Foto diunduh dari beritadaerah.co.id |
Di Indonesia, cara menghormati
tokoh penggerak
bangsa kerap diwujudkan dalam
pembuatan patung. Mereka yang
diakui tokoh besar “dihadirkan” kembali dalam wujud patung. Niat membuat patung biasanya untuk menghormati dan
nostalgia. Patung berdiri di museum,
perempatan jalan, taman budaya, gedung pemerintahan, dan halaman rumah. Membuat patung
adalah usaha merawat ingatan.
Gairah membuat
patung di tempat-tempat publik pernah dialami Indonesia di era Sukarno. Kita
mengenal Sukarno adalah penggila
patung. Di bawah pimpinan Sukarno, Indonesia adalah negara yang menggemari patung. Patung
dihadirkan di hadapan publik sebagai perwujudan misi nasionalisme dan harga diri bangsa. Patung
meneguhkan sikap politik dan
pandangan negara. Antusiasme Sukarno pada patung tak lepas dari gelar insinyur dan gagasan politik yang dimilikinya.
Hilmar Farid
dalam Kisah Tiga Patung (2012) mengingatkan pengorbanan Presiden Sukarno demi
melunasi ambisi pembangunan patung. Kisah
muram terjadi saat pembangunan Patung Dirgantara. Patung dibangun guna
mengenang keberanian penerbang Indonesia melawan Belanda, di mana saat itu
hanya menggunakan pesawat bekas Jepang. Proyek mulai dikerjakan sejak tahun
1965 tetapi tersendat setelah meletus petaka G30S. Sukarno lengser, dan pendanaan
proyek pun mandek.
Tak ingin melihat ambisinya
gagal, Sukarno menyuruh ajudannya menjual mobil miliknya dan menyerahkan uang
hasil penjualan demi melanjutkan proyek patung. Tahun 1970, pembangunan Patung
Dirgantara rampung meski tak seorang pejabat pun datang meresmikan. Patung
prestisius itu berdiri dalam sepi dan duka. Sukarno wafat sebelum sempat
menyaksikan peresmian patung.
Rezim Sukarno
tumbang. Soeharto melenggang sebagai penguasa Orde Baru dan ambisi membuat
patung terus dilakoni. Di era Presiden Soeharto, patung dibuat dalam bentuk sosok
militer, anak-anak sekolah, hingga ibu dan dua anaknya. Trisno Yulianto (2015)
menganggap patung-patung di era Soeharto dibuat sebagai perayaan atas
keberhasilan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana dan Wajib
Belajar Enam Tahun. Sedangkan sosok patung dalam bentuk sosok-sosok militer tak
lain bermisi penguatan ingatan atas ideologi antikomunis milik Soeharto.
Belum lama ini, Gubernur Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok meresmikan patung Gus Dur di Taman Amir Hamzah
Jakarta (25 April 2015). Patung itu menampilkan wujud Gus Dur kecil berusia 9
tahun dalam pose membaca. Peletakan patung di taman tentu memiliki pamrih
tertentu. Orang-orang datang ke taman untuk bersantai, menikmati ketenangan,
membaca, bahkan pelesiran dan bermain sepakbola. Patung Gus Dur kecil bermaksud
merangsang anak-anak untuk mau membaca. Pengunjung bakal datang dan melihat
patung Gus Dur kecil sedang menenteng buku, mengingatkan sosok Gus Dur sebagai
manusia berbuku.
Patung Gus Dur di Taman Amir
Hamzah mengundang tafsir dan pemaknaan filosofis. Kita mengenal Amir Hamzah
sebagai penyair kondang dab penulis puisi legendaris Padamu Jua. Di taman itu, Patung Gus Dur tampil sederhana, tak
menebar kemewahan dan pengkultusan. Kita bisa menyentuh, memandang, dan
membayangkan kehadiran Gus Dur dari dekat. Patung Gus Dur berukuran mungil tapi
sanggup memberi ajakan-ajakan literatif.
Kita mengenang Gus Dur sebagai
pembaca buku yang tekun. Saat-saat menjadi mahasiswa di Universitas Al Azhar
adalah kesempatan bagi Gus Dur memenuhi hasrat membaca. Gus Dur menghabiskan
waktu di perpustakaan, kedai kopi, dan bioskop. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003) mencatat:”Ia
(Gus Dur) membaca apa saja, tanpa memilih–memilih tempat. Ia juga membaca di
sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku, maka
potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan
bacaan.”
Gus Dur melahap pelbagai jenis
buku dari para pengarang kondang dunia, tak melulu dari literatur Islam. Dari novel
karya William Foulkner, Leo Tolstoi, Kafka, hingga buku-buku kiri, seperti
karangan Karl Marx dan Lenin. Godaan berbuku memaksa Gus Dur mengganti waktu
berkuliah beralih ke ritus-ritus membaca di perpustakaan di Kairo. Patung kecil
itu selaras dengan pribadi Gus Dur sebagai penggila buku tanpa harus dimaknai
sebagai agenda propaganda dan pencitraan.
Ide membuat patung memang kerap
berpamrih politis. Sukarno
mengabadikan setiap peristiwa besar dalam babakan politik Indonesia dalam
bentuk patung. Sedangkan Soeharto membuat patung bermisi pengabaran
agenda-agenda pemerintah. Di masa lalu, patung seperti tak pernah hadir tanpa
ada niatan dan misi politik.
Di
koran-koran dan media daring, kita bisa melihat patung itu hadir tanpa
menampilkan kesan pengultusan atas kebesaran tokoh. Patung Gus Dur tampil
dalam bentuk yang sederhana dan tak menjulang tinggi-tinggi. Hal itu
mengisyaratkan gagasan Gus Dur di mata kalangan Tionghoa Indonesia.
Patung itu
adalah ejawantah etos Gus Dur semasa hidup. Sejak kecil Gus Dur sudah bersentuhan
dengan rimbunan buku-buku. Gus Dur tampil sebagai intelektual dan tokoh penting
di negara ini berkat intelektualitas yang ia miliki dari referensi buku bacaan.
“Gus Dur kecil” itu membaca, berpetuah agar anak-anak, juga orang-orang
“penting” di negeri ini, memaksa diri untuk berkeinginan membaca—merawat
ingatan bersama buku-buku.[]
Dimuat
di Jawa Pos, 31 Mei 2015.
(*) Judul tulisan ini semula Patung Gus Dur: Ingatan dan Pemaknaan,
kemudian dimuat dengan judul Patung Gus
Dur: Merawat Ingatan dan Pemaknaan. Untuk edisi blog, saya mengganti lagi
judul tersebut, semata-mata agar enak dibaca dan tak wagu.