Dari hari ke hari, proyek-proyek
pemerintah dipenuhi agenda pembangunan. Presiden Jokowi beranggapan Indonesia
masih mengalami ketimpangan dalam urusan pembangunan. Sekian fasilitas publik
dibangun demi pemenuhan misi pemerataan. Di surat kabar atau akun facebook presiden, kita sering disuguhi
foto Sang Presiden tengah hadir di acara-acara peresmian. Dari peresmian waduk,
jalan tol, jalan lintas provinsi, hingga jembatan. Ambisi membangun pun tak
melulu berwatak jawasentris. Pembangunan diutamakan untuk daerah terluar atau
perbatasan.
Mengusung pembangunan
berorientasi kemaritiman, lantas bukan berarti pemerintah memunggungi daratan. Kepanjangan tangan
Presiden, dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga periode 2016, justru tengah
menargetkan Program Satu Desa Satu Lapangan. Pemerintah berharap negara ini tak
kekurangan lapangan. Sejak tahun 2015, pemerintah mengusahakan ketersebaran
lapangan di desa-desa seluruh Indonesia. Dari target 34 provinsi, baru di 23
provinsi program itu terealisasikan (Kompas,
16 April 2016).
Kita mungkin beranggapan
inisiatif pemerintah menambah keberadaan lapangan terkait kondisi sepakbola di
Indonesia. Sekian tahun berlalu, sepakbola kita memang masih gemar menendang
bola ke arah penonton sehingga kerap memicu keributan. Atau, bola memang
sengaja dikendalikan untuk diarahkan ke urusan percaloan, perjudian, hingga ke
mimbar politik. Kisruh di tubuh PSSI dan negara juga belum menemui momentum
silaturahim. Pemerintah tampak tak ingin tergesa-gesa mengurusi sepakbola tapi
memilih menambah jumlah lapangan. Memperbaiki citra dan kondisi persepakbolaan nasional
dimulai dari lapangan. Begitu kiranya logika pemerintah.
Namun, lapangan bukan semata
urusan sepakbola. Lapangan itu bagian dari dinamika dan pertumbuhan masyarakat.
Lapangan berpartisipasi dalam pelbagai urusan sosial, kultural, religius,
hingga cerminan wajah modernitas. Lapangan ada untuk memberi ruang kepada kita menikmati
keleluasaan. Di desa, lapangan ibarat suatu penanda. Bukan desa namanya seumpama tak memiliki lahan
terbuka bernama lapangan. Di lapangan, orang-orang desa yang biasanya
memelihara kambing atau sapi, bisa menggembala di sana sekaligus merumput untuk
persediaan pakan di kandang.
Lapangan pun biasa dijadikan tempat berkumpul orang-orang
saat perayaan tujuhbelasan. Mereka menggelar
lomba panjat pinang, liga sepakbola, juga pertunjukan kesenian tradisional,
seperti Jaran Kepang di daerah Jawa Tengah, di lapangan. Namun, bukan berarti
lapangan melulu ada di desa. Di daerah perkotaan, lapangan tak kalah penting. Lapangan memberi jeda bagi kita dari sekian pemandangan yang
melulu berisi gedung-gedung dan jalanan. Orang-orang memanfaatkan lapangan
sebagai penghilang stres dan penat setelah seharian bertungkus-lumus dengan pekerjaan. Mereka bisa
menghabiskan waktu sore di lapangan sembari melemaskan otot-otot badan yang kaku.
Lapangan Mugas Semarang (Foto: SM) |
Keberadaan lapangan di kota
ibarat “surga”. John Ormsbee Simonds, seperti dikutip Eko Budihardjo dalam buku
Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah
Urban menjadi “Human Zoo” (2014:21), menegaskan lapangan sebagai bagian dari sekian unsur urban paradise alias surga perkotaan,
selain taman, ruang terbuka, dan tempat bermain. Kita bisa menafsir peran
lapangan dengan analogi “surga” bagi manusia kota. Siklus hidup mayoritas orang
kota biasanya memang hanya berisi kesibukan kerja, yang diperparah dengan sedikitnya
waktu dan kesempatan untuk bersosialisasi dengan tetangga dan masyarakat umum.
Sangat mungkin bagi orang kota,
sejak matahari terbit hingga menjelang malam menghabiskan waktu di dalam ruang
kerja, entah di kantor, pabrik, ataupun tempat berjualan. Maka keberadaan
lapangan bisa memberi kesempatan bagi orang kota untuk mencari udara segar,
menikmati suara burung, ataupun berolahraga. Bagi anak-anak sekolah, secara
tidak langsung, beraktivitas di lapangan tidak hanya menyehatkan badan, tetapi
mendidik mereka untuk berjiwa sportif.
Keberadaan lapangan di kota juga
dianggap menyangkut urusan mental, jiwa, dan kesehatan badan. Dalam istilah Eko Budihardjo
ibarat “investasi untuk jangka panjang”. Lapangan bisa mempengaruhi kondisi
psikis dan mental manusia kota, maka sudah tentu keberadaannya mendesak untuk
terus dipertahankan. Kita tidak boleh lupa, dari tahun ke tahun, keberadaan lapangan
terus saja diintai ancaman.
Tahun 2008, tersiar kabar
Gelanggang Olahraga Mugas di pusat kota Semarang sudah diincar pengusaha untuk
dibangun kawasan perhotelan. Tahun 2015, muncul isu yang menyebutkan Stadion
Diponegoro Semarang ditawarkan di laman jual-beli media daring. Bahkan beberapa
bulan silam kita dikejutkan oleh sengketa tanah di Taman Sriwedari Solo yang
mengancam keberadaan lapangan di area tersebut.
Tiga kasus ini tentu menegaskan betapa
keberadaan lapangan di kota-kota besar terus mendapat ancaman. Gagasan Satu
Desa Satu Lapangan semoga tak mengabaikan lapangan di kota-kota. Keberadaan
lapangan di desa maupun di kota sama sekali tak boleh terancam.[]
Koran Wawasan, 9 Mei 2016