Beberapa
pekan silam, urusan gaji kembali
jadi
obrolan pelik di media massa. Di
Jakarta, ribuan guru honorer mengepung gedung parlemen, menuntut perbaikan
nasib. Isi tuntutan itu antara lain agar guru segera diangkat jadi pegawai
negeri, yang berarti mendapat jaminan gaji dan pensiunan. Tangis bahagia pecah saat tuntutan
mendapat jawaban. Menpan RB Yuddy Chrisnandi berjanji akan mengangkat guru
honorer menjadi PNS secara bertahap. Di negara ini, jutaan orang sedang bermimpi jadi pegawai
negeri.
Tak
hanya di luar, di dalam parlemen
pun gaji jadi perdebatan tak kunjung usai. DPR usul agar ada
kenaikan tunjangan dan menyarankan agar gaji presiden ikut naik, paling tidak
Rp200 juta. Usulan itu
mendapat sorotan. Kita bersyukur, Presiden Jokowi tak terpantik
menanggapi. “Jangan aneh-aneh. Lha wong
ekonomi melambat, lesu kayak gini,
malu bicara gaji, tunjangan ,” ucap
Presiden (Suara Merdeka, 18 September
2015). Tawaran itu bisa
jadi jebakan politik.
Sebelumnya, wacana kenaikan gaji juga pernah muncul,
bahkan langsung dari pernyataan presiden.
Mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pernah mengeluh
perihal gajinya yang tak pernah naik.
Wisnu Nugroho (2010:379)
mencatat:”Mungkin tidak seimbang dengan tugas yang diemban. Tetapi, apa boleh
buat. Negara belum punya kemampuan memberi gaji yang lebih banyak.” Pengakuan
SBY itu tentu saja menuai kritik dan cercaan
di linimassa. Sebagai Presiden, ucapan itu dianggap tak etis.
Polemik
gaji pun terus
berlanjut sampai hari ini.
Banyak orang berkeyakinan,
gaji melimpah jadi penyokong
produktifitas dan etos kerja. Gaji dianggap menentukan kinerja seseorang. Orang-orang kerap mengaku sukses bila bergaji melimpah.
Pembuktian gaji bisa berupa membangun
rumah
gedong, kendaraan mewah, telepon
superpintar, hingga
kegemaran wisata kuliner di restoran mahal.
Dalam
masyarakat Jawa, membicarakan gaji
secara blak-blakan dianggap kurang
etis. Jumlah rezeki yang didapat memang tak seberapa. Namun,
ada keuntungan lain yang bisa didapat yaitu rasa persaudaraan yang semakin
erat. Bahkan, orang Jawa, terutama di pedesaan, terbiasa bekerja
gotong-royong semata-mata karena
rasa kekeluargaan serta kesadaran gotong-royong. Istilahnya, “untung sathak,
bathi sanak.” Takaran kepantasan lebih diutamakan ketimbang hitungan
materialistis.
Bagi Ki Hajar Dewantara, istilah gaji kurang tepat digunakan
dalam konsep pendidikan dan pengajaran. Ia lebih memilih menyebut “nafkah”. Jerih
payah mengajar para guru ditebus dengan nafkah (“beaja hidup”), sesuai keperluan
masing-masing. Dalam buku Pendidikan (1962), Ki Hajar Dewantara menyebut “gadji” sebagai “tjiri antithese madjikan-buruh,” yang mengarah pada laku transaksional.
Istilah “nafkah” lebih bermakna sebagai sesuatu yang mengandung berkah ketimbang gaji yang mengarah pada upah/imbalan.
Urusan gaji juga tak pernah menjadi
obrolan penting oleh para
tokoh penggerak
bangsa. Mereka berpolitik dan berjuang untuk negara dalam
kebersahajaan, mengutamakan laku keteladanan.
Berpolitik kerap bersandar pada upaya mendidik masyarakat. Politik bergerak dalam medan pemikiran
dan ideologi. Kita
akan sulit menemukan catatan
sejarah berkenaan
ucapan atau keluhan dari para penggerak
bangsa di masa lalu perihal kenaikan gaji
dan tunjangan.
Para politikus negeri ini sudah semestinya meneladani Hadji
Agus
Salim. Dia pejabat, politikus, sekaligus diplomat
ulung era Presiden Sukarno. Menjadi pejabat tak membuatnya tergoda
untuk bermewah-mewahan. Hidup berjalan di atas relnya idealisme dan kejujuran. Jangankan kendaraan mewah, rumah pun ia tak punya. Agus
Salim tak malu ketika harus berkali-kali pindah kontrakan. Kondisi ekonomi
negara era revolusi memang sedang
kritis. Berpolitik dan berdiplomasi terus berlanjut meski terjerat hidup
miskin (Tempo, 12-18 Agustus 2013).
Kita
tidak tahu kapan persisnya orang Indonesia mulai menempatkan gaji sebagai acuan dalam bekerja dan menentukan nasib
seseorang. Dalam sebuah
kamus lawas berjudul Kamus Moderen Bahasa
Indonesia garapan Sutan Muhammad Zein, “gadji” telah
didefinisikan sebagai “(bld. Gage) upah jang tetap, upah bulanan.
Definisi tersebut memang menegaskan betapa urusan gaji selalu mengarah pada
transaksional dan untung-rugi.
Kini, urusan gaji ikut tersuarakan dalam
pidato, demonstrasi, dan berita di media massa. Orang-orang berburu jabatan dan pekerjaan berpamrih gaji
besar. Pilihan bersekolah tak
jarang didasari dugaan-dugaan atas profesi yang sekiranya mampu
memberi gaji berlimpah. Di saat wawancara kerja
pun kita bakal berhadapan dengan
pertanyaan dilematis perihal jumlah gaji yang
diinginkan.
Kecerdasan, intelektualisme, dan kreatifitas manusia perlahan
tunduk di bawah rezim gaji. Gaji turut berperan
dalam menentukan
profesi dan cita-cita manusia. Ideologi
gaji lahir seiring pergeseran pola pikir manusia menuju ke arah masyarakat
kapitalistik. Kita kehilangan kebersahajaan dalam
laku keseharian akibat pukau gaji. Ideologi gaji sedang menuntun kita
menjadi manusia serba berpamrih. []
Dimuat
Koran Wawasan, 10 Oktober 2015