Buku bacaan juga diharapkan memberi godaan agar anak-anak mau dan mampu menggerakkan
imajinasi dan kreativitas.
Kini,
anak-anak sudah semakin terkepung oleh acara-acara telivisi yang banal.
Sinetron-sinetron tak layak tonton lolos sensor. Bahkan jam tayangnya
bertepatan dengan waktu belajar anak. Internet pun tak berbuat banyak, justru
lebih banyak menyeret anak ke arah mentalitas pemalas. Anak-anak tak lagi
bermain layang-layang, mencari ikan di sungai, atau berlari-larian di lapangan.
Mereka asik berjam-jam menatap layar di bilik warnet ataupun dari ponsel
pintar. Orangtua tak sadar jika membebaskan anak “bermain” dan “berkeliaran” di
internet adalah pengerdilan imajinasi anak. Buku bacaan pun ikut-ikutan menularkan
“penyakit” akibat terus menerus disusupi kepentingan-kepentingan sesaat.
Kita
tentu tak berharap anak-anak itu suatu saat menjadi “bom” yang meledak di masa
depan akibat ajaran-ajaran intoleransi yang masuk ke buku pelajaran. Peristiwa
semacam ini berulang kali terjadi, tapi tak membuat penerbit buku, pemerintah,
bahkan guru di sekolah, bersikap waspada.
Berkaca
dari kasus ini, kita pantas menuduh bahwa pemerintah masih memandang sepele
urusan buku bacaan bagi anak. Menteri Anies Baswedan mungkin kerap menyerukan
ajakan untuk gemar membaca di setiap pidatonya. Namun, kita semua tahu, seruan
saja tak akan pernah cukup. []
Dimuat di koran Wawasan, 5 Februari 2016