Keberanian mengeksplorasi gagasan
dan imajinasi adalah pertaruhan besar bagi pengarang agar jamaah pembaca tak
bosan. Pengarang ditantang untuk terus-menerus melakukan pencarian atas tema,
gagasan, imajinasi, dan gaya bercerita, sebagai jalan penyegaran bagi
teks-teksnya.
Pengarang mesti sadar bahwa pembaca
abad XXI adalah pembaca yang disuguhi keberlimpahan kata, buku, dan informasi.
Pengarang yang lena dalam kesuntukannya memproduksi karya, tanpa ada kesadaran
untuk mencoba bereksperimen demi pencapaian baru, hanya akan menambah deretan
karya tak berpembaca.
Eka Kurniawan adalah satu di
antara sekian pengarang (cerpenis) yang bergairah untuk terus bereksperimen
dalam setiap cerpennya. Kita bisa mulai melacak eksperimen Eka saat membuka
kembali buku Cinta Tak Ada Mati dan
Cerita-Cerita Lainnya (2005). Salah satu cerpennya, Pengakoean Seorang Pemadat Indis, ditulis menggunakan ejaan lawas.
Tak sekadar mengganti teks cerpen
ke dalam ejaan lawas, antara cerita yang diajukan, tema, hingga konstruksi
kalimatnya, pun benar-benar memiliki kualitas dan citarasa seperti halnya teks
yang dilahirkan saat zaman kolonial. Kisah tentang pribumi penikmat candu
mengingatkan kita pada buku-buku lawas berbahasa melayu pasar.
Begitu pula ketika kita menekuri
lima belas cerpen dalam buku terbarunya Perempuan
Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Kita bisa
merasakan ada gairah pada Eka Kurniawan untuk melakukan eksperimen atas gagasan
dan keliaran imajinasi. Eka seperti hendak mempertaruhkan kreativitasnya demi
menciptakan cerpen dengan pelbagai karakter, citarasa, dan pengisahan.
Cerpen Membuat Senang Seekor Gajah mengisahkan seekor gajah yang berniat masuk
ke dalam lemari pendingin karena merasa kepanasan. Sebuah ide cerita yang tak
terlalu jenius, namun menjadi menarik ketika dipertaruhkan untuk digarap dalam olahan
sebuah cerpen. Kita mafhum, mustahil bagi gajah memasukan seluruh tubuhnya ke
dalam lemari pendingin.
Melalui tokoh “dua anak kecil”,
Eka “mengabulkan” keinginan gajah meski berakhir tragis. “Dua anak kecil” memotong
tubuh gajah agar bisa memasukan seluruh bagian tubuhnya ke dalam lemari
pendingin. Eka mengakhiri cerita dengan pengakuan getir “dua anak kecil”: “Kurasa
kita telah membunuh si Gajah … Tapi paling tidak kita berhasil membuat sebagian
tubuhnya masuk ke lemari pendingin. Itu pasti bikin si Gajah senang” (hlm.50).
Cerita sederhana, dengan alur
yang tak sulit ditebak, tetapi kentara menampilkan efek tragis, sekaligus
magis. Cerita, yang pada mulanya mengajak pembaca pada imajinasi ala dongeng pengantar
tidur, berakhir dengan menyisakan kesan mencekam di benak pembaca.
Dalam cerpen Kapten Bebek Hijau, imajinasi pembaca dituntun menuju eksperimen cerita
ala dongeng binatang untuk anak-anak. Perjuangan seekor anak bebek dalam mengembalikan
warna bulunya lantaran berubah warna setelah memakan buah beracun, mengingatkan
kita pada film kartun era 1990-an, yang kerap diputar di televisi pada hari
Minggu.
Kita tak bakal menganggap cerpen
itu dipersembahkan bagi pembaca anak-anak meski menampilkan dongeng seekor
bebek. Eka sepenuhnya sadar bahwa sebuah cerpen adalah seni meyakinkan pembaca
atas apa yang ia ceritakan. Cerpen yang tak kuasa meyakinkan pembaca atas
konstruksi cerita yang ia ajukan pantas dinobatkan sebagai produk gagal.
Dalam Cerita Batu Eka menghadirkan imajinasi cerita yang berpusat pada
pengisahan sebongkah batu. Batu dibaratkan sebagai mahluk hidup, bisa
berbicara, dan mengajukan keberatan atas ulah manusia. Eka membuka
cerpennya:”Ia hanya sebongkah batu, sebesar kepala bayi. Walaupun begitu, ia
selalu berharap memandang dirinya dalam segala hormat, dan kesal sekali jika
mereka memperlakukannya semena-mena” (hlm.77). Pemilihan “batu” sebagai lahan
eksplorasi cerita mengesahkan eksperimen Eka dalam mengajukan pilihan-pilihan
imajinasi atas penciptaan cerpen-cerpennya.
Tetapi tak sepenuhnya
cerpen-cerpen dalam buku ini menawarkan sebuah eksperimen cerita. Cerpen Tiga Kematian Marsilam mengingatkan kita
pada gaya bercerita dan permainan alur khas Eka dalam novel Lelaki Harimau (2004). Menaut pada
peristiwa besar Geger 1965, serta penghadiran beberapa tokoh dengan karakter
dan latar belakang yang kompleks, ada potensi pada cerpen ini untuk digarap ke dalam
bentuk yang lebih panjang menjadi sebuah novel.
Sedangkan cerpen Perempuan Patah hati yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi, yang didapuk sebagai judul buku, justru tak memiliki
keistimewaan, setidaknya jika dilihat dari perspektif gagasan. Kisah tentang
seseorang yang mendapat pesan melalui mimpi bagi saya bukan lagi mejadi cerita
yang menarik.
Pun keseluruhan cerita yang
disajikan dalam buku ini kentara tak menawarkan satu kesatuan “nafas”, berbeda
dengan buku sebelumnya, taruhlah semisal, Corat-Coret
di Dinding Toilet (2000). Tema, percobaan-percobaan gagasan, dan gaya
bercerita, yang beraneka-ragam jadi tahapan penting dalam proses kreatif Eka
selama ini. Jika ada faedah dari pembukuan cerpen-cerpen Eka yang pernah
terpublikasikan di media, membaca perkembangan kualitas dari setiap teks adalah
satu di antaranya.
Pun jika kita melacak tarikh
publikasi dari tiap-tiap cerpen dalam buku ini, kita bisa menggolongkan Eka
dalam jajaran cerpenis tak produktif. Dengan tenggang publikasi yang lama dari
setiap cerpen, (paling banyak diterbitkan pada tahun 2007, selebihnya antara 1
cerpen per tahun), dugaan saya atas eksperimen yang dilakukan Eka tentu sangat
beralasan. Setiap eksperimen tentu memerlukan pergulatan kreatif yang panjang,
untuk tidak mengatakan sangat melelahkan.
Eka tentu sadar atas pilihannya
untuk tidak memilih berdiam di zona nyaman pada setiap capaian proses
kreatifnya. Setiap capaian mesti ditengok, untuk kemudian dipertanyakan
kembali. Dialektika penciptaan dalam diri Eka meyakinkan kita (pembaca) bahwa
eksperimen yang ditempuh Eka adalah cara menguji kreatifitasnya sendiri sebagai
seorang pengarang, sekaligus meyakinkan kita bahwa teks-teksnya punya peluang
besar untuk terus berkembang. []
Dimuat di Suara Merdeka, 12 April 2015