Jumat, 19 September 2014

Berpihak demi Kebudayaan


Lakon Semar Gugat, dalam dunia pewayangan, mengisahkan perlawanan tanpa kekerasan. Dialog dan musyawarah adalah pesan dari lakon ini. Konon, Semar murka kepada Batara Guru, raja para dewa, karena berbuat tidak adil kepada Pandawa.
Semar terbang ke khayangan, berdialog dengan para Batara. Meski berangkat dengan perasaan murka, Semar tak terbakar dalam kemarahan. Semar mengedepankan musyawarah, hingga akhirnya, Batara Guru mengakui kesalahan.
Aksi unjuk rasa petani tembakau di Temanggung, Januari tahun 2013 silam, seolah hendak memaknai sikap dan lelaku Semar. Semar menggugat Batara demi membela Pandawa, sedangkan petani menggugat demi sebuah keadilan.

Foto: Widyanuari Eko Putra
Pemerintah telah mengesahkan PP nomor 109 tentang pengendalian tembakau yang merugikan para petani. Tiga ribuan warga Temanggung bersepakat mengajukan gugatan, meluapkan kekecewaan, serta protes  atas ulah sang pemberi kebijakan.
Petani merasa diam bukanlah sikap yang pantas. Melawan menjadi sebuah pilihan mutlak. Tetapi perlawanan tak mesti diiringi gelombang kemarahan dan kerusuhan. Meski berisi sebuah perlawanan, mereka masih menjunjung tradisi dan keyakinan beradab. Perlawanan itu bernama Semar Gugat: permohonan keselamatan kepada leluhur.
“Karena kita tak bisa lagi berbicara dengan para pemimpin yang masih hidup, maka di sini kita berbicara dengan para leluhur, yang sudah tak ada lagi”. Mohamad Sobary mengutip suara lantang dalam pengantar buku kumpulan esainya Semar Gugat di Temanggung (2014). Buku ini menjadi biografi intelektual sekaligus sikap politik Mohamad Sobary.
Sebuah keberpihakan ilmiah yang lahir sejak Sobary menekuni kerja penelitian. Beberapa tahun menekuni penelitian kebudayaan di Temanggung, Sobary mengerti dan mengalami bagaimana rasanya bersentuhan dengan petani yang dibuat miskin oleh peraturan pengendalian tembakau. Deburan nafas petani, yang meski sangat terdzalimi, tetap menampilkan sikap ‘nerimo’ dan patuh terhadap pelbagai aturan penguasa. Menyaksikan sederet sikap yang tak membela petani tersebut, Sobary tak bisa tak peduli. Berpihak adalah sikap terbaik.
Nilai Budaya
Sebagai seorang antropolog, Sobary memandang tembakau dan sikap para petani sebagai bagian dari nilai kebudayaan yang luhur. Membela tembakau tak ubahnya ikhtiar menjaga hasil kebudayaan. Tembakau bukan semata hasil bumi. Tembakau adalah juga bagian asli dari tubuh yang bernama Indonesia: memiliki sejarah dan kisah.
Sejak tahun 1900-an tembakau sudah jadi incaran negara-negara asing. Kretek Indonesia adalah jawara rokok kelas dunia, kuat secara citarasa, budaya, serta potensi ekonomi. Produksi tembakau melibatkan ribuan orang: petani, pekerja pabrik, hingga pengecer. Roda perekonomian yang dihasilkan oleh tembakau sanggup menarik pendapatan ekonomi yang tinggi bagi warga, serta pajak yang melimpah bagi pemerintah.
Kretek telah masuk ke dalam sendi-sendi ekonomi kerakyatan, keyakinan, tradisi, sakralitas adat, dan pergaulan sosial. Ibaratnya, selinting kretek bagi seorang ketua adat tentu tak sekadar penyambung tradisi. Kretek adalah juga medium bagi praktik penyembuhan orang-orang sakit. Beberapa adat tertentu meyakini kretek sebagai bagian dari kelengkapan sesaji yang sakral. Kretek menyatu dalam sakralitas ritus tradisi.
Menurut Sobary, kretek jadi semacam penyambung kebuntuan ide bagi para seniman saat mencipta karya. Asap kretek menjelma pencair imajinasi saat terasa begitu kaku dan buntu. Kita tak menduga betapa hampir semua etnis di Indonesia menikmati kretek sebagai medium pengakraban diri. Pada tahap inilah, kretek sanggup “memainkan simbol persahabatan yang begitu ekspresif antar-etnis, antar-budaya” (hlm11).
Sudut pandang kebudayaan inilah, yang bagi Sobary, luput dipahami pemerintah kita. Pemahaman kretek terjebak pada stereotip hitam-putih. Padahal, kampanye kesehatan (anti-rokok) yang berlangsung masif, jika tidak diimbangi dengan pemahaman berlandaskan nilai-nilai budaya, hanya akan menghancurkan potensi tembakau di Indonesia.
Sobary memberi saran sekaligus seruan kepada semua yang masih menaruh peduli pada kebudayaan Indonesia: “Kebudayaan adalah pusat. Negara yang tidak memikirkan kebudayaan bakal hancur digerus modernitas”(hlm55).
Demi memperjuangkan pandangan kebudayaan dan pemihakannya kepada petani, Sobary tak segan terlibat langsung dalam pembelaan kaum petani tembakau. “What is personal is political”. Apa yang melekat pada tubuh adalah wujud dari sebuah pandangan politik (hlm.132).
Untuk melawan sebuah tatanan, pemikiran dan pendirian saja tidak cukup. Harus ada gerakan nyata untuk keduanya. Intelektualitas dan pemahaman budaya menjadi bekal bagi Sobary untuk berpihak.[]

Dimuat di Harian Rakyat Jateng (20/09, 2014)